Percaya Diri yang Belebihan

Oleh: Nanang Fahrudin

Perlu ndak kita percaya diri? Tentu saja perlu. Tapi jangan berlebihan. Dunia ini sudah terlalu penuh oleh rasa percaya diri berlebihan. Sindrom percaya diri berlebihan kini telah menjangkiti banyak orang. Satu tingkat di atas sindrom percaya diri adalah sifat asosial yang akut. Sifat menganggap diri paling tinggi.

Berselfie lalu menyebar ke ruang publik adalah bentuk dari rasa percaya diri. Namun ketika yang prifat selalu disebar sendiri ke publik, itu artinya sindrom percaya diri berlebihan. Fenomena sekarang adalah segalanya disebar di ruang publik. Kita meyakini kebenaran akan suatu hal, kita sebar ke publik; kita punya pandangan tertentu terkait suatu masalah, dengan cepat kita akan sebar ke media sosial.

Kita terlalu percaya diri bahwa kita adalah orang-orang yang diberi hak Tuhan menyebarkan kebenaran kepada siapapun. Kita sudah mulai melupakan bahwa kita sama-sama sedang mencari kebenaran. Alhasil, dunia ini dipenuhi oleh orang-orang yang bertarung untuk menebarkan keyakinan, pandangan, kepercayaan, akan sebuah kebenaran. Bahkan, saking terlalu percaya diri, seseorang bisa mati-matian mempertahankan kelompoknya. Sedang upaya mencari sebuah kebenaran bersama-sama malah sudah banyak ditinggalkan.

Memang, teknologi informasi telah banyak mengubah perilaku seseorang. Media sosial mengubah orang yang tertutup bisa menjadi orang yang sangat over terbuka. Dulu orang-orang berilmu tidak mudah menyebarkan pengetahuannya. Bukan lantaran mereka pelit ilmu, melainkan hanya menjaga agar jangan sampai muncul kesombongan akan ilmunya.

Seorang santri yang lama menimba ilmu di pesantren akan berpikir berulang kali untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Ia kemudian didaulat oleh masyarakat sekitar untuk mengajarkan ilmunya. Lalu, setelah direstui oleh gurunya, santri itupun mendirikan pesantren.

Tapi itu cerita yang mulai usang. Sangat sedikit yang demikian. Karena yang banyak terjadi sekarang adalah siapapun percaya bahwa dirinya adalah seorang penyelamat. Ia dan kelompoknya. Jika tidak mengikutinya dan kelompoknya, maka orang itu akan menuju celaka. Maka jangan heran ketika banyak orang yang dulunya biasa-biasa saja, namun dalam waktu singkat saja sudah berubah menjadi pendakwah, menghalalkan dan mengharamkan sesuatu, berpenampilan “islami”. Karena dia sangat percaya diri yang melampaui batas.

Hidup kita sudah terlalu memuja busana dan menanggalkan jiwa. Yang profan mengalahkan transenden. Menisbatkan agama pada pakaian dan tutur kata. Menjadikan kebenaran sebagai barang dagangan. Menempatkan diri kita selalu lebih tinggi di hadapan orang lain. Memuja kesombongan dan mengolok-olok tawadlu. Memakan kulit kacang dan membuang isinya, lalu kita berteriak bahwa apa yang kita lakukan adalah sebuah penemuan besar. Dan hebatnya, kita dengan bangga merayakan semuanya.

Allah Maha Baik. Menyukai orang-orang yang berilmu. Allah juga berjanji akan mengangkat derajat orang yang berilmu di hadapan-Nya. Itu janji Allah. Tapi kita tidak punyaa hak memaksa orang lain untuk mencari ilmu. Apalagi memaksa Allah mengangkat derajat orang yang kita paksa agar mencari ilmu.

Sebentar lagi bulan suci Ramadan tiba. Bulan di mana Allah membuka pintu rahmat dan pengampunan selebar-lebarnya. Kita perlu menata hati kita agar bisa tawadlu menjalani ibadah puasa. Ramadan bukan waktu dimana kita mengharuskan hal-hal yang ada di sekitar kita menjadi baik. Tapi diri kitalah yang harusnya baik.

Mari kita sama-sama belajar menjadi orang baik dengan ilmu Allah. Bukan memaksakan lingkungan kita menjadi baik. Berpuasa adalah menata hati kita, bukan menata warung-warung agar tutup siang hari. Terkadang kita terlalu menuntut lingkungan kita islami, namun lupa akan diri kita sendiri.


Semoga kita dipilih Allah menjadi bagian dari orang-orang yang berpuasa dengan sebenar-benarnya. Bukan orang-orang yang berpuasa dengan kepercayaan diri yang melampaui batas. Marhaban ya Ramadan!. [fah]

Ilustrasi: psycologytoday.com