Oleh: Edy Purnomo
blokTuban.com - Bagi penggemar Pramoedya Ananta Toer, tentu tidak akan asing dengan nama Wiranggaleng. Pemuda asal Awis Krambil, salah satu desa pedalaman di Kabupaten Tuban ini, menjadi tokoh sentral di roman sejarah Arus Balik karya sastrawan ternama asal Kabupaten Blora ini.
Pram, begitu tokoh penulis nasional itu disebut, memang memukau. Seperti ketika ia menghidupkan perjalanan Minke di Tetralogi Buru. Ia sangat berhasil membuat pembaca terpaku, dengan menciptakan tokoh Galeng dan Idayu dalam roman Arus Balik. Hanya saja, ada perbedaaan besar antara Minke dengan Galeng. Apabila Minke, banyak disebut sebagai representasi dari tokoh yang dijuluki Bapak Pers Nasional, yaitu Tirto Adi Suryo. Sementara Wiranggaleng? adalah tokoh yang masih misterius dan entah darimana Pram mendapatkan inspirasi.
Roman Arus Balik diyakini sebagai catatan sejarah yang gagal dibuat Pram, lantaran harus hidup di pengasingan sebelum penelitiannya selesai. Dia lantas menuliskan dalam bentuk karya sastra. Setting ceritanya, adalah suasana Kota Tuban di akhir masa kejayaan Majapahit.
Arus Balik, adalah roman yang dibuat untuk menggambarkan pengaruh bangsa-bangsa yang datang dari utara. Selama kejayaan Majapahit, Nusantara membawa pengaruh bangsa-bangsa di utara, kini arus berbalik arah dari utara ke selatan. Sedikit mengulas, adalah Galeng dan Idayu, dua sejoli desa yang terpaksa hidup di kota, Kadipaten Tuban saat itu. Galeng adalah petani, bertubuh kekar, dan seorang juara gulat. Sementara Idayu, tidak lain diketahui sebagai juara tari tiga kali berturut-turut, kebanggaan semua rakyat Tuban.
Dua sejoli ini nyaris gagal menikah, lantaran sang Adipati Tuban ternyata menyimpan minat pada Idayu. Hanya saja, cinta mereka terselamatkan atas keberanian Idayu meminta Galeng sebagai suaminya. Adipati tidak bisa berkutik lantaran masyarakat Tuban dikenal sebagai pengagung cinta sejati. Citra dan wibawa Adipati terancam apabila memaksa memisahkan cinta dua anak manusia.
Direstuinya cinta mereka oleh penguasa tidak lantas membuat mereka bahagia. Dua anak desa ini dipaksa berhadapan dengan politik dan intrik di dalam istana. Pun juga dihadapkan pada keinginan para pembesar untuk merebut Idayu dari tangan Galeng. Selama di istana, Galeng dan Idayu tinggal satu atap di rumah yang disediakan untuk Syahbandar pelabuhan Tuban. Untuk merebut simpati rakyat, Galeng juga diangkat sebagai Syahbandar Muda dan mulai dipanggil dengan sebutan Wira Galeng (Wiranggaleng).
Karena kecemburuan sang Adipati dan penguasa lain. Wiranggaleng menjadi pemuda yang selalu ingin disingkirkankan dari istana. Pembuangan pertama, adalah Galeng diberangkatkan sebagai pemimpin rombongan armada perang laut dari Tuban. Membantu putra mahkota kerajaan Demak, Adipati Unus yang ingin menghalau peranggi masuk ke Nusantara.
Perjalanan pertama adalah perjalanan memalukan bagi Wiranggaleng dan armada Tuban. Lantaran Adipati Tuban, sengaja mengirim pasukan lebih lambat dari waktu yang ditentukan. Dalam perang pertama Adipati Unus terluka, dan Tuban menjadi pihak yang paling disalahkan.
Kesadaran mulai muncul di jiwa anak desa ini. Membendung arus utara (penjajah) tidak cukup hanya dilakukan Adipati Unus. Tapi juga harus dilakukan bangsa-bangsa yang ada di Nusantara. Secara tidak sadar, Wiranggaleng menjadi murid ideologis dari Putra Mahkota Kerajaan Demak tersebut. Meski Adipati Unus berpulang, Wiranggaleng tetap bertekat bulat meneruskan cita-citanya. Bersama seorang sahabatnya keturunan Tionghoa, dia mulai menggalang kekuatan untuk membendung arus dari utara.
Peperangan demi peperangan dilakukan Wiranggaleng. Halangan demi halangan dia singkirkan. Namanya semakin berkibar, baik di kalangan istana, militer, ataupun rakyat jelata. Wiranggaleng mengatasi pemberontakan mantan syahbandar, mengusir tentara Demak dari Tuban, dan terakhir mengusir Peranggi yang sebelumnya sudah menguasai wilayah Kota Tuban hanya dalam waktu semalam.
Peranggi memang tak pernah berani kembali menginjakkan kaki di Tuban. Di tangan anak desa, usaha-usaha membendung arus dari utara bisa dilakukan. Meski bukan jaminan arus dari utara itu akan kembali lagi ke Nusantara. Perbawa Wiranggaleng, membawa dia mempunyai kesempatan langka. Kesempatan yang sama dengan Arok yang menobatkan diri menjadi raja, ataupun kesempatan seperti halnya Gajah Mada, prajurit berpangkat rendah yang akhirnya menjadi Maha Patih Majapahit.
Saat itu, Wiranggaleng bisa menjadi raja tanpa ada yang keberatan dan menghalangi. Tapi dia menolak kesempatan itu. Wiranggaleng lebih memilih sebagai Galeng yang hidup di desa bersama istri terkasih, Idayu. Membangun rumah sederhana, bertani, menderes nira, dan sesekali mengganti dinding rumah dengan anyaman bambu yang baru.
Baik Galeng ataupun Idayu, betapapun besarnya jasa untuk Tuban saat itu, tidak lantas menjadikan mereka terlena dan menggunakan aji mumpung. Hakikatnya, mereka bukan membela kekuasaan, tetapi membela Tuban dari ancaman luar. Terlepas ada tidaknya Wiranggaleng dan Idayu dikehidupan sebelumnya, kebesaran Tuban dimasa lampau bukan sekedar isapan jempol. Seperti sejarahnya, Tuban mempunyai potensi kekayaan yang lengkap dan bisa dilihat sampai sekarang. Sebut saja potensi Minyak dan Gas Bumi (Migas), tambang mineral, pertanian, perkebunan, perikanan dan potensi laut yang membentang dari barat ke timur.
Apa yang anda butuhkan? Ada di Tuban. Seperti Idayu, Tuban tak ubahnya perempuan cantik nan mempesona. Banyak yang ingin menjamah, dan memenangkan hatinya. Arus-arus luar mulai bisa rasakan berusaha mengoyak "keperawanan" Tuban. Tinggal kita, sanggupkah menjadi Wiranggaleng yang membendung arus tanpa harus berada di istana?
*Penulis adalah Reporter blokTuban.com