Cerpen: Suara-suara

Oleh: Bambang Budiono

blokTuban.com – Kenapa tiba-tiba kau menggebu-gebu begitu? Bukankah suara kacau balau itu tak lagi terdengar? Raungan suara yang mungkin akan membuatmu benar-benar jatuh dalam ketakutan, jatuh dalam kecemasan. 

Dia menderu, merasuki udara, dan menjalar sampai ke gendang telinga semua orang. Kengerian yang disebarkan menembus alam mimpi kita, merasuk di antara bantal dan selimut tidur semua orang. Udara yang kita hidup cemar dengan kecemasan. Rasa takut meracuni sungai dan sumur-sumur. Mustahil untuk lari. 

Tak satu tempat pun luput dari bayang hitam, dari suara kacau balau itu. Orang-orang di surau, gereja, wihara, pura, dan klenteng semua membicarakannya. Tak ada yang tahu dari mana suara itu datang. Tak ada yang tahu sejak kapan suara itu ada, dan kapan dia pergi. Semua terjadi seperti tanpa kendali dari siapa pun. Begitu saja datang dan begitu saja hilang.

Yang dapat aku ingat, pagi itu matahari belum terlalu tinggi. Saat semua laki-laki dewasa sedang berjibaku dengan lumpur di sawah, bersiap menyemai padi untuk ditanam hari berikutnya. Langit cerah pagi itu. Awan berarak susul menyusul. Dari jauh, pemandangan itu seperti sekawanan domba di padang-padang. Semua terlihat wajar dan biasa. Sama sekali tak ada yang menyangka apa yang akan terjadi kemudian.

Ibu-ibu masih sibuk dengan kesibukan harian di dapur, dan anak-anak masih asyik belajar di sekolah. Tak ada yang aneh atau berbeda pagi itu. Semua biasa-biasa saja. Sampai suara itu datang.

Kami adalah warga kampung biasa. Menanam padi, jagung, dan sayuran untuk menyambung hidup dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aku adalah salah satu dari ratusan warga dengan mata pencaharian yang seragam itu. Pagi ke sawah, siang atau sore pulang sambil membawa rumput untuk pakan ternak. Sama seperti kebanyakan orang di sini. Tabungan satu-satunya adalah ternak di kandang.

Sama seperti orang-orang lain pula, penghasilanku satu-satunya berasal dari hasil sawah dan ladang. Mungkin, karena hampir untuk semua hal kami sama, maka tak pernah muncul masalah sosial yang berarti. Tema pembicaraan di warung kopi, pertemuan desa, sampai acara-acara hajatan selalu saja seputar sawah dan tanaman. 

Setiap orang yang berkumpul membicarakan hal-hal yang tak lepas dari persoalan klasik urusan bertani. Pupuk mahal, pupuk langka, hama jenis baru bermunculan, harga panen murah, ongkos tenaga tinggi, dan sejumlah masalah klasik lain yang selalu dibicarakan tapi tak pernah ada penyelesaian.

Masalah-masalah semacam itu, saking biasanya kami hadapi, sampai-sampai kami lupa bahwa itu adalah masalah. Masalah-masalah semacam itu, saking biasanya kami hadapi, sampai-sampai kami lupa bahwa itu adalah masalah. Bagi kami, kesulitan rutin yang demikian sama sekali bukan masalah. Tapi kali ini berbeda. Sama sekali berbeda, bahkan sangat berbeda. Suara mencekam itu seperti jatuh dari langit. Membabat bersih nyali kami, orang ternekat di desa pun dibuat gemetaran oleh suara itu.

Warga berkumpul di perempatan-perempatan dan ujung gang semua memasang wajah cemas, beberapa hanya bisa memeluk lutut dengan pandangan kosong.

"Pak lurah bilang apa?"

"Tak bilang apa, dia hanya menghela nafas panjang setelah kuceritakan semua yang terjadi."

"Gawat, kalau pak lurah saja tak ada jawaban, kita harus bagaimana?"

"Aku juga tak tahu, aku juga bingung. Kita semua di sini bingung."

Salah satu dari mereka tiba-tiba bangkit sambil bersungut-sungut:

"Kita lawan saja!"

"Apa yang mau kau lawan?!"

"Bagaimana cara melawannya?" imbuh yang lain.

"Aku tak tahu, tapi apa iya, kita hanya akan diam seperti ini? Mati dalam kecemasan?"

"Kalau salah satu dari kita punya jawaban, kita tidak akan berkumpul di sini."

Seorang lagi menjawab dengan nada datar,

"Kita berkumpul di sini karena tak tahu, apa yang harus kita lakukan."

Suasana kembali beku, beberapa menatap kosong ke depan, yang lain masih memeluk lutut dengan tatapan yang kosong pula.

Gemuruh itu datang lagi...

Suara menakutkan itu kembali pecah di angkasa. Menghantam telinga orang-orang yang sedang berkerumun di perempatan dan ujung-ujung gang. Gema suara itu masuk ke rumah-rumah warga. Menyusup ke kolong meja kelurahan, menerobos rapat rumpun bambu pembatas desa. Suara itu menebar ketakutan di mana-mana.

Kali ini suara itu lebih menakutkan dari sebelumnya. Lebih mencekam. Suara itu seperti wabah dalam peperangan. Suara itu... suara itu... GUSUR.

 

Mei 2023

 

Temukan konten blokTuban.com menarik lainnya di GOOGLE NEWS