‎Kelaparan di Lumbung Pangan

Oleh: Sally Atyasasmi

Di tengah kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, sawah ladang nan subur terhampar luas, hutan lebat, sungai mengalir, keberlimpahan bahan tambangnya, serta kekayaan lautnya seolah tiada duanya. Namun ternyata kelaparan masih menjadi masalah pelik bagi bangsa ini. Sebuah ironi bagi Negara yang digadang-gadang sebagai lumbung pangan dunia.

Dengan semua potensi yang dikandung oleh bumi pertiwi hendaknya tidak mustahil untuk membuat sekitar 250 juta penduduk Indonesia menjadi kenyang dan berkecukupan gizi. Namun demikian, menurut data yang dirilis oleh Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 2015 diperkirakan masih ada 19,4 juta penduduk Indonesia yang mengalami kelaparan. FAO juga menyebutkan bahwa secara global Indonesia merupakan salah satu kontributor utama yang menyumbang sepertiga dari 60 juta kasus kelaparan di dunia.

Fakta mengejutkan juga dirilis dalam laporan tahunan UNICEF pada tahun 2014 bahwa kelaparan menimpa 37 persen dari anak-anak balita di Indonesia menderita gizi buruk dalam bentuk stunting. Kondisi kurang gizi kronis atau biasa disebut dengan stunting disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.

Anak yang mengalami stunting menghadapi hambatan belajar di sekolah, berpenghasilan lebih rendah ketika dewasa dan cenderung mewariskan siklus kemiskinan antar generasi. Tajuk kelaparan di lumbung pangan tepat menggambarkan potret Indonesia yang miskin di tengah timbunan harta alam yang tak terhingga.

Jangkar Pangan Nasional

Indonesia memiliki lahan pertanian kurang lebih 30 juta hektare (ha) yang merupakan jangkar penopang kebutuhan pangan Nasional. Sungguh mengejutkan fenomena kelaparan melanda lumbung-lumbung daerah penghasil bahan makanan yaitu pedesaan. Masyarakat yang disebut dengan Petani bukan lagi mereka para pemilik lahan, ribuan hektar lahan pertanian telah dikuasai oleh para tuan tanah sedangkan petani hanyalah mereka para penggarap lahan.

Sebagian besar petani tanpa lahan harus menyewa lahan, menanam dan membeli pupuk, kemudian membagi hasil panen dengan si pemilik lahan, terkadang dibagi setengahnya terkadang lebih kecil, dikurangi dengan biaya yang mereka keluarkan untuk menanam bayangkan betapa sedikitnya yang bisa petani itu bawa pulang untuk makan. Dengan segala keterbatasannya, para petani itulah yang menjadi tumpuan hidup jutaan manusia Indonesia.

Distribusi hasil pertanian yang menjadi kebutuhan pokok seharusnya dapat dinikmati oleh rakyat secara merata. Namun privatisasi perusahaan umum milik negara yang bergerak di bidang logistik pangan sangat ekslusif dengan industri hilir hingga industri swasta berskala besar telah yang mengusasi pasar distribusi ekspor-impor.

Tentu berbeda dengan para elit industri yang memiliki akses dan kemampuan lobi untuk mempengaruhi perjanjian ekonomi atau arus perdagangan global, para petani yang hanya menjadi kuli sektor pangan ini sudah terlalu lapar untuk bersuara hingga teriakan-teriakan mereka tidak terdengar oleh pengambil kebijakan dalam hal ini adalah Pemerintah.

Terperangkap Konsep Kemiskinan

Penetrasi melalui isu-isu kemiskinan memang masih pilihan aman bagi Pemerintah, (mungkin) karena penderitaan anak kelaparan, sakit, kurus, busung dan lemah, terlalu mengerikan untuk menjadi potret Indonesia dimata dunia. Dominasi dengan program bantuan-bantuan darurat bukan program yang bersifat sustainable dengan akumulasi dana yang telah dikeluarkan pun telah mencapai ratusan triliun rupiah.

Namun, tetap saja belum mampu menuntaskan persoalan kelaparan. Melihat realita tersebut hendaknya pemerintah menelaah lebih dalam bahwa akar permasalahan kelaparan bukan hanya faktor kemiskinan. Faktor lain yang menjadi akar penyebab kelaparan adalah faktor kebijakan, formulasi kebijakan pemerintahan dalam memberantas kelaparan belum memiliki indikator impact dan benefit yang jelas dan terukur bahkan seringkali bertolak dengan tujuan memberantas kelaparan.

Terdapat beberapa kebijakan yang berpotensi memperburuk kelaparan yang memerlukan lebih dari sekedar perhatian tetapi langkah serius, antara lain: Pertama, keterbatasan Investasi pada bidang pertanian. Minimnya investasi pemerintah dibidang pertanian, akses jalan pertanian, saluran air, gudang penyimpanan, yang berdampak pada tingginya biaya transportasi untuk mengangkut hasil panen, keterbatasan fasilitas penyimpanan dan sulitnya suplai air. Penelitian yang dilakukan oleh FAO menunjukkan bahwa investasi pertanian 5 kali lebih efektif daripada investas pada sektor lain dalam mengurangi kemiskinan dan kelaparan.

Kedua, alih guna lahan pertanian. Dengan adanya alih fungsi lahan menjadi non-pertanian, maka otomatis lahan pertanian menjadi semakin berkurang. Menurut laporan kinerja badan ketahanan pangan pada tahun 2012 Kementrian Pangan lahan pertanian diindonesia berkurang sekitar 8 juta hectare. Dengan proyeksi dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2008 peningkatan penduduk Indonesia pada tahun 2025 mencapai 273,2 juta orang dengan asumsi rata-rata 1,3 pertahun Untuk bisa mencukupi kebutuhan pangan pada tahun 2025 tersebut, diperlukan adanya tambahan penambahan baku sawah seluas 2,66 juta hektar. Apabila pemerintahan Jokowi tidak segera mengambil langkah serius dalam mengantisipasi hal ini, dalam skala besar, stabilitas pangan nasional juga akan sulit tercapai.

Ketiga, Ketidakstabilan pasar. Untuk menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok, maka pada bulan Juni 2015 pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Kebutuhan Penting. Dalam peraturan tersebut, pemerintah memberi wewenang pada Kemendag untuk menetapkan harga bahan pokok ketika harga bergejolak, mengawasi penyimpanannya, serta mengkoordinasi dan melakukan berbagai tindakan yang berkaitan dengan stabilisasi harga kebutuhan pokok.

Kemendag belum melakukan banyak tindakan dalam menstabilkan harga kebutuhan pokok karena peraturan ini baru saja diterbitkan. Selama ini kebijakan-kebijakan pangan masih diputuskan secara sektoral dan belum terintegrasi dengan sempurna, baik oleh Kemendag, Kementerian Pertanian, Pemerintah Daerah, Kementerian Perhubungan, Perum Badan Urusan Logistik (Bulog), maupun lembaga atau kementerian lainnya.

Kedepannya, Indonesia masih membutuhkan sebuah lembaga yang lebih mandiri dan siap untuk menjaga ketahanan pangan seperti yang telah diamanatkan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Lembaga ini akan memiliki ruang gerak yang lebih bebas dalam menstabilkan harga pangan nasional. Lembaga yang menjadi penjamin harga petani pada musim panen dan mencegah keliaran harga beras pada musim paceklik karena konsep harga atap benar-benar dijadikan referensi untuk melaksanakan operasi pasar.

Harga tidak hanya tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan. Tetapi harga harus mempertimbangkan dengan ongkos produksi dan keuntungan petani dan kemampuan konsumen.

Rakyat memerlukan solusi berkesinambungan, bukan sekadar bantuan darurat. Bukan pula janji-janji yang sering dikumandangkan. Hal itu tidak akan menghentikan degradasi sosial dan ekonomi yang terjadi akibat bangsa yang kelaparan. Bukan hanya sebatas tema nasional, bahkan juga sampai di tingkat lokal kabupaten, seperti Bojonegoro. [mad]