Oleh: Nanang Fahrudin
Setiap waktu, mungkin tanpa jeda, kita selalu disuguhi orang ataupun lembaga yang menulis pandangan, keyakinan dan tafsirannya akan sesuatu peristiwa. Orang-orang itu menulis dengan lancar menggunakan bahasa-bahasa agama yang terkesan sakral dan suci. Lalu, tulisan itu berseliweran di media sosial. Semakin hari semakin banyak yang berseliweran. Menumpuk.
Ya, itu konseksuensi dari media sosial. Kebebasan. Kita bebas bersuara, menafsir, menyebarkannya. Itulah yang sedang dirayakan oleh pengguna medsos di negeri ini. Tapi masalahnya, apakah semua itu adalah kebenaran? Apakah tulisan-tulisan yang berseliweran itu sekadar tafsir yang lemah? Bagaimana membedakan itu tafsir lemah atau tafsir yang kuat?
Sulit. Semua telah bercampur. Termasuk banyak tafsir agama yang dicampur aduk dengan kepentingan politik, banyak tafsir yang dipaksakan kebenarannya kepada pihak lain. Tapi pada saat yang sama, ada tafsir agama yang benar-benar hendak mengurai sebuah masalah, yang murni tanpa kepentingan politik sesaat.
Kita menjadi begitu kebingungan. Kita dituntut untuk bisa membedakan, apakah seseorang benar-benar ‘alim atau sekadar pura-pura ‘alim. Apakah seseorang tulus ikhlas atau sekadar mencari kesempatan. Aakah seseorang benar-benar mengharapkan kedamaian atau malah ingin menghancurkan kehidupan ini?
“Tuhan, mohon bantulah hamba menemukan mana yang benar”.
Bagi kebanyakan orang, termasuk saya, tentu bingung menghadapi ini semua. Suara siapa yang patut diikuti? Semua seakan-akan menunjukkan jalan yang “benar” yang akan membawa kita kepada Tuhan. Ketika saya ketik kata “ustadz” di YouTube, maka banyak sekali pilihan. Apakah semua adalah ustadz yang alim? Jangan-jangan bukan.
Oleh karena itu, di era medsos ini ada beberapa tips yang bisa kita coba lakukan. Anda boleh mengamini atau menyangkalnya. Sah –sah saja.
Pertama, jangan mudah percaya pada sebuah informasi. Apalagi informasi itu berkaitan dengan agama. Jangan percaya ilmu agama dari medsos. Informasi harus disaring terlebih dulu. Dan akan lebih elok jika mencari ilmu agama dari seorang guru yang bukan di dunia maya. Carilah panutan guru di pesantren, masjid, ataupun langgar/surau.
Kedua, jangan share sembarang informasi. Ketika kita menyangsikan kebenaran informasi, maka otomatis kita jangan sare apapun. Orang yang dikit-dikit nge-share adalah orang yang memang punya tujuan pribadi atau kelompok. Apalagi jika informasi-informasi yang dishare adalah tema-tema yang itu-itu saja, maka sudah pasti dia/kelompoknya sedang kampanye untuk menggolkan kepentingannya. Setuju atau tidak setuju dengan informasi lewat viral di medsos, tidak perlu dishare. Kecuali info tentang resep makanan atau semacamnya.
Ketiga, Jika kita terpaksa hendak belajar agama lewat medsos, pandai-pandailah memilih guru atau orang yang hendak diikuti kata-katanya. Karena, kita seharusnya tahu “guru” kita itu sanadnya kemana. Dia nyantri atau belajar dimana, siapa saja kelompoknya. Agar jangan sampai kita keliru memilih guru.
Keempat, jangan percaya video-video potongan/editan yang dikomparasi dengan video lain. Kalau perlu tidak usah ditonton. Biasanya, video-video potongan macam itu memang ditujukan untuk membandingkan, mencari perbedaan, atau memanas-manasi persoalan. Misalnya video FPI dan NU, atau Habib Riziq dengan Cak Nun, dan sebagainya.
Empat tips tersebut bukanlah hal mutlak. Itu hanyalah tafsir saya saja. Tapi pada intinya, saya hendak mengatakan bahwa jangan mudah percaya apapun di medsos. Perlu menyelidiki terlebih dulu kebenarannya. Itulah menjadi bijak di medsos. Jangan asal mengikuti arus, jangan asal setuju, jangan asal tidak setuju.
Medsos bisa membuatmu bermanfaat bagi orang lain, tapi medsos juga bisa membuatmu jadi sampah bagi orang lain. Salam. [rom]