Cerpen: Pemberontakan Sepatu
Kota gemerlap penuh cahaya neon dan teknologi canggih, masyarakat diatur ketat terkait pemilihan sepatu. Sepatu bukan lagi sekadar alas kaki, melainkan menjadi simbol status sosial penting.
Kota gemerlap penuh cahaya neon dan teknologi canggih, masyarakat diatur ketat terkait pemilihan sepatu. Sepatu bukan lagi sekadar alas kaki, melainkan menjadi simbol status sosial penting.
Kenapa tiba-tiba kau menggebu-gebu begitu? Bukankah suara kacau balau itu tak lagi terdengar? Raungan suara yang mungkin akan membuatmu benar-benar jatuh dalam ketakutan, jatuh dalam kecemasan.
Entah apa saja yang sudah kulewati di tahun 2020, aku hanya ingin menuliskan sebuah pintu harapan.
Tentang Aksa, tokoh favorit Asa. Saat itu, Asa dan Aksa yang bisa dikatakan bukan teman, bukan musuh, bahkan bukan saudara, namun hanya sebatas kenal saja dengan sengaja menjatuhkan hatinya kepada sebuah lingkup yang lebih dari kata “temanâ€.
Guruh, ia adalah seorang anak yang ditinggal oleh kedua orang tuanya. Sejak kedua orang tuanya berpisah ia tinggal bersama mbok Yam. Guruh dan mbok Yam hidup sebatangkara. Setiap harinya selalu berkelana, jalan-jalan ke sawah.
Remang subuh baru saja dimulai, embun-embun masih malas di pucuk daun dan bulan masih terlentang mendengkur. Derit roda sepeda tua terdengar melas setengah memaksa. Sepertinya as roda butuh pelumas atau malah harus diistirahatkan karena usia.
Luka yang terpahat di dahi itu seperti gores kuas pelukis tua. Terbanyang, bagaimana dia, pelukis tua yang berjamban lebat dan sudut bibirnya menggantung pipa tembakau itu, penuh nafsu menggores cat minyak warna-warni pada kanvas putih.
Seorang laki-laki kurus terlihat sibuk memasukkan beberapa barangnya kedalam kantong plastik berwarna hitam. Raut mukanya begitu serius dan tergesa-gesa. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru dan celana hitam dengan ikat pinggang bergasper perak yang berkilauan. Rambutnya terlihat rapi meskipun aku tahu, dia tidak sempat mengoleskan minyak rambut pagi itu. Aku juga tahu dia belum sempat menghabiskan sarapannya karena pasti dia bangun kesiangan. Lagi, selalu seperti itu.
Tangan Larasati gemetar. Berita di layar televisi membuatnya geram. Perempuan itu, bagaimana bisa berani tampil percaya diri di depan kamera. Menyatakan dengan lantang kepada seluruh dunia.
Sudah dua hari aku tinggal di Kyoto. Cukup melelahkan setelah perjalanan panjang dan mabuk udara. Tujuh jam penerbangan dari Jakarta ke Tokyo, dan harus berganti pesawat di Bandara Haneda sebelum melanjutkan perjalanan. Waktu dua jam kugunakan untuk menghubungi ibu dan ayah. Mas Aditya juga sempat bertanya apakah aku sudah sampai atau belum. Setelah mengirim pesan singkat via chatting, lelaki itu meneleponku. Katanya Naoki-san akan menunggu di bandara sebelum pesawatku sampai.