Peta Gempa Baru: Mengenal Megathrust Sepanjang 1.000 km di Selatan Jawa

Reporter : Ali Imron 

blokTuban.com - Di Indonesia, gempa megathrust sudah tidak asing lagi. Berdasarkan data dari BMKG, terdapat banyak kejadian gempa megathrust di berbagai daerah. 

Dilansir dari situs resmi BRIN, Nuraini Rahma Hanifa, Peneliti Ahli dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, mengungkapkan bahwa sebagian besar gempa megathrust dan tsunami terjadi di sepanjang Sumatera, beberapa di Jawa, dan cukup banyak di Indonesia Timur.

Ada beberapa wilayah yang tampak kosong, tetapi ini bukan berarti tidak ada potensi tsunami, melainkan disebut sebagai 'seismic gap'. Ini artinya, ada area yang berpotensi mengalami gempa besar kapan saja.

“Penelitian yang telah dilakukan dapat berkontribusi dalam pengurangan risiko gempa. Megathrust dan potensi gempanya adalah hal yang nyata, namun ini merupakan bagian dari fenomena alam yang harus dihadapi dengan adaptasi dan mitigasi,” kata Rahma saat berbicara di BRIN Insight Every Friday (BRIEF) edisi ke-128 dengan tema Mengenal Megathrust dan Mitigasinya, pada Jumat (30/8).

Rahma menjelaskan bahwa megathrust secara harfiah berarti patahan naik yang sangat besar. Indonesia, yang terletak di atas ring of fire, memiliki wilayah yang luas dan rentan terhadap megathrust.

“Gempa megathrust mulai menjadi perhatian utama pada 2011, dengan semakin banyak riset yang dilakukan dan penerapan hasil riset yang terus berkembang. Menghubungkan antara riset dan kebijakan sangat penting untuk membangun mitigasi terhadap megathrust,” ujar Koordinator Kelompok Riset Geohazard Risk & Resilience tersebut.

Ia menambahkan, berdasarkan peta gempa 2017 yang sedang diperbarui dan direncanakan selesai pada akhir 2024, lokasi megathrust di Indonesia umumnya terletak dari sisi barat Sumatera hingga selatan Jawa.

“Bidang megathrust ini seukuran Pulau Jawa. Bayangkan jika bergerak 20 meter secara serentak, guncangannya akan sangat besar,” jelasnya.

Di selatan Jawa, megathrust terbentang sepanjang 1.000 km dengan bidang kontak selebar 200 km, yang menjangkau kedalaman sekitar 60 km, dan terus mengakumulasi energi yang bisa dilepaskan kapan saja.

“Di bawah Pulau Jawa, ada lempeng samudra Indo-Australia yang menghujam ke bawah selatan Jawa, sedangkan di atasnya terdapat lempeng kontinental. Pertemuan antara lempeng samudra dan kontinental inilah yang disebut bidang megathrust,” ungkap Rahma, yang meraih gelar S3 dari Nagoya University pada 2014.

Lebih lanjut, Rahma menjelaskan bahwa dalam konsep bencana, ada hal-hal yang bisa dan tidak bisa dikendalikan, seperti pergerakan bumi dan pertumbuhan penduduk. Risiko bencana adalah fungsi dari bahaya dan kerentanan, yang dibagi dengan kapasitas atau kemampuan beradaptasi.

“Kerentanan berkaitan dengan eksposur atau pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko bencana dari potensi megathrust, kapasitas adaptasi masyarakat harus ditingkatkan. Jika tidak ditingkatkan, meskipun kita sudah tahu akan adanya bencana namun tidak mengambil tindakan, maka kapasitas kita rendah, dan ini akan meningkatkan risiko bencana,” ujarnya.

Rahma menekankan pentingnya pemahaman yang baik mengenai megathrust untuk meningkatkan kapasitas adaptasi.

“Ancaman dari megathrust meliputi ancaman primer seperti guncangan gempa permukaan dan surface rupture, serta ancaman sekunder seperti tsunami, longsor, likuifaksi, dan kebakaran,” katanya.

“Kita bisa hidup berdampingan dengan fenomena megathrust, dan ini bukan sesuatu yang harus ditakuti. Kita memang harus hidup bersama dengan megathrust, terutama karena kita berada di negara kepulauan,” pungkasnya.