Oleh: Mochamad Sudarsono
Dewasa ini Bangsa Indonesia masih terus diterjang oleh isu-isu krusial. Isu Politik, Suku Agama Ras dan Antar Golongan (SARA) terus saja menyelimuti kehidupan berbangsa dan bernegera. Tak pelak, isu-isu tersebut seolah menjadi makanan sehri-hari bagi masyarakat indonesia, walaupun kini kita dalam peringatan Peristiwa Sumpah Pemuda.
Peristiwa sakral 28 Oktober 1928 silam telah menjadi saksi tonggak sejarah bagi perjalanan bangsa indonesia. Dimotori oleh para kaum muda, pada tanggal, bulan dan tahun tersebut telah ditetapkan menjadi Hari Sumpah Pemuda.
Sumpah yang digagas oleh pemuda antar daerah tersebut telah menjadi penyatu bagi bangsa Indonesia. Tiga nilai penting di dalamnya telah merekatkan penyatuan antar daerah menjadi satu kesatuan yang tetap, yaitu Indonesia.
Namun pada peringatan Sumpah Pemuda ke 88 ini, terdapat pertanyaan besar yang meluap dalam hati. Pertanyaan ini tentu saja menjadi refleksi bagi bangsa Indonesia yang terus diterpa konflik kebangsaan.
Tiga kata dalam satu kalimat yang harus dijawab oleh anda sendiri dalam merefleksi Hari Lahir Sumpah Pemuda. Masihkah Kita Bersumpah?
Bagi saya tentu akan menjawab belum. Bertanah Air Indonesia pun kita masih belum bisa. Terbukti tanah air yang seharusnya diperuntukkan bagi kemaslahatan bangsa Indonesia, kini mulai terpetak-petak oleh negara lain dan telah dieksploitasi.
Berbangsa Indonesia pun kita juga belum mampu, kita masih saja mempermasalahkan etnis, padahal bangsa sudah mencakup keseluruhan dari antar golongan ataupun suku. Berbahasa, meski terlihat enteng, namun penerapan dalam kehidupan sehari-hari juga semakin bergeser. Masih banyak yang keArab-Araban, masih banyak yang keInggris-Inggrisan, dan semakin berkurang yang keIndonesiaan.
Lantas Masihkah kita Bersumpah? Terus didengungkan, walau banyak yang mulai kehilangan.
Ceremonial bukan monumental, itu mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi kekinian bangsa Indonesia dalam memperingati Sumpah Pemuda. Bukan lagi nilai sejarah atau aspek penerapannya yang terus digelorakan, namun hanya saja sebatas upacara sebagai peringatan yang bersifat sehari selesai dan entah hilang kemana setelahnya.
Siapa yang berperan untuk mengembalikan marwah dari api Sumpah Pemuda. Apakah lagi-lagi kita akan menuntut Pemerintah atau kita bangkitkan sendiri dalam diri kita masing-masing. Nyatanya, jika mengandalkan Pemerintah, kita tahu bagaimana sibuknya Pemerintah yang saat ini lagi sibuk ngurusin bola.
Mungkin Sepak Bola bisa menyedot ribuan pemuda dan dianggapnya sudah tepat untuk merealisasikan nilai-niali Sumpah Pemuda. Itu masih menurut saya, semoga saja tidak.
Jika melihat realitas sudah demikian, maka tak ada jalan lain untuk mengembalikan Api Sumpah Pemuda Itu dari diri kita masing-masing.
Terus menekankan tiga nilai yang terkandung didalamnya, itu yang harus dilakukan oleh Pemuda sekarang dalam memperingati Sumpah Pemuda. Karena secara hakikat tentu Perumus Sumpah Pemuda, Moh Yamin tidak menginginkan hanya ceremonial saja. Tetapi lebih dari itu, kita haruslah menanamkan dan mengimpelementasikan nilai-nilai sumpah Pemuda didalam era demokrasi seperti sekarang ini.
Kata Bung Karno, Warisi Apinya jangan Abunya. Api semangat yang didengungkan oleh Founding Fathers itulah yang harus terus dijaga dan terus dijalankan. Karena seiring perkembangan zaman, globalisasi dan modernisasi tentu saja menjadi ancaman dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Bukan tidak mungkin jika kita tidak menjaga marwah dari Sumpah Pemuda, Suatu saat Sumpah ini hanya akan menjadi bahan cerita bagi generasi berikutnya, tanpa ada nilai-nilai yang harus direalisasi.
Lantas di 88 tahun Peringatan Sumpah Pemuda, masihkah kita Bersumpah?