Penulis: Yoru Akira
Pernikahanku terancam gagal. Mbah Roso tiba-tiba datang ke rumahku petang itu. Tepat selepas adzan mahgrib. Suara serak Mbah Roso tak ubahnya pekik gagak yang sesekali terdengar di atap rumah. Pertanda inikah yang dibawanya?
Lelaki senja itu berdiri mematung di depan rumah. Sampai akhirnya dia melangkah masuk setelah burung gagak di atap rumah terbang menjauh. Katanya dia menemukan ketidakcocokan atas perhitungan wetonku dengan Mas Yudha. Ibu, perempuan paling tabah di rumahku seketika itu menangis. Tak dapat disembunyikannya paras kecewa yang terpahat jelas di wajahnya. Sementara aku hanya bisa lunglai di samping ayah. Lelaki itu pun terlihat tak baik-baik saja.
Bagaimana tidak. Pesta pernikahan tinggal menghitung hari, namun halangan seberat ini harus kami tanggung. Kalau memang hasil perhitungan wetonku dengan Mas Yudha tak baik, kenapa tak dulu saja Mbah Roso sampaikan. Saat keluarga Mas Yudha datang melamar. Atau sebelum lelaki itu benar-benar datang bersama orang tuanya. Kenapa harus saat menjelang pernikahanku kurang satu minggu.
Betapa lucunya tragedi ini. Dua kali Mbah Roso menghitung wetonku dengan Mas Yudha. Tak sekalipun dia bilang apabila perjalanan cintaku akan berujung ketidakbahagiaan. Bahkan sebelum menentukan tanggal pernikahanku, lelaki itu tetap bilang padaku Yudha adalah lelaki terbaik yang tepat mendampingiku. Lantas sekarang, skenario macam apa ini? Seenaknya saja dia merubah alur dan perannya.
“Maaf Nduk, dulu aku salah menghitung. Kemarin, selepas Ashar seperti ada yang membuka penglihatanku. Percaya sama Mbah. Kalau kau meneruskan pernikahan ini, bukan kebahagian yang menanti. Kau harus siap menerima segala resiko. Setiap hari akan ada saja masalah menanti rumah tangga kalian.”
“Apa tak ada cara untuk menyelamatkan pernikahan mereka, Mbah? Tak mengapa jika harus mengundur pernikahan mereka beberapa bulan lagi.” Ayah mencoba mencari solusi bersama Mbah Roso. Namun sepertinya orang tua itu tak mampu memberikan jawaban yang diinginkan ayah.
“Ini bukan perkara maju atau mundurnya pernikahan Pak, tapi tentang pembatalan. Apabila Bapak siap menanggung seluruh resiko atas pernikahan Ratri tak jadi masalah pernikahan ini terus berlanjut. Tapi saya berani jamin, tak akan kebahagiaan mengiringi nasib mereka,” kata Mbah Roso sambil sesekali menyedot rokok kreteknya.
Sedang wajah ayah tak bisa lagi dijelaskan bagaimana rupa dan bentuknya. Kemelut tercetak di wajah pria yang biasa terlihat ceria itu. Baru kali ini ada seorang pria yang membuat anaknya merenggek minta nikah. Apa balasan semua renggekan itu? Seorang lelaki senja yang dianggap tetua desa muncul tiba-tiba di hari menjelang pernikahan anaknya. Mengabarkan jika calon menantunya memiliki ketidakcocokan dengan putri semata wayangnya.
“Saya selama ini keliru, Nduk,” ucap Mbah Roso kepadaku. Lanjutnya,“Aku sebelumnya tak memikirkan namanya. Yudha. Bagaimana boleh kamu menikah dengan orang yang memiliki garis kekerasan macam itu. Perang dimanapun hanya menyisakan kepedihan Nduk.”
Suara Mbah Roso menjadi dengungan lebah dalam tempurungku. Masih tak bisa kuterima penjelasan panjang-lebar tentang nasib yang dia gambarkan. Satu hal yang tak bisa kuterima, kenapa dia muncul dengan argumen tajam semacam itu saat mendekati hari pernikahanku.
Mungkin, bila lelaki itu mengatakan jauh sebelum aku terlanjur menerima lamaran Mas Yudha, akan berbeda ceritanya. Aku memang terlahir dalam keluarga yang sangat menjujung tinggi budaya leluhur. Tak kupungkiri keluargaku masih sering meminta bantuan Mbah Roso, untuk menentukan hari baik dalam hitungan Jawa. Terlebih ketika memiliki hajat. Begitu pula lingkungan tempat aku tinggal. Mulai khitan, ngrujaki (istilah yang digunakan untuk syukuran ketika hamil tujuh bulan), bahkan sampai menikah, harus dicari hari baiknya melalui weton. Tradisi ini masih menjamur bahkan ketika dunia bermetamorfosis menjadi ditigal. [bersambung]
*Program blok cerpen merupakan kerjasama antara blok Tuban dengan Komunitas Langit Tuban.