Canting

Penulis: Yoru Akira

Tangan Larasati gemetar. Berita di layar televisi membuatnya geram. Perempuan itu, bagaimana bisa berani tampil percaya diri di depan kamera. Menyatakan dengan lantang kepada seluruh dunia.

"Ya, saya menyelesaikan desain selama kurang lebih dua minggu. Yah, jika dihitung dengan proses membatiknya sekitar satu bulan lah," tutur perempuan itu semakin membuat Larasati murka.

"Gundulmu yang satu bulan. Aku yang susah-susah mbatik tiap siang malam, malah kamu seenaknya ngaku itu karyamu. Wong edan!"

Umpatan menusuk tajam dari perempuan setengah baya itu. Dengan kesal dia menyambar remote tv. Sekejap benda kotak ajaib itu hanya meninggalkan lara dalam hati Larasati. Dibantingnya remote dalam genggamannya hingga hancur. Dia bersumpah, kalau perempuan dalam televisi itu menemuinya akan dijadikannya adonan perkedel.

Sesal diam-diam menyusupi sanubari Larasati. Seandainya saja dia tak mudah percaya pada perempuan ular itu. Dulu, dia pernah mengalami hal serupa. Perempuan itu datang padanya tengah malam. Meminta kain batik yang baru saja diwarnai. Katanya ada orang penting yang mencari batik kualitas terbaik. Dia berjanji akan membayar Larasati dua kali lipat dari harga standart. Nyatanya Larasati hanya mendapat 100 ribu dari penjualan batik. Padahal seharusnya dia bisa menjual lebih tinggi dari harga pasar. Wanita ular itu mengelabuinya. Toh Larasati juga paham jika kain batik itu dijual empat kali lebih mahal dari harga seharusnya.

Sejak saat itu, Larasati tak pernah lagi berurusan dengannya. Hingga seminggu lalu perempuan ular itu muncul di depan pintu rumahnya. Larasati sudah memiliki firasat buruk saat kemunculannya. Tapi nyatanya kini dia benar-benar tertipu.

"Yuk, kowe punya stok batik yang bagus toh? Jadi aku mau diajak Ibu Bupati ke Jakarta buat pameran. Lha aku ndak punya stok barang bagus e. Nanti namamu tak sebut di tv. Biar kamu terkenal yuk. Nanti kalau kamu sudah terkenal, kamu bakal diwawancara banyak orang. Semakin banyak juga orang melirik batikmu. Apalagi kualitas batikmu iki apik tenan loh Yuk. Percoyo karo aku, mengko mesti usahamu makin laris."

"Gedabrus. Aku wis hapal tabiatmu Sri. Wus ora usah mbujuk. Aku ora keno mbuk bujuki meneh."

"Aku ora mbujuk Yuk. Iki aku nggawa undangane. Toh, ada KOP sama stempelnya kabupaten. Wus sampean siapke wae barange. Tiga hari lagi aku ke sini."

Larasati hanya memandang nanar punggung perempuan itu. Teringat rengek anak gadisnya yang minta dibelikan seragam baru. Bajunya sudah kumal. Bahkan sudah ditambal beberapa bagian. Larasati mengesampingkan egonya untuk saat ini. Apalagi usahanya sedang kembang kempis.

Biasanya Larasati bisa menjual dua sampai tiga lembar kain tenun batik setiap minggunya. Kalau sedang untung bisa sampai enam lembar kain batik. Selama ini, dia sendiri yang menjualnya di pasar desa. Dia kapok ditipu wanita ular macam Sri. Namun, akhir-akhir ini pengrajin batik di desanya semakin melek IT. Mereka bersaing menggunakan penjualan online untuk menarik pembeli. Sementara dirinya hanyalah orang miskin yang tak pandai tentang teknologi pula. Jadilah Larasati masih menggunakan cara lama untuk berdagang. Sekali pun dia hanya bisa menjual satu lembar kain batik per minggunya.

Kini kenyatanya pahit menampar wajahnya lagi. Harapannya terlalu tinggi ketika Sri kembali muncul tiga hari kemudian. Dikeluarkannya beberapa potong kain batik terbaik yang dikerjakannya selama enam bulan terakhir. Bahkan, dia juga mengeluarkan batik pusaka yang selama ini disimpan rapi dalam almari. Batik yang diwariskan secara turun menurun dari moyangnya. Mbah buyut Larasati memintal benangnya dari kapas terbaik. Tenunnya pun terasa lembut. Pewarnanya diramu dari daun tom pilihan. Menjadikan kesan warna indigo semakin mewah.

Semula, Larasati ingin memberikannya kepada anak gadisnya saat menikah kelak. Sebagai penyambut hari bahagianya. Tapi secepat kilat Sri mengambilnya. Menjadikan satu dengan tumpukan kain batik yang akan dibawanya.

“Yuk, yang itu juga ya,” kata Sri sambil menunjuk selembar kain batik bernuansa merah bata. Kainnya dari sutra pilihan.

“Jangan, itu pesanan orang!”

“Halah, sudahlah. Kamu ‘kan bisa bikin lagi toh. Sudah, yang ini tak tukune wae. Ora usah protes.”

Tanpa menunggu persetujuan Larasati, perempuan itu melipat kain batik yang baru selesai diwarnai.

“Sudah, ini bayaran untuk kain yang aku bawa. Nanti sisanya aku kasih kalau pulang dari Jakarta. Ah ya, aku pasti juga akan mengenalkan batik-batikmu kepada seluruh pengunjung. Jangan khawatir!”

Sepeninggalan Sri, perempuan setengah baya itu hanya bisa menangis. Beberapa potong kain yang seharusnya dijual menjelang natal dan tahun baru telah berpindah tangan. Padahal biasanya ada noni-noni Tionghoa yang mencari kain untuk baju baru. Orang-orang dari pemerintahan pun sering mengunjungi desanya saat menjelang tahun baru. Pesanan untuk seragam. Ganti tahun, ganti pula seragam yang digunakan setiap hari Selasa, Kamis, Jum'at dan Sabtu. Apalagi ada peraturan yang menegaskan untuk memakai batik lokal. Tentu pembatik seperti Larasati mendapat jatah lumayan jika sang juragan menggandengnya untuk proyek pesanan ini.

"Walah, apik tenan batikmu yang ini yuk," kata Sri memuji hasil keluwesan tangan Larasati. Perempuan setengah baya itu hanya bisa mencibir.

"Ya kalau kamu sudah tahu barang bagus kok masih saja dibeli murah. Toh kalau sudah masuk butikmu yang magrong-magrong kae yo tetep kamu jual mahal. Apalagi yang beli konglomerat."

"Bukan begitu yuk. Aku kan juga harus cari untung toh. Yang lalu-lalu kan juga tak bayar mahal."

"Halah, lambemu Sri. Isane mung ngapusi wae."

"Lha kamu kok malah ngelunjak toh yuk?! Ini jadi boleh tak bawa toh ora? Kalau ndak boleh ya sudah. Aku permisi."

Saat itu, Larasati ingin sekali membiarkan Sri pergi. Tapi wajah anak gadisnya justru membayangi retina mata. Seragam itu harus cepat diganti jika tidak ingin ada jahitan di bagian lain.

"Eh tunggu Sri. Baik, saya akan serahkan kain-kain batik ini. Tapi dengan syarat."

"Halah, syarat-syaratan. Kayak arep kredit omah wae yuk. Ya sudah, apa syaratnya?"

"Kamu harus bayar kain-kain ini. Setengah harga yo ndak apa-apa. Tapi tetep kamu harus nyebutin merk-ku kalau ditanya waktu pameran. Nah kalau ada yang laku, kamu harus serahkan semua hasil penjualan ke aku. Bagaimana?"

Tanpa berpikir panjang, Sri menyanggupi permintaan Larasati. Ada sepuluh potong kain kualitas terbaik yang dibawa Sri. Larasati memintal benangnya dari kapas terbaik di kebunnya. Di sela-sela rutinitasnya menjadi buruh tani, dia selesaikan tenunannya dengan alat tradisional. Lantas dengan telaten dia membakar malam dan menarikan canting di selembar kain tersebut. Untuk pewarnaannya dia tak pernah main-main. Dipilihnya bahan alam untuk pewarnaan kain batiknya. Kulit mahoni, secang, hingga daun tom diolahnya sendiri hingga menjadi pewarna alami. Itulah sebabnya hasil karya Larasati selalu bagus.

Sebagai gantinya, Larasati memperoleh uang penjualan sebesar 500 ribu rupiah. Berapa pun itu, Larasati tak ingin membatah. Meski sebenarnya dia harus menerima lebih. Namun, untuk kedua kalinya dia ingin mempercayai Sri. Terlebih semua itu demi anak gadisnya.

Nyatanya...

Kini?

Larasati kehilangan kata untuk mengungkapkan kekecewaannya. Rasa marah bercampur sedih luar biasa. Dia tak pernah mengira jika Sri akan mengakui hasil karyanya. Anak-anak yang dengan tulus dia belai selama enam bulan terakhir.

"Duh Gusti kang Maha Agung, kula nyuwun pangapura!"

 

Tuban, 30 September 2017

 

Ilustrasi.net