Amplop Masrukin

Oleh : Bambang Budiono

blokTuban.com - Remang subuh baru saja dimulai, embun-embun masih malas di pucuk daun dan bulan masih terlentang mendengkur. 

Derit roda sepeda tua terdengar melas setengah memaksa. Sepertinya as roda butuh pelumas atau malah harus diistirahatkan karena usia. 

Entah ini hari apa?, Subuh kali ini terasa sangat berbeda, lebih dingin dan asing. Jalan-jalan seperti balok es raksasa beku dan kaku. Pohon-pohon muram dan kabut terlihat lebih seram dari biasanya. 

Derit sepeda tua masih meringkik, dari kejauhan lebih mirip soundtrack film horor. Langit yang biasanya semburat jingga tipis cerah kali ini kelabu saja. Angin terasa lembab tak bersahabat.

Derit sepeda tua semakin jelas mendekat. Setelah kelokan mungkin dia akan terlihat. Benar saja sesat kemudian nampak sepeda yang membawa suara derit itu menampakan wujudnya. Adalah Masrukin pemuda berusia 37 tahun yang mengendarainya. Bagi buta Masrukin harus pergi Ke-sawah, membenahi pematang yang bocor atau sekedar memeriksa tanaman padinya. Tak lupa pulangnya membawa rumput untuk pakan sapinya. 

Sekarang memasuki tahun ke-12, ayah muda satu anak itu bekerja sebagai guru madarasah sambil tetap bertani seperti pekerjaannya sedari kecil. Di hamparan persawahan yang luas Masrukin sendirian saja. Memeriksa pematang sawah, barangkali ada yang mrembes atau bocor karena semalam giliran sawahnya mendapat pengairan dari irigasi desa. Lama dia memeriksa setiap jengkal sawahnya. 

Tak ada yang luput dari pemeriksanya. Setelah memastikan tak ada masalah berarti. Dia naik ke pematang, dengan celana basah dan kaki penuh lumpur. Guru muda itu berjalan mencari pematang yang berumput agak tebal. 

Agak jauh dia berjalan dan memeriksa, akhirnya dia bertemu dengan pematang yang sesuai dengan harapannya. Segera sabit diasah, lalu membabat rumput sampai habis. Kucuran embun dari rumput basah yang di babat tak dihiraukan. Dalam benaknya, hanya ada tentang jam tujuh, karena jam tujuh itulah lonceng masuk madrasah akan berbunyi dan dia tidak boleh telat. 

 

Tak sampai se-jam karung yang dia persiapkan dari rumah untuk wadah rumput terisi penuh. Susah payah Masrukin mengangkat karung berisi rumput basah ke atas pundaknya. Sekuat tenaga dia mencoba, sesekali karung yang licin karena basah embun, luput dari genggamannya dan gagal naik ke pundak. Setelah beberapa kali mencoba dengan tenaga penuh, akhirnya sampai juga rumput sekarung penuh itu ke pundaknya. 

Selanjutnya, pematang sawah yang basah dan licin menunggunya. Berkali-kali kakinya terpeleset. Hampir jatuh. Tapi pengalaman berpuluh tahun berjalan di atas jalan licin dengan beban di pundak, membuat langkahnya tetap terayun dan sampai di tempat sepeda tua nya berada, tanpa sekalipun jatuh.

 

Di timur matahari sudah muncul malu-malu. Saat sepeda tua dengan derit yang sakit di telinga itu memasuki halaman rumah, jarum pendek jam dinding berada di antara angka enam dan tujuh. 

Bergegas Masrukin ke kamar mandi, lalu berganti baju seragam mengajar yang telah disiapkan oleh istrinya. 

Derit sepeda tua kali ini melaju kencang. Sedetikpun guru muda itu tak ingin telat datang ke sekolah. Hari ini taggal lima. Tanggal yang paling dinanti setiap bulanya. Tanggal gajian. 

Bel istirahat madarasah berbunyi. Anak-anak murid keluar kelas untuk jajan ke-kantin dan menunaikan sholat sunah di masjid madarasah. Para guru dan pegawai administrasi berkumpul di kantor yayasan dengan wajah sumringah. Hari gajian memang membawa kebahagiaan tersendiri. 

Tiba giliran namanya dipanggil, senyum terkembang di bibirnya. Diterimanya amplop dari bendahara yayasan. Tertulis jelas di amplop namanya lengkap dengan gelar akademis dan nominal seberapa tujuh ratus ribu rupiah. Dipegangnya erat-erat amplop tersebut. Kalimat sukur tak henti-henti mengalir dari bibirnya. 

Masuk jam terakhir pelajaran handphone android Masrukin berbunyi. Seorang kawan lama, teman sekelas saat kuliah dulu mengirim pesan, kalau nanti sore ingin datang berkunjung kerumahnya. Lengkap sudah kebahagiaan hari itu. Menerima gaji dan lepas kangen dengan kawan seperjuangan. 

Ingatan Masrukin pun melambung jauh, ke tahun 2008 saat dia memasuki semester ke-empat kuliahnya. Dia dan temanya berdesakan dalam bus dengan orang-orang yang pulang dari pasar. Tak jarang hanya satu kaki yang termuat dalam bus. Kaki yang satu lagi dan separuh badanya berada di luar pintu bus. Empat tahun situasi yang sama berulang, setidaknya empat-lima kali dalam seminggu. 

Terbayang kembali juga, saat hari wisuda. Orang tua dan seluruh kerabatnya bersuka cita. Anak kebanggaanya menjadi sarjana. Bisa mengangkat derajat dan ekonomi keluarga. Setidaknya begitulah harapan umum masyarakat saat meyaksikan anaknya berhasil menjadi sarjana. 

Bayangan dan ingatan masa lalu itu terus melambung, sampai bel pulang menariknya kembali pada kenyataan. Tujuh ratus ribu. Jatah susu dan popok anaknya akan sedikit berkurang untuk jamuan makan tamunya nanti. (*)