Penulis: Yoru Akura
Suatu saat aku memang pernah berjanji. Ketika hitungan wetonku memang tak baik dengan calon suamiku, aku harus rela meninggalkan dia bagaimanapun perasaanku. Tapi, kenapa hal ini harus kualami saat pernikahanku kurang tujuh hari?
“Kesialan membayangi langkah bocah itu, Pak. Calon menantumu itu. Kemana pun dia pergi, orang-orang akan terpancing untuk memusuhinya. Sementara anakmu itu perwujudan putri yang lemah-gemulai. Saya tak bisa jamin Ratri tak sanggup menghadapi derita macam ini,” suara Mbah Roso kembali berdengung dalam kepalaku.
Sedangkan ayah mencoba menegarkanku meski perasaannya sendiri pun lebur. Ibu tak sanggup lagi menahan isak yang sedari tadi coba dia sembunyikan di balik sengau suaranya.
“Belum lagi kharisma yang melekat padanya. Dia akan mudah memikat gadis mana pun yang menjadi incarannya. Sayangnya dia tak pernah bisa menolak siapapun perempuan yang mendekat. Sudahlah Nduk, Mbah sarankan kamu mencari jodoh lainnya.”
Bisa kubayangkan bagaimana perasaan pria yang dengan hangat selalu memelukku saat menuai masalah. Semua teman kantornya sudah mendapat undangan pernikahan anak semata wayangnya. Bagaimana malunya ketika beliau harus mengumumkan bahwa pernikahan anaknya terancam gagal. Sebab perhitungan weton menuai ketidakcocokan. Tak bisa kubayangkan bagaimana ayah harus menanggung malu menghadapi tetangga.
Belum juga ibu. Perempuan itu masih terus menangis. Lantas ucapan ketidaksetujuan tentang hubunganku dengan Mas Yudha pasti terdengar lagi.
“Sejak awal sudah ibu bilang ‘kan Nduk, dia bukan jodoh terbaik untukmu,” ucap ibu lirih sambil merangkul bahuku.
“Ibu, mana kutahu kalau semua akan berakhir menjadi tragedi. Ini bukan kemauanku,” kataku lirih.
Dulu, ibu memang pernah melarangku untuk berhubungan dengan Mas Yudha. Katanya, aku tak boleh mencari calon suami yang arah datangnya sama dengan ketika beliau melahirkanku. Pamali. Bila itu terjadi sama halnya dengan melangkahi nyawa beliau. Kupikir, itu hanya omong kosong ibu untuk melarangku berhubungan dengan Mas Yudha. Sebab saat itu, dia hanyalah penjual kopi di tanah rantau. Sementara Mas Yudha merintis usaha kecil-kecilan, aku melipur ibu jika suatu saat kehidupan akan memutar rodanya. Perlahan, perempuan itu luluh. Dia ikhlas anaknya menerima lamaran orang yang tidak sesuai dengan hatinya.
“Ini memang tak pernah kau bayangkan Ratri, tapi firasat ibu tak pernah keliru,” kata ibu semakin membuatku terpuruk. Rasnya aku ingin menghilang saja dari peredaran bumi. Mana bisa kutanggung beban seberat ini. Ketika pernikahanku tinggal menghitung hari.
Ibu merangkul pundakku. Air mata menegaskan garis-garis keriput yang mulai menyapa kulit arinya. Sebagai orang Jawa beliau tak bisa menolak tradisi. Begitu pula ayah. Namun, akan ada hati yang terluka bila mereka mengambil keputusan mengikuti alur Mbah Roso. Bukan hanya anak semata wayangnya, tetapi juga keluarga mempelai pria yang sudah banyak membantu untuk pernikahan ini.
“Maaf Nduk, sepertinya kamu harus benar-benar membatalkan pernikahan ini,” tegas Mbah Roso saat dirasa tidak ada satu pun orang merespon ucapannya.
“Mbah, bagaimana bisa ngomong seperti itu? Ini perkara hati Mbah. Juga harga diri. Bagaimana bisa Mbah menyarankan hal yang hanya bisa merugikan kami semua,” teriakku tanpa kontrol.
“Mau bagaimanapun kehidupanku nanti, tak seharusnya Mbah Roso mengatur aku jadi menikah atau tidak. Lantas kalau aku tak jadi menikah, apa Mbah Roso sanggup mencarikan jodoh yang sesuai dengan perhitungan wetonku?”
Tak bisa lagi kucegah amarah yang diam-diam mengintip di balik pintu sedari tadi. Dia menguasai tubuh dan mengambil alih pikiran jernihku.
“Ratri, sabar Nak. Kita akan mencarikan solusi untuk pernikahanmu. Pasti ada,” kata ayah menghibur. Padahal jelas lelaki tua itu bilang, ini bukan perkara maju atau mundurnya pernikahanku, tapi pembatalan.
“Ayah tidak dengar dia bilang tadi? Ini bukan perkara mencari solusi, tapi pembatalan pernikahanku. Ajak saja dia menemui keluarga Mas Yudha dan suruh menjelaskan tentang perhitungan wetonnya itu. Aku tak mau peduli!”
Seketika itu juga aku meninggalkan ruang tamu. Kepalaku sudah terlalu sesak dengan suara Mbah Roso yang tiba-tiba muncul dan mengacaukan semuanya. Biar saja aku meledak bersama kelepak gagak. Toh dia juga tak membawa kabar baik untukku. [selesai]
Biodata Penulis:
Yoru Akira nama pena dari Sumartik. Lahir di kota Tuak pada tanggal 17 Juli 1992. Beberapa karyanya berupa puisi dan cerpen pernah menghiasi majalah, dan koran daerah setempat. Selain itu beberapa cerpennya pernah diantologikan bersama. Saat ini sibuk mengelola blog semestayoru@wordpress.com dan merawat rumah kreatif Komunitas Langit agar tidak “punah”. Penulis bisa disapa melalui e-mail sumartik92@gmail.com atau melalui nomor HP 085784473848.
*Program blok cerpen merupakan kerjasama antara blok Tuban dengan Komunitas Langit Tuban