Oleh: Alit Budiman
Demi ikut memeriahkan Hari Buku Nasional, Kopen minta izin ke bosnya agar dibolehkan tidak masuk kerja keesokan harinya. “Lha hubungannya apa kerjamu dengan Hari Buku? Apa kamu menganggap dirimu seorang profesor?,” kata pimpinannya sambil matanya mendelik.
Kopen ingin rasanya menjejalkan sebuah kamus ke mulut pimpinannya itu agar dia tahu makna buku. Kalau hari besar lain libur, kenapa di Hari Buku tidak? Tapi nyatanya mulut Kopen sendiri yang disumpal dengan rasa ketakutannya pada bosnya. Kopen ngelunyur keluar ruang bos sambil misuh-misuh.
Kopen melanjutkan kerjaannya, meladeni pembeli. Akhir-akhir ini, pembeli cukup banyak. Maklum masa panen baru saja tiba, juga menjelang puasa dan Lebaran. Pasti banyak orang yang hendak membangun rumah, atau sekadar merenovasi rumah agar kinclong. Dan sejak bosnya membuka cabang toko material di pojok pertigaan, pembeli ramainya minta ampun. Mungkin akses yang mudah membuat tokonya tak pernah sepi. Mukanya ditekuk.
Sore hari Kopen pulang. Istrinya sedang menyapu. “Bos tidak mengizinkan,” katanya kepada istrinya.
“Sudahlah pak! Sampean seperti masih muda saja, ngurusi Hari Buku segala,” jawab istrinya protes.
“Ini bukan soal tua atau muda. Ini gara-gara dunia kerja tidak adil,” kata Kopen tak mau kalah memprotes.
“Mau adil bagaimana? Sampean sudah kerja. Gaji ada. Aku juga ndak pernah protes dengan gajimu yang kecil itu. Aku sudah membantu jual gorengan. Kurang apa lagi?,”
“Lho siapa yang memprotes kerjaanmu? Aku cuma bilang dunia kerja itu tidak adil. Aku yang sarjana, cari kerja sangat sulit. Dapat kerja, eh pegawai toko. Bosku saja sekolahnya cuma SD saja. Apa ndak kebangetan?,”
“Jangan menyalahkan kerja. Sampean tidak serius cari kerja. Setengah-setengah,”
“Setengah bagaimana. Aku sudah melamar jadi guru ditolak, melamar jadi polisi juga ditolak. Apa usahaku kurang keras ha?,”
Pertengkaran mulut itu pun tak ada habisnya. Kopen bersikukuh bahwa dunia kerja tidak adil. Banyak orang bekerja tak di bidangnya. Dia sarjana sastra Inggris, tapi kerja pegawai toko bangunan yang menghitung harga besi, cat tembok, hingga harga lem PVC. Sedang istrinya ngotot bahwa selama ini dia tak pernah mengeluh membantu keuangan keluarga. Pagi sudah menggoreng, siang jualan, sore membersihkan rumah.
Sore makin gelap. Kopen memilih keluar rumah, menenteramkan hati. Istrinya sesenggukan di kamar. Sejak bekerja di toko bangunan, Kopen memang masih sering menyempatkan diri membaca buku. Pinjaman dari teman. Hari-hari buku dicatatnya dalam buku kecil. Termasuk tanggal 17 Mei yang dikenal sebagai Hari Buku Nasional.
Kopen bukan siapa-siapa di dunia buku. Dia bukan pembaca tekun apalagi penulis besar. Ia hanya orang biasa yang pernah membaca buku. Kini, jangankan membeli buku, untuk kebutuhan sehari-hari saja pas-pasan. Lihat saja, buku-buku dibanderol dengan harga cukup tinggi. Dulu dia bisa kuliah gara-gara dibiayai oleh Pak Dhenya. Sedang, kini Pak Dhenya sudah tiada. Dia harus mandiri.
“Pada hari buku, aku sebenarnya cuma ingin di rumah saja. Bukan hendak ikut aksi ataupun menghadiri sebuah acara peluncuran buku. Aku hanya ingin membaca buku bersama istriku di rumah. Seharian. Itu saja,” kata Kopen dalam hati.
Tapi rencana itu tinggal rencana belaka. Bosnya tak mengizinkan dia libur. Istrinya terlanjur marah karena percekcokan sore tadi. Keesokan harinya, ketika Hari Buku Nasional tiba, ia berangkat ke toko material, membuka pagar dan melayani pembeli. Tak ada perayaan Hari Buku. Di televisi dan radio sepi akan pemberitaan Hari Buku.
“Mungkin aku keliru mencatat tanggal. Hari buku mungkin bukan tanggal 17 Mei. Apa tanggal 30 September ya?,” katanya dalam hati. [lis]