Oleh: Sandi Ovinia
Seorang laki-laki kurus terlihat sibuk memasukkan beberapa barangnya kedalam kantong plastik berwarna hitam. Raut mukanya begitu serius dan tergesa-gesa. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru dan celana hitam dengan ikat pinggang bergasper perak yang berkilauan. Rambutnya terlihat rapi meskipun aku tahu, dia tidak sempat mengoleskan minyak rambut pagi itu. Aku juga tahu dia belum sempat menghabiskan sarapannya karena pasti dia bangun kesiangan. Lagi, selalu seperti itu.
Meskipun langit dengan serta merta menumpahkan air yang berlimpah bersamaan dengan bising guntur dan kilat petir yang menyambar, laki-laki itu tidak peduli dan tetap melanjutkan usahanya memaksa memasukkan barang-barangnya ke dalam kantong plastik. Kemudian tanpa menghiraukan apapun, laki-laki itu berlari menerjang hujan. Masa bodoh dengan pakaiannya yang basah kuyup, atau kemungkinan terburuk, jatuh sakit. Ia tetap berlari di tengah guyuran air yang terasa menusuk tulang. Aku bisa membayangkan betapa dinginnya air yang deras mendarat pada setiap permukaan bumi itu. Menyentuhnya dengan ujung jari pun aku sudah merasa menggigil.
Ketika laki-laki itu pergi, aku hendak menyusulnya dan bermaksud menawarkan payungku. Tapi, aku berhenti pada langkah kakiku yang pertama. Bahkan untuk sekadar menyapanya pun aku tidak berhak, bagaimana bisa aku dengan mudah menawarinya sebuah payung? Aku sudah gila. Aku sempat menatap laki-laki itu beberapa saat yang lalu. Kenapa tidak ada yang berubah? rahangnya, hidungnya, bekas luka sayatan di pelipis kirinya juga masih ada di wajahnya yang kaku, keras dan angkuh. Bahkan sikap arogannya juga masih sama seperti dulu. Ah, dia teman masa kecil yang tidak akan pernah aku lupakan. Tapi tampaknya, dialah yang akan melupakanku terlebih dahulu.
Gemericik air yang mulai reda masih terdengar datar di telingaku. Hujan selalu membuatku merasa lebih dekat dengan alam. Ketika aku berdiri di tengah hiruk pikuk kota yang mulai sibuk ini, hanya hujan yang mampu menyadarkanku, bahwa aku hanya bagian yang sangat kecil di tengah-tengah mereka. Aku tahu, zaman akan terus berubah seiring berjalannya waktu. Aku merindukan saat-saat dimana dia dan aku bisa tertawa bersama dan tidak saling canggung untuk bertegur sapa. Aku merindukan saat-saat aku mampu memahami diriku sendiri tanpa mengetahui kenyataan yang dapat mengacaukan hidupku.
Sepuluh tahun yang lalu, laki-laki itu menjadi satu-satunya teman yang aku miliki di sekolah. Saat itu, dia tidak pernah takut melakukan apapun yang melanggar aturan. Aris, teman-temanku memanggilnya seperti itu, tidak pernah malu membelaku di depan anak-anak yang lain. Aku tidak mengerti kenapa hanya dia yang mau menjadi temanku. Semua teman-temanku mengucilkanku hanya karena aku memiliki ibu yang sakit. Aku hanya anak berusia 9 tahun yang tidak mengerti berbagai alasan yang mereka ungkapkan bisa menjadi penyebab untuk menjauhiku. “Luna pasti akan ketularan sakit juga! Jangan bermain dengannya! Nanti kita juga bisa ketularan!” Teriakan mereka selalu memenuhi gendang telingaku setiap masuk sekolah. Hanya Aris yang berani membantah mereka semua, “Kata mamaku, jika kita rajin olahraga kita akan terhindar dari berbagai penyakit! Kalian benar-benar tidak tahu? Ha? Dasar tidak pernah belajar!”. Teriaknya. Tidak ada yang pernah memberitahuku tentang kegunaan olahraga seperti Aris. Yang aku tahu, aku tidak pernah absen ketika pelajaran olahraga di kelas dimulai. Bahkan aku tidak tahu, penyakit apa yang diderita ibuku. Di mataku, dia baik-baik saja. Kami hidup berdua dengan baik. Makan teratur, tidur bersama, belajar bersama, dan mencuci pakaian bersama-sama.
Sejak saat itu, aku mulai bersahabat dengan Aris. Kadang, dia membawakanku kue lapis buatan ibunya. Aku selalu menyisakannya untuk ibu di rumah. Ibu pasti senang, pikirku. Kue itu memiliki warna yang beranega ragam. Saking cantiknya, aku sampai tidak tega memakannya. Kue seperti ini tidak akan bisa aku nikmati setiap hari. Ah, andai saja ibuku bisa membuatkan kue yang seperti ini setiap harinya, sama seperti ibu Aris. “Boleh aku main ke rumahmu?.” Tanya Aris suatu ketika. Aku menggeleng pelan. “Kenapa?.” Tanyanya lagi. Aku hanya menunduk. “Hei, kenapa kau selalu diam ketika ditanya. Itulah kenapa teman-teman mulai menjauhimu. Kau mirip patung!” ujarnya polos.
Aku menyadari kesalahanku dan mulai mengumpat diriku sendiri. Kenapa aku selalu menunduk dan jarang berkomunikasi?. Ah, aku mengutuk diriku. “Ibu bilang, dia tidak suka ada tamu di rumah.” Jawabku pelan. “Hanya itu?.” Tanyanya dengan mata melotot. Aku mengangguk lagi. Aris hanya menggeleng-geleng kepala sambil bergumam, "aneh…" Aku diam sambil mengunyah kue lapis itu. Aku tidak bisa berkata apapun lagi.
Aku tidak mau mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi padanya. Aku tidak sanggup bilang, bahwa ibuku bisa saja memecahkan barang-barang kami tanpa alasan yang jelas. Tapi, dia juga bisa tiba-tiba memelukku dan menyisir rambutku dengan lembut. Kami hanya tinggal berdua sejak ayah meninggal. Ibu membesarkanku dengan menjadi seorang penjahit keliling. Tapi, beberapa bulan terakhir, ibu memilih bekerja di rumah. Dia hanya menjahit pakaian yang diantarkan ke rumah. Ibu jarang sekali keluar kecuali untuk membeli bahan makanan kita berdua.
“Hujan! Luna, cepat masuk kelas! Kita akan basah kuyup nanti!” Teriaknya sambil mengemasi kue lapis di dalam kotak makan. Hujan membuyarkan lamunanku. Aku tahu aku sudah setengah basah ketika berlari menuju kelas. Aris sudah terlebih dahulu duduk tenang di bangkunya sambil merapikan rambut poninya yang kusut terkena air. Aku masih bertahan di teras kelas kami. Fenomena alam itu membuatku merasa tidak sendiri. Aku menyukai warna awan yang becorak gelap itu melintas di atas bangunan sekolah. Aku menyukai bunyi bising guntur yang bersahutan. Bahkan aku tidak takut dengan petir yang mulai memamerkan kilatnya di cakrawala. Aku tersenyum sendiri, membayangkan hal-hal yang menyenangkan yang mungkin bisa aku lakukan sambil basah kuyup seperti ini.
Aku hampir saja berlari menembus air yang deras itu kalau saja aku tidak mengingat ibu di rumah. Dia pasti akan memarahiku jika aku pulang dengan seragam yang basah. Atau mungkin, satu hari setelahnya aku akan bersin-bersin dan demam. Aku menghela napas panjang dan meninggalkan bayangan yang terlihat menari-nari di bawah hujan. Aku memahami diriku sendiri meskipun aku kesulitan untuk menjelaskannya. Yang aku tahu, aku tidak berani membuat ibuku kecewa.
***
Hujan berhenti. Dan aku kembali pada diriku yang masih mematung dengan payung berada digenggaman tanganku. Bahkan dengan usiaku yang sudah 19 tahun ini, aku masih tidak berani melakukan hal-hal yang aku inginkan di bawah hujan. Aku tersenyum masam. Luna juga ternyata masih sama seperti dulu, ejekku dalam hati.
Aku segera memasuki toko mondern di seberang jalan. Aspal yang dingin menyambutku dengan genangan airnya yang terlihat keruh. Hati-hati, aku mengangkat rok cokelat yang kukenakan sampai atas tumit, takut kalau-kalau basah terkena genangan air. Aku harus bergegas membeli beberapa kebutuhanku sebelum berangkat kursus ke rumah mak Atun. Rumahnya tidak jauh dari deretan pertokoan di kanan-kiri toko modern itu. Meskipun harus memasuki gang kecil untuk mencapainya. Sudah 3 tahun terakhir ini aku putus sekolah dan rajin belajar menjahit dengannya. Teman ibuku sewaktu SD ini mengajariku tanpa meminta imbalan. Dan atas kebaikannya itu, aku mampu menggantikan profesi ibuku di rumah. Menjadi seorang penjahit.
Rumah mak Atun begitu sepi, hanya ada dia dan kucing kesayangannya bernama Momo. Suaminya sedang bekerja menjadi supir di luar kota. Sedang kedua anaknya tengah menimba ilmu di sebuah pondok pesantren. “Sudak tak tunggu dari tadi loh cah ayuu. Tadi kehujanan? Berteduh dimana?.” Ia memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan khas seorang ibu yang tengah merindukan putrinya. Aku menunduk dan tersenyum, “Ah, hujannya tidak begitu lama mak. Kebetulan tadi habis dari toko modern, sekalian berteduh.” Jawabku pelan. Mak Atun mengangguk-ngangguk sambil menyipitkan matanya. "Bagaimana pelangganmu yang di desa sebelah? Dia tidak protes dengan hasil jahitanmu kan?." Tanyanya lagi. Aku hanya tersenyum dan menggeleng. “Apa aku bilang, kau mewarisi bakat ibumu… pasti semua pelanggan itu bakal terkesan dan memuji karyamu…” Mak Atun terus mengoceh sambil berjalan ke ruangan di samping dapur. Ruangan itu tidak terlalu besar. Tapi disanalah aku setiap hari bermain dengan gulungan kain beraneka warna dan corak yang indah.
Di ruangan dengan dinding yang mulai kusam kehilangan warnanya itu, terdapat dua set mesin jahit tua yang hampir berkarat. Dengan menjahit, aku menjadi kepala keluarga di rumah. Meskipun aku hanya tinggal berdua dengan ibu, biaya kami juga tidak sedikit. Apalagi aku bersikeras ingin melanjutkan pendidikan. Tapi itu dulu. 30 menit yang lalu aku sudah memutuskan untuk menjadi seorang penjahit dan akan menemani ibuku sampai kapanpun. Aku akan selalu disampingnya ketika banyak orang yang mempermalukannya dan menggunjingnya dibelakang kami. Itu adalah janjiku pada diriku sendiri.
“Bagaimana ibumu? Kau sudah beli obat?.” Tanya mak Atun sambil memilihkan bahan kain yang akan aku jahit hari ini. “Nanti setelah dari sini aku akan mampir ke apotek mak.” Jawabku tanpa memandang perempuan sabar itu. Takut akan melihat belas kasihan di matanya. “Oalah cah ayu, yang sabar ya? Hidup ini memang berat! Kamu tahu sendiri siapa yang kuat itu yang akan bertahan. Percaya, Gusti Allah selalu adil… mungkin kamu saat ini sengsara, tapi kamu akan bersuka cita nantinya cah ayu..” ujar mak Atun bersungguh-sungguh. Aku tersenyum damai, lagi-lagi aku hanya mengangguk dan tersenyum…
***
Ketika aku akan memasuki pagar rumahku, aku melihat sosok laki-laki dengan kemeja kotak-kotak tengah duduk di kursi reyot di depan jendela. Aris! Aku memekik dalam hati. “Apa kabar? Aku tidak tahu kalau kau dan ibumu pindah kemari sejak 10 tahun yang lalu.” Sapanya sambil tersenyum. Aku hanya menunduk dan tersenyum. Aku terkejut. Tanpa berkata-kata, aku segera membuka pintu rumah dan bermaksud membuatkannya teh atau kopi. Tapi ketika aku keluar lagi, dia menghilang.
Aku berlari ke jalan, cepat sekali dia pergi, ah mungkin dia mendapat telepon dari seseorang karena urusan penting, pikirku. Aku kembali ke dalam dan mendapati ibuku berbaring tenang. Kuletakkan obat yang baru kubeli di meja riasnya. Ibuku jadi seperti mayat hidup. Sempat aku membujuknya untuk keluar jalan-jalan, tapi ia bersikeras tetap tinggal di kamarnya. Dia bilang, dia akan menyakiti banyak orang jika keluar. Ibu juga tidak pernah mau ke rumah sakit, dia bilang, ini sudah suratan takdirnya. Aku benar-benar dibuat pusing dengan perilakunya. Beberapa waktu yang lalu, dia memecahkan kaca di toilet. Tapi setelah itu, dia mengurung diri di kamar.
Beranjak dari sikap ibuku yang sering berubah dan acuh, aku merasakan sesuatu yang sudah lama aku mimpikan. Bertemu lagi dengan Aris!. Ah, betapa hebatnya dia saat ini. Bekerja di sebuah bank milik pemerintah. Berpakaian rapi, berangkat pagi dengan sepatu yang disemir. Sepertinya aku harus memperbaiki penampilanku supaya setara dengannya. Apa yang harus aku lakukan jika besok dia tiba-tiba datang lagi? Ah, aku benar-benar gugup.
Waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB, ada seseorang yang mengetuk pintu di luar. “Tok…tok…tok”. Sepersekian detik, aku kaget. Tapi aku bisa menguasai diriku sendiri. Setelah kubuka ujung daun pintu itu, Aris muncul lagi sambil tersenyum, “Maaf, aku buru-buru tadi.” Ujarnya. Aku bengong di hadapannya, Tuhan, tolong hentikan waktu ini beberapa detik. Aku ingin memandangi pahlawan masa kecilku ini dengan lebih teliti. Rupanya dia menjadi lebih tampan dari yang aku kira. “Boleh aku masuk?.” Tanyanya, Lamunanku lenyap dan aku tergopoh-gopoh mempersilahkannya duduk. Kenapa sulit sekali untuk bilang “selamat sore, silahkan duduk?.” Luna! Kau memang payah!.
Beberapa menit setelah itu, bunyi rintik hujan kembali terdengar. Aku segera kembali ke ruang tamu dengan secangkir teh hangat. “Maaf, hanya punya the. Tidak ada kopi di rumah karena aku hanya tinggal berdua dengan ibu. Kami bukan penggemar kopi…” Ucapku terdengar kaku. Aku tidak tahu bagaimana caranya mengawali percakapan. Aris hanya tersenyum, “Bagimana ibumu? Sehat?” tanyanya. “Ibu masih terus mengkonsumsi obat penenang… belakagan ini dia menolak untuk kubawa ke dokter…” jawabku pelan. Laki-laki kurus itu meminum tehnya dengan hati-hati karena masih panas, lalu kembali berkata,” Aku turut prihatin atas keadaan ibumu. Tapi aku yakin, kamu bisa menjaganya dengan baik. Ya kan?.” Aku menudnduk dan tersipu… mungkin pipiku terlihat merah karena aku baru saja mendengar dia memberiku sebuah semangat. Apa aku tidak salah dengar?.
Hujan yang semakin deras membuat percakapan kami terasa sangat kaku… Tiba-tiba terdengar bunyi sesuatu yang pecah. Itu dari kamar ibu! Aku segera meloncat dari kursiku dan berlari menghampiri kamarnya. “Ibu! Tenanglah bu… Ya Tuhan. Stop! Stop! Ibu… aku bilang berhenti membanting vas bunga! Cukup! Ibu, ada apaa? “aku berteriak kuwalahan sambil memegangi tangan ibuku. “Ada maling! Luna… hati-hati.. ada maling! Itu.. di depan meja rias! Cepat pergi! Ibu akan mengahajarnya… dasar kurang ajar!.” Teriak ibuku tak kalah kerasnya.
Air mataku mulai menetes, aku memeluk ibuku dengan lembut. “Iya ibu.. malingnya sudah kabur lewat jendela.. ibu tenanglah… ibu baik-baik saja…” Ucapku pelan… Ibu menengok kesana-kemari memastikan sesuatu lalu ia tertawa terbahak-bahak, “Hahaha, dasar maling penakut! Lihat kan? Ibumu ini hebat. Malingnya sudah pergi. Iya kan Luna?.” Aku mengelus rambut ibuku dengan lembut dan mengangguk, “Iya ibu.. Ibu adalah ibu terhebat di dunia.. sekarang minum ini dan tidurlah…” Aku memberikan satu kaplet obat penenang padanya. Ibu lalu segera berbaring dan meringkuk mirip seperti bayi yang mengantuk… Ibu, tidak ada siapa-siapa di sini.. apa ibu berhalusinasi lagi?. Aku menghela napas panjang dan menyeka air mataku. Bagaimana dengan Aris? Apa dia mendengar semua keributan tadi? Aku benar-benar malu dan tidak tahu bagaimana menjelaskannya nanti.
Ketika aku sampai di ruang tamu, tidak ada siapa-siapa di sana. Hujan masih turun dengan derasnya dan hanya ada secangkir teh yang terletak di meja. Teh itu sudah dingin, tapi Aris menghilang begitu saja. Aku mendengus kesal. Apa itu kebiasaan barunya? Pergi tanpa pamit?. Dasar laki-laki memang makhluk yang aneh. Apa dia tidak takut kehujanan? Apa jangan-jangan dia membawa mantel? Oh tidak! Apa mungkin dia kesini dengan mengendarai mobil tadi? Bodohnya aku kenapa sampai tidak menyadarinya. Aris sudah jauh lebih sukses sejak kita terakhir bertemu, tentu saja dia sudah punya mobil meskipun dengan sistem cicilan per bulan. Tiba-tiba saja aku tersenyum sendiri, cicilan itu akan segera lunas saat dia menemuiku untuk memintaku menjadi istrinya. Aku memukul kepalaku sendiri. Luna! Kau berlebihan. Mana mungkin cinta akan datang semudah itu? Kau pikir ini sinetron? Aris pasti lebih menyukai perempuan yang lebih cantik darimu!. Aku mengutuk diriku dalam hati. Lagi, aku selalu menghayal terlalu jauh…
Ketika hujan turun, aku mengingatnya. Aku menghafal setiap lekuk wajahnya, bagaimana tutur lembutnya, bagaimana senyumnya, bagaimana dia makan dan minum, dan bagaimana dia bernafas. Aku mengingat bagaimana dia semasa kecil. Sepatunya yang selalu bersih, rambutnya yang acak-acakan tanpa minyak rambut, kotak makannya yang selalu dia sembunyikan di bawah bangku karena tidak pernah sempat sarapan di rumah. Ibu Aris selalu membawakan bekal makanan untuk dimakan bersamaku. Kotak makan berwarna biru. Terdapat gambar buah pisang dan anggur yang teraba saat disentuh, lengkap dengan botol minuman bertali yang selalu kami jadikan rebutan. Aku merasa iri padanya karena ibuku tidak pernah membelikanku botol minuman bertali seperti itu. Aku tersenyum sendiri, andai waktu 10 tahun yang lalu bisa berputar kembali dan berhenti untuk waktu yang lama. Mungkinkah aku masih memliki kesempatan untuk sekadar makan bersamanya? Apakah situasinya akan tetap sama?.
Mak Atun menepuk bahuku dengan lembut, "cah ayu? Kenapa melamun? Apa ada masalah?” Tanyanya. Aku menggeleng dan tersenyum, “Ada seseorang yang ingin aku perkenalkan pada mak Atun.” Ucapku berbinar. “Oh ya? Siapa dia? Pasti seorang laki-laki kan? Tidak biasanya kamu senyum-senyum sendiri seperti ini.” Ujar mak Atun menggodaku. Aku menunduk dan tersenyum lagi, “Iya. Namanya Aris. Teman kecilku sewaktu sekolah dasar dulu. Dia sudah ke rumah beberapa waktu yang lalu.” Jelasku sambil tersenyum. Mak Atun mencubit pipiku dengan gemas, “rupanya anak ingusan ini sudah menjadi seorang perempuan he? Kau tahu? Aku selalu saja memperlakukanmu seperti anak kecil dalam tubuh orang dewasa. Aku hampir lupa bahwa kau sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Oalah Gusti… apa aku memang sudah tua sekarang? hehehee.”
Momo si kucing kesayangan mak Atun menggeliat manja di betisnya yang mulai bengkok. Mak Atun seusia dengan ibuku, tapi keadaan fisiknya sudah jauh menurun. Aku yakin kesibukannya sewaktu muda menjadi faktor tambahan perubahan kesehatannya. Tapi, entah mengapa aku merasa akan lebih baik memiliki seorang ibu seperti mak Atun daripada ibuku yang selalu megurung diri di rumah. Tiba-tiba aku memaki diriku sendiri! Apa-apaan? Ibuku adalah ibu terhebat yang mampu membesarkanku tanpa ayah. Tidak ada yang mampu menggantikannya.
***
Aku berjalan di sepanjang pertokoan menuju rumah mak Atun. Trotoar berwarna kusam itu menjadi temanku dikala kakiku melangkah tenang sambil membayangkan hal-hal menarik dalam kehidupanku. Kadang aku merasa sedih dengan perlakuan dunia yang serasa tidak adil. Kadang aku juga bahagia karena aku sadar, tidak semua hal dalam hidupku adalah keburukan. Aku juga tidak bisa menjelaskan kenapa aku membenci musim kemarau meskipun kenyataannya aku dan ibuku selalu tidak memiliki masalah dalam air atau apapun saat kemarau melanda. Tapi ketika musim hujan, hidupku semakin lengkap.
Pasti terdengar aneh ketika aku berpikir demikian. Tapi justru dengan bepikir seperti itu, aku melupakan hal-hal buruk dalam hidupku. Ibuku yang sakit, ayahku yang meninggal, sekolahku yang rendah… Hujan memberikan kehangatan dibalik sikapnya yang dingin. Hujan menawarkan pelukan untuk mengakui keberadaanku dibanding orang lain yang mengucilkanku. Hujan mendengarkan segala ceritaku tanpa menyela dan menghakimi.
Aku masih berjalan pelan di atas trotoar ketika seseorang menahan pundakku dari belakang. Aris!. "Kaget ya? hehe" sapanya sambil berjalan disampingku. "Kau membuatku terkejut" Hening. Kita hanya berjalan dengan diam. Aku ingin bertanya, kenapa dia kemarin tiba-tiba pergi? Apakah ada urusan mendadak? Tapi lidahku rasanya semakin kaku untuk mengucapkannya. Dia tetap berjalan tenang dengan jari-jarinya berada pada saku celana. Ah, sikapnya ini yang membuatku tidak bisa tidur. Kenapa dia selalu mempesona?
Aku juga ingin bertanya apakah dia mau untuk pergi menemui mak Atun? Aku ingin dia benar-benar menjadi orang yang berarti dalam hidupku. Tapi lagi-lagi, aku tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Tapi, akhirnya dia memulai pembicaraan. “Maaf ya? Kemarin aku harus segera pulang…kakekku jatuh dari tangga” Ujarnya. Aku mengangguk lega. "Emm, apa dia baik-baik saja?” Tanyaku. Aris mengangguk. Syukurlah, ucapku dalam hati.
“Apa kau tidak keberatan ikut denganku?” Tanyaku memberanikan diri. Dia menatap wajahku. Tatapannya yang teduh membuatku lemas seketika. “Kemana? aku sedang tidak ada kerjaan sampai jam tiga sore nanti.” Jawabnya lembut. Aku tersenyum tipis,” ke rumah seseorang yang mengajariku menjahit beberapa tahun ini, dia orang yang sangat berarti. Aku ingin memperkenalkanmu…” jelasku datar. Takut kalau dia akan marah.
Aris menggenggam jemariku dan meremasnya denga lembut, "aku menyayangimu… aku akan mengikutimu kemanapun kamu pergi…” Pipiku pasti sudah merah padam mendengarnya. Kami terus berjalan hingga berbelok ke sebuah gang kecil tempat dimana mak Atun tinggal. Seekor kucing menyambut kedatangan kami… Momo selalu berada di depan pintu saat aku datang. Aku menggendongnya sambil mengelus bulu putihnya yang lembut.
Mak Atun keluar dengan kaca matanya yang miring kekanan. Ah, dia pasti lembur lagi, aku sudah sering mengingatkannya untuk tidak begadang demi sebuah baju atau apalah itu namanya. “Cah ayu? Masuk-masuk. Kenapa diam di situ?.” Aku membiarkan Momo turun dari gendonganku dan berlari ke arah mak Atun. “Aku ingin memperkenalkanmu pada seseorang mak..” kataku. “Siapa? Aah? Laki-laki yang kau ceritakan kemarin? lalu, mana dia?.” Tanya mak Atun menyipitkan pandangan. “Dia disampingku mak. Masak mak Atun tidak melihat Aris di sini? “Tanyaku dengan nada agak tinggi. Mak Atun meraba dahiku dengan telapak tangannya,” kau tidak sedang demam kan?. Tidak ada siapa-siapa disampingmu!.” Ujarnya dengan nada tinggi juga. Aku semakin bingung dibuatnya. Sudah jelas-jelas Aris menggandeng tanganku saat ini. Dia memakai jaket hitam dengan jeans abu-abu yang sangat familiar. Bagaimana mungkin mak Atun tidak melihatnya? Mustahil!.
Terdengar suara tangis yang ditahan, aku merasakan ada sebuah bantal di bawah kepalakau. Dimana aku? Bukankah tadi aku sedang berdiri bersama Aris? Di depan rumah mak Atun?. Mataku masih terpejam ketika mendengar bunyi tangisan itu. Suara mak Atun? Mungkinkah tadi aku pingsan? Tapi kenapa?
“Skizofren merupakan jenis gangguan otak yang mempengaruhi cara seseorang dalam berperilaku. Biasanya bisa disebabkan oleh gen atau keturunan, bisa juga oleh faktor lain sebagai pemicu seperti stress.” Kata seorang laki-laki paruh baya. Apakah dia dokter? Cara berbicaranya seperti seorang dokter yang sering aku temui. “Ibunya juga mengidap penyakit yang sama dok… apa yang harus saya lakukan? oalah Gusti… nasibmu cah ayuu…” mak Atun terus menangis sesenggukan. “Penderita Skizofrenia harus segera memperoleh pengobatan berupa dukungan moril, obat dan terapi sehingga dapat menjalani kehidupan dengan normal…” jelas dokter. “Bagaimana dengan gejalanya ini dok? Selama ini, anak itu tidak pernah menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan. Tapi tadi, dia selalu berkata bahwa dia sedang bersama seseorang. Tapi nyatanya dia hanya sendirian.” Tambah mak Atun serius.
Aku masih terpejam dalam ruangan itu. Bayangan Aris berlari-lari dalam kepalaku. Kemana dia pergi? Kenapa tidak pamit?. “Gejala Skizofren biasanya akan mengalami penurunan dalam kemampuan belajar dan bekerja. Dia cenderung cuek dan tidak menunjukan emosi apapun untuk awal-awalnya. Tapi kemudian, emosi penderita bisa berubah sewaktu-waktu. Mungkin akan berteriak atau berbicara tak lazim, mungkin juga berbicara sewajarnya orang normal. Penderita juga akan mengalami halusinasi dalam bentuk suara dari sosok yang tidak dikenal, atau bisa saja orang yang sangat dikenalnya. Suara-suara dan sensai lain tersebut muncul terutama saat penderita sedang seorang diri. Mungkin itulah yang terjadi pada gadis ini. Dukungan mental, kasih sayang dan terapi sangat dibutuhkannya saat ini. Terutama dari orang terdekat seperti keluarga dan semacamnya.” Jelas dokter. Mak Atun tetap menangis. Ah, kenapa dia menangis di depan dokter itu?.
Tiba-tiba aku merasa sedih, apakah keberadaan Aris selama ini hanya halusinasi? Siapa yang datang kerumah waktu itu? Siapa yang menggenggam jariku sambil bilang dia menyanyangiku?. Arrrrgghh!!! Ada seseorang yang menjerit dikepalaku. Kenapa sekarang? Bagaiaman dengan ibu? Siapa yang akan merawatnya jika aku juga menderita penyakit yang sama?. Oh, tidak! Aku sehat, aku baik-baik saja. Aku makan dan tidur teratur. Aris akan menemuiku setelah ini. Bukankah dia sudah pamit tadi? Katanya Kakeknya jatuh dari tangga. Iya, benar! Aris akan menemuiku setelah ini. Hujan kembali turun menyapa hidupku, bau tanah yang basah menghampiri lubang hidungku dan kembali mengingatkanku padamu. Setiap Lekuk wajahmu, bagaimana kamu tersenyum, bagaimana kamu bernafas… Hujan selalu datang ketika aku merasa sedih dan kebingungan, sebenarnya, apa yang terjadi padaku?.
TAMAT