Oleh: Nanang Fahrudin
Tinggal di sebuah daerah yang menggembor-gemborkan industri migas, seperti Bojonegoro, memang harus berusaha tidak terbawa arus. Industri migas harus dipandang bukan milik semua orang, di semua lapisan. Karena faktanya, hanya orang-orang tertentu saja yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dengan industri migas tersebut. Karena begitulah karakter industri migas.
Industri migas Blok Cepu memang tetap harus berjalan sesuai jalan yang dibuatkan oleh undang-undang. Karena itu proyek nasional yang dibutuhkan ketika industri migas nasional mengalami penurunan. Namun, bidang-bidang yang lain harus tetap digarap. Karena Bojonegoro tidak berjalan cuma oleh industri migas saja. Banyak gerakan-gerakan yang ikut mewarnai perjalanan Bojonegoro.
Misalnya saja gerakan revolusi data yang berbasis digital. Juga gerakan pungut sampah yang terus gencar dilakukan. Geliat industri kreatif di Bojonegoro yang dilakukan anak-anak muda juga patut mendapat apresiasi. Termasuk gerakan literasi yang banyak dilakukan oleh komunitas dan lembaga pendidikan di Bojonegoro. Gerakan-gerakan macam itu tentu dibutuhkan Bojonegoro untuk mengimbangi dominasi industri migas.
Pada ranah inilah, apa yang dilakukan blokBojonegoro (bB) patut diapresiasi. Selain sebagai media yang menyebarkan informasi untuk publik, bB juga ikut dalam gerakan literasi di Bojonegoro. Yakni dengan penerbitan sejumlah buku hasil peliputan jurnalisnya. Buku pertama yang sudah diterbitkan adalah Masjid Tanpa Kubah, Corak Religi di Bojonegoro(2013). Buku tersebut berisi liputan berita feature yang dilakukan reporter bB bertema agama.
Buku tersebut bukan membincang agama dari sisi ibadahnya, melainkan lebih menitikberatkan pada bagaimana orang Bojonegoro beragama, budaya apa diciptakan dari keberagamaan itu, serta bangunan-bangunan apa yang menjadi ikon sejarah agama tersebut ada di tengah masyarakat. Salah satu contoh adalah cara agama masyarakat Samin di Kecamatan Margomulyo. Hampir semua warga Samin adalah ber KTP Islam, tapi mereka juga memegang teguh ajaran Saminisme.
Satu buku lagi yang baru saja dilaunching adalah Orang-Orang Migas (2016) yang berisi tentang profil-profil orang-orang yang bekerja di dunia migas. Orang-orang migas tersebut berbagi pengalaman tentang dunia kerjanya, sekaligus berbagi kisah perjalanan hidupnya. Tentu dengan harapan kisah tersebut bisa menginspirasi pembaca. Selain dua buku tersebut, bB juga ikut membidani 10 buku yang diterbitkan oleh GusRis Foundation yang ditulis oleh penulis-penulis Bojonegoro.
Menerbitkan buku oleh institusi media, memang belum banyak dilakukan oleh media di Bojonegoro. Padahal, berita di media adalah sejarah hari ini. Artinya, apa yang ditulis di media akan menjadi penting di masa depan. bB telah mengawali langkah gerakan literasi dengan menerbitkan buku. Bahkan, gerakan literasi juga pernah dilakukan dengan cara keliling sekolah tingkat SMP/MTs dan SMA/SMK/MA. Semua sekolah di Bojonegoro pernah didatangi.
Gerakan-gerakan literasi semacam ini memang sedang dibutuhkan di Bojonegoro. Komunitas Atas Angin yang juga bergerak di dunia literasi juga sedang menyiapkan penerbitan jurnal Atas Angin volume 8. Jurnal Atas Angin boleh dibilang satu-satunya jurnal budaya di Bojonegoro yang masih eksis. Meski dalam perjalanannya membutuhkan energi yang tidak sedikit dari pegiat komunitasnya.
Akhirnya, mari terus mendorong gerakan literasi di Bojonegoro. Dan satu lagi PR bagi media, komunitas, ataupun pemerintah adalah literasi digital. Gerakan literasi digital tak kalah penting, mengingat generasi sekarang adalah generasi millenial.