Aksara di Pangkuan Tamanmu

Penulis: Febria Zela Syabilla*

blokTuban.com - Jika aku adalah tetesan air langit yang diturunkan Tuhan sebagai obat rindu, maka aku akan selalu bersyukur atas nikmat-Nya. Sebab bagian obat rindu juga salah satu rindu yang akan tetap dirindukan sampai kapan pun. Sebagaimana bumi yang tak pernah membenci hujan. Begitu juga dengan diriku, aku ingin rinduku abadi dalam keabadian waktu.

Seperti halnya purnama yang selalu kunantikan, meski ia diam tapi sungguh amat memesona. Kekagumanku masih terbingkai indah dengan goresan yang sempat terlukiskan. Entah sampai kapan, yang jelas kini aku sendiri tak mampu mengeja lukisanku. Lukisan yang ketika aku memandangnya, ia seakan-akan membawaku menari dalam terowongan yang sulit untuk ku tebak. Terowongan yang di mana hanya ada aku dan jalan Tuhan. Lukisan yang ketika aku ingin menyentuhnya ia seperti berkata-kata, seperti berlagu. Ya, seperti menyanyi tapi membuatku semakin tak mengerti, seperti nyanyian tapi tak bernada tak berirama.

Aku jadi teringat sapaan pagiku, aku bukan lagi ingat! Aku ini rindu! Meski dengan usaha aku membunuh dengan tega setiap kali benih-benih itu muncul dalam benakku, namun sajak aksaranya seperti ingin ku dekap dalam rengkuhanku. Dan aku pernah mendengarkannya langsung, Katanya bukan cinta namanya jika dia tak pernah bilang sayang padamu. “Apa benar demikian ?” pertanyaan itu yang sampai saat ini masih menari dibenakku.

***

Siapa yang tak terkagum-kagum jika mendengarkan lembut sapaanya, siapa juga yang bisa mengingkari nikmatNya. Jika nyanyian rindu terus saja memanggil-manggil, seperti nyanyian rindu yang ketika aku mendengarkannya, ia membawaku pada garis-garis tuhanku. Dimana ia adalah tempat sebaik-baik aku menumpah luahkan perasaanku.

Sebelum aku jatuh dalam garis koridorNya yang sangat luar biasa, aku sempat merasakan bagaimana kecewa itu menelusup pada relung hatiku. Kekecewaan yang bagiku pelangi tak seindah yang ku kira,  Hingga pada akhirnya  meninggalkan noda yang kini perlahan mulai ku hapuskan.  Noda itu kecil, noda itu terkadang memang tak nampak tapi jika noda  itu tak segera dihapuskan perlahan ia akan semakin besar. Noda itu bernama penyakit hati, Penyakit yang muncul karena pikiran kita sendiri.

Sebut saja namaku Sara, aku adalah gadis yang mengagumi seseorang. Seseorang yang pernah ku katakan dia adalah pria idaman. Seseorang yang juga menyambutku di tamannya. Aku menyaksikan perjalanan menuju tamannya, menikmati suguhan yang bagiku sangat mempesona. Mungkin jika ada sepuluh gadis yang dijemputnya untuk sekedar mampir maka kesepuluh gadis itu akan berusaha dengan sangat untuk segera menetap di tamannya. Indah bukan ? Seperti halnya aku yang terpesona pada suguhannya, bunga-bunga yang indah merekah, taman yang luas, jalanan-jalanan yang lurus  namun tak bisa ku bayangkan jalanan itu tak seindah yang ku pikirkan.

Sara, begitu mereka menyapaku dan menganggapku aku adalah bagian dari rindu, rindu yang ketika orang bilang ia adalah pemikat pesona-pesona ketulusan. Tapi rasanya itu bukan aku ! aku adalah Sara !

***

Aksa, sering ku sebut ia dengan permata. Permata yang indah, permata yang siapapun tak sengaja berada ditamannya ia pasti akan betah menikmati pesonanya. Meskipun Aksa tak pernah mempersilahkan pengagum tamannya berada disana untuk berlama-lama, banyak yang tak sengaja mengetahuinyapun terperangkap dengan perasaannya sendiri. Seperti halnya aku, aku Sara yang sering mereka menyebutnya aku sama dengan Aksa. Aku masih berpikir dimana letak kesamaanku, yang ku tahu, aku ini berbeda.
 
Aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang pernah singgah, aku yang terjebak diantara kekaguman dan tak adanya ruang yang mempersilahkanku untuk menetap. Aku yang ingin terus saja berjalan menikmati suguhan namun apalah arti inginku, jika yang memiliki taman tak  mengharapkanku mengusik tamannya.
Kini kuakui jika itu yang sering ku namakan dengan sebutan lukisan. Namun hingga kini aku tak disebut lagi dengan Sara tapi mereka sering menyebutku dengan layu. Sebab aku adalah yang tlah layu di tengah pesona taman yang mengajakku menari di atas nyanyian rindu. Nyanyian yang seakan-akan memanggilku, nyanyian yang sepeti berlagu tapi tak jelas. Masih tak jelas, yang jelas hanya suara samar-samar.
 
“Aku masih disini”

Suara itu perlahan hilang bersamaan dengan pemilik suaranya.

Jika hujan datang, butiran-butiran tetesannya ku dengar seperti berlagu. Ia bernyanyi nyanyian rindu. Hujan membawaku tenggelam bersama goresan-goresan yang pernah terlukis.

Jika hujan reda, aku juga masih mengingatnya. Betapa aromanya masih menjadi kenangan tersendiri bagiku. Aroma yang memaksaku untuk membunuh kembali kepingan-kepingan ingatanku. Kepingan yang sering kukatakan, kepingan rindu. Tapi, semakin aku memaksakan diriku untuk segera kembali, ya kembali untuk keluar dari taman hatinya. Semakin kuat pula aroma yang membawaku tenggelam pada perjalananku dan membuatku kembali mengingatnya.  Ya dia Aksa!  sering ku menyebutnya dengan permataku. Permata yang mangajariku banyak hal, seperti menjadi bunga ditepi jurang contohnya.

Dan dia Aksa, sering menyebutku dengan kecil, dan aku rindu panggilan itu.  Semakin aku hebat menceritakan lukisan yang pernah terlukiskan, aku semakin mengingat betapa hebat pula perjalananku di tamannya. Entah apa jadinya, jika lukisanku kini hanya simfony rindu saja. Sebab, aku sadar akan diriku.

***

Namaku kini bukan lagi Sara, sebab aku tak mampu melukis lagi di tamannya. Lukisanku terhenti karena waktu. Ku harap ini hanya sejenak tapi sepertinya waktu mengajakku kembali untuk menjadi bunga di tepi jurang, menjadi bunga yang hanya orang-orang terhebatlah yang mampu menyentuhnya bahkan memetiknya. Seperti yang Aksa harapkan padaku.

Karna namaku tak lagi Sara, aku yang layu di pangkuan taman hatinya. Aku baru menyadari betapa berharganya diriku. Juga betapa pedulinya dia yang ku sebut-sebut sebagai permata rubiku.

“Sara,  akan ada masa rindu yang kau agung-agungkan menjadi sempurna”.

Aku selalu mengingatnya..

“Aksa, jika kau tahu aku kini adalah bunga di tepi jurang. Ingin sekali saja kumendengarkan lagu rindu itu bernada.  seperti halnya pesona dewi malam yang tetap diam, tapi dia penuh makna. Meski hadirnya hanya satu atau dua hari saja, ia selalu kunantikan.

Bisikku pada malam yang mengajakku bercanda, mengajakku tenggelam bersama kepingan rindu yang sempat kurindukan.


*Febria Zela Syabilla, mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas PGRI Ronggolawe Tuban. Aktif menulis beberapa karya sastra: puisi, cerpen, dan esai sastra. Bisa dihubungi di Komunitas Sanggar Sastra (Kostra) Unirow Tuban.