Berakhirnya Begal Darsum

Penulis: Rohmat Sholihin*

blokTuban.com - Sudah hampir 3 minggu ini, Darsum tak mendapat hasil apapun. Mondar-mandir tak tentu arah. Di rumah, istrinya hanya ngedumel mengenai kebutuhan. Rumah tangga yang kian membengkak. Pemasukan tak ada, hanya hutang terus menumpuk. Warung sana hutang, warung sini hutang. Istrinya semakin bertambah cerewet, dan terus minta uang dari Darsum yang tak bisa berbuat apa-apa. Mau ambil kayu di hutan sekarang sulit karena penjagaan dari polisi hutan semakin ketat.

Biasanya, Darsum masih tetap nekat mencuri kayu-kayu jati bersama dengan komplotannya, lebih tepatnya para blandong-blandong kayu. Mereka tak pernah peduli. Dengan polisi hutan, bahkan melakukan perlawanan-perlawanan dan main petak umpat dengan petugas. Namun, beberapa hari ini ada operasi gabungan polisi hutan. Dengan Brimob, membuat Darsum tak bisa berkutik. Sial.

Barang-barang yang ada di rumah, mulai perabotan, TV, HP, bahkan motor bututnya sudah terjual untuk membayar hutang-hutang. Hanya tinggal motor milik anaknya yang masih bertahan karena anaknya ngotot tak boleh dijual. Anaknya punya cara supaya motor tidak dijual bapaknya, yaitu dengan menitipkan di rumah teman. Berhari-hari, bahkan motor itu tak pernah dibawa pulang ke rumah oleh sang anak, sampai Darsum lupa model warna motor anaknya. Hingga suatu siang menjelang sore. Di ruang tengah rumahnya. Darsum mengajak ngobrol anaknya.

“Mana motormu le?” tanya Darsum pada anak lelakinya.
“Dipinjam teman pak,” jawab anaknya.
“Bawa pulang, mau pinjam sebentar. Bapak sudah tak punya motor, sudah terjual untuk bayar hutang-hutang,” pinta Darsum dengan sedikit kesal.
“Masih dibawa teman pak,” jawab anaknya.
“Dibawa kemana? Punya motor tak pernah dibawa pulang, kalau ada kerusakan siapa yang bertanggung jawab, apakah temanmu mau bertanggung jawab?” bicara Darsum pada anaknya.
“Tak tahu, Pak,” jawab anak Darsum santai.
“Aku membelikan motor itu untukmu Le, bukan untuk temanmu, nanti coba bawa pulang, aku ingin memakainya,” perintah Darsum pada anaknya.
Anaknya hanya diam tak menjawab, dalam hatinya berkata, “Siapa sudi, paling-paling mau Bapak jual,” dengan tenang anaknya pergi dari muka Darsum.
“Anak zaman sekarang, benar-benar susah diatur. Diajak bicara baik-baik malah nyelonong pergi,” gerutu Darsum.

Darsum pun berlalu meninggalkan rumahnya yang terasa sumpek. Sudah begitu tak ada uang, tak ada penghasilan, membuat hati menjadi bingung. Mau beli rokok saja tak bisa, apalagi mau minum kopi di warung. Jika kepepet hutang juga jadinya, menambah beban hutang saja. “Ah, benar-benar sial, masa bodohlah. Betapa susahnya hidup miskin begini, aku harus cari cara untuk dapatkan uang, ya dapatkan uang, uang adalah segalanya, ada uang masalah jadi beres, tak perduli apa usahaku, yang penting aku harus dapat uang, uang, uang, uang, uaaaaaaaaaang,” berontak batinnya yang berkecamuk liar seliar akalnya yang cekak nalar.

Ia putuskan merampok di hutan Krawak, berfikir bahwa dengan cara merampas milik orang lain adalah cara yang cepat. Tiap malam ia bergentayangan di hutan Krawak menunggu orang lewat, baik orang yang naik motor maupun mobil. Ia rencanakan aksinya dengan kasar dan sadis, bahkan tak segan melukai korbannya. Benar-benar Darsum telah menjadi manusia kalap. Ia selalu mengincar motor yang melintasi hutan Krawak sendirian. Ia cegat dengan kayu, Ia hunus pedangnya dengan ancaman yang benar-benar sadis. Tak perduli perempuan dan laki-laki, jika melintasi hutan Krawak sendirian di atas jam delapan malam, pengendara motor itupun akan menghadapi bahaya perampok Darsum.

Sekarang, Ia telah sedikit bisa memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya. Dapur rumahnya pun mengepul aman. Tak lagi terdengar suara cerewet istrinya. Hutang-hutangnya pun mulai sedikit demi sedikit teratasi. Bahkan ia kini berani minum kopi dan makan di warung-warung dengan percaya diri. Teman-temannya pun heran, Darsum sekarang tak lagi hutang untuk makan di warung-warung. Kerja tidak, ambil kayu di hutan tidak, tanam jagung di tanah persilan juga tidak. Ini yang membuat teman-teman di kampungnya heran. Jika ditanya teman-temannya tentang kerjaannya, Darkum menjawab enteng. "Ya, bisnis kecil-kecilan," teman-temannya pun mengiyakan meski masih terlintas penasaran dalam otak.

“Sekali-kali, kita mau diajak kerja kang Darsum. Ya rezeki dibagi kang, jangan dimakan sendirian. Nanti sakit perut lo Kang, kebanyakan duit,” kelakar teman-temannya di warung kopi. Kang Darsum hanya diam saja, maka ledekan menjadi semacam gugatan.

“Kenapa sampeyan tak mau ajak kerja kita lagi kang? atau jangan-jangan syarat dari mbah dukun memang begitu, kita tak boleh ikut campur? Ya namanya juga usaha Kang, apalagi biasanya jika kang Darsum dapat obyekan kerja langsung ajak kita-kita, kenapa sekarang tidak ya?” celetuk teman kang Darsum.

“Aneh, sejak kapan kau jadi aneh begini kang Darsum? pendiam, tertutup, tak seperti biasa. Ah, jangan-jangan kerja kang Darsum hanya niduri janda kaya ya? ha...ha...ha...” celoteh teman kang Darsum lagi. Sedang kang Darsum hanya diam, dan terkadang dari bibirnya keluar senyum yang dipaksakan untuk menutupi rahasia yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat, bahwa Ia telah menjadi begal. Mendengar kata-kata meniduri janda kaya iapun tersenyum. Dalam hatinya: “Persetan kau semua, dikira aku murahan begitu, tapi jika memang ada janda kaya mau aku tiduri, ya pasti maulah aku, kucing mana dikasih ikan asin tak mau?” batinnya. Lalu mulutnya pun ikut tertawa lepas.

“Iya kan, lihat! Kang Darsum saja tertawa begitu. Bisa benar tebakan kita, iya Kang? janda mana yang baik hati begitu? Bolehkan sekali-kali aku gantikan tugas kang Darsum, semalam saja.” Kelakar temannya lagi.

“Hush!” sanggah kang Darsum.

“Sudah-sudah aku mau pergi, kamu semuanya kerjanya hanya sirik saja,” sentarknya. Darsum kemudian berlalu dari hiruk pikuk warung kopi. Hatinya tertawa sendiri, meski ia punya rasa keragu-raguan dalam hati, bahwa ia telah menyembunyikan sifat kebejatan sebagai manusia yang tidak manusiawi. Merampas yang bukan miliknya, dan menciderai serta melukai orang lain yang telah dilaknat oleh agama manapun. Lalu ia mengumpat pikirannya sendiri. “Bedebah, banyak juga perang yang mengatasnamakan agama, perang yang telah membuat lebih banyak korban-korban yang tak berdosa sekalipun, dan agama-agama yang selalu mengkhotbahkan kesucian, kebaikan, kemaslahatan, prakteknya bisa lebih kejam dari itu. Membunuh atas nama agama terkadang sangat dimudahkan hanya karena ada beberapa pemikiran dan pendapat yang berbeda,” ia mencoba membela keresahan hatinya sebagai manusia, bukan hati setan yang mencoba merusaknya. Pergolakan-pergolakan batin yang ia alami karena masalah ekonomi, menjadikan ia beringas seperti ular yang telah melumatkan mangsanya dengan senjata racun yang dimiliki ular dalam tubuhnya.

“Biarlah diriku sendiri dan Tuhan yang mengerti pergolakan batin ini. Tuhan yang punya hukum dan ketetapan-ketetapan yang akan menghukumku sendiri, jalan dan kisah hidup manusia tak ada yang tahu kecuali Dia,” rintihan hati Darsum semakin memuncak. Ia pun terus berjalan menyusuri gelapnya hutan Krawak, mencari posisi strategis dan siap beroperasi memangsa korban-korbannya dengan tangan, kaki, serta pikiran dan hatinya. Bersambung. [rom]

*Rohmat Sholihin: tinggal di Bangilan. Aktif dan anggota di Komunitas Kali Kening. Penulis bisa dihubungi di email. rohmat.sholihin@yahoo.com.