Oleh: Bambang Budiono
blokTuban.com – Kota gemerlap penuh cahaya neon dan teknologi canggih, masyarakat diatur ketat terkait pemilihan sepatu. Sepatu bukan lagi sekadar alas kaki, melainkan menjadi simbol status sosial penting.
Namanya Dika, seorang pemuda cerdas dan pekerja keras. Dia tinggal di apartemen kecil bersama ibunya, yang bekerja sebagai pembersih pada salah satu gedung perkantoran. Kehidupan mereka sederhana, tetapi Dika memiliki impian besar untuk memberikan kehidupan lebih baik bagi ibunya.
Dalam masyarakat ini, sebelum bisa hidup lebih baik, memilih sepatu menjadi suatu hal yang sangat penting. Setiap individu diwajibkan untuk memakai sepatu yang sesuai dengan status sosialnya. Bagi mereka yang memiliki kekayaan dan kekuasaan, sepatu emas indah dan mewah tersedia sebagai simbol prestise. Sedang, bagi mereka yang berada di kelas sosial bawah, hanya sepatu sederhana pilihannya.
Cerpen lainnya:
Dika sering kali merasa terkekang oleh aturan ini. Dia menyaksikan bagaimana sepatu emas itu menjadi sumber kebanggaan dan penghormatan di antara mereka yang memilikinya. Ia bermimpi bahwa suatu hari nanti bisa memberikan sepatu emas kepada ibunya sebagai tanda kesuksesan.
Dalam hati Dika, ada kegelisahan . Ia tidak bisa menerima ketidak adilan dalam sistem pemilihan sepatu. Dika mempertanyakan mengapa sepatu harus menjadi alat untuk membedakan dan memisahkan masyarakat. Apa yang akan terjadi jika seseorang menolak tunduk pada aturan ini? Apa yang akan terjadi jika seseorang memberontak?
Dika memulai perjalanannya untuk menggulingkan sistem yang menurutnya tidak adil itu, dalam harapan untuk menciptakan sebuah masyarakat yang adil, di mana sepatu bukanlah simbol pembeda, tetapi alat untuk bersama-sama melangkah menuju masa depan lebih baik.
Dalam upaya perlawan itu Dika bertemu dengan Rian, seorang anak jalanan. Rian pemuda cerdas dan bersemangat, tetapi hidupnya penuh kesulitan dan keterbatasan karena tidak memiliki sepatu.
Dika dan Rian segera menjadi teman yang akrab. Mereka berbagi cerita tentang kehidupan, tentang ketidak adilan terkait sistem pemilihan sepatu. Mereka berdua merasakan betapa sistem ini membatasi kesempatan dan memperkuat jurang sosial di antara mereka.
Setelah percakapan panjang dan mendalam, Dika dan Rian menyadari bahwa sepatu sebenarnya adalah simbol kebebasan dan ekspresi diri.
Seiring berjalannya waktu, sepatu telah dirampas dari makna aslinya dan diubah menjadi alat memperkuat ketidak adilan dan pemisahan di masyarakat. Mereka tidak lagi ingin membiarkan sepatu menjadi simbol pembeda, tetapi ingin mengembalikan makna sejatinya.
Dika dan Rian merencanakan sebuah aksi pemberontakannya. Mereka mengumpulkan sepatu-sepatu untuk di bawa ke tempat terbuka di pusat kota.
Cerpen lainnya:
Saat matahari terbenam dan kota mulai menjadi gelap, Dika dan Rian memulai aksinya. Mereka membakar sepatu-sepatu itu satu per satu, mengirimkan pesan kuat bahwa mereka menolak untuk menjadi budak sistem. Api yang berkobar-kobar mewakili semangat perlawanan dan keinginan mereka untuk mengubah masa depan.
Aksi pemberontakan Dika dan Rian menarik perhatian banyak orang. Orang-orang mulai terinspirasi dan menyadari betapa pentingnya merangkul kesetaraan dan keadilan dalam masyarakat. Tidak lama, gelombang pemberontakan meluas, dan orang-orang dari segala lapisan sosial bergabung dalam perjuangan mereka.
Melalui keberanian serta kegigihan, Dika dan Rian berhasil mengubah persepsi masyarakat tentang sepatu. Mereka membuktikan bahwa sepatu seharusnya tidak mengatur posisi seseorang dalam hierarki sosial, tetapi menjadi simbol persatuan, persaudaraan, dan keadilan.
Temukan konten Berita Tuban menarik lainnya di GOOGLE NEWS