Penulis : Ahmad Nawaf Timyati Fandawan
blokTuban.com – Mergosari yang merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Singgahan ini selain sejarahnya yang terbilang unik, yang mana sejarahnya sendiri terletak di setiap dusun – dusun nya, selain itu Desa Mergosari juga mempunyai berbagai tradisi serta mitos atau pantangan yang masih melekat dan dipercayai oleh masyarakat setempat.
Desa yang dihuni kurang lebih sekitar 2.560 Jiwa ini menghuni sebuah desa yang memiliki luas wilayah sekitar 350 Hektar yang mana Desa Mergosari sendiri terbagi menjadi 4 dusun yakni Dusun Krajan, Dusun Semampir, Dusun Tawangsari, dan Dusun Sukorejo.
Selain tradisi sedekah bumi yang dilakukan di ketiga makam leluhur Desa Mergosari tersebut. Warga desa juga masih lekat dengan tradisi jawa yakni Suroan yang mana dilakukan setiap tanggal 1 Suro dengan melaksanakan sedekahan makananan dengan makan bubur bersama yang dilakukan di perempatan yakni di Dusun Semampir dan Dusun Sukorejo dan di Masjid yakni di Dusun Tawangsari yang mana hal ini dilakukan sebagai tolak bala agar desa terhindar dari berbagai rintangan dan halangan.
Selain itu juga pada setiap malam ganjil bulan Ramadhan warga Desa Mergosari mengadakan tahlil bersama di makam – makam umum desa yang dimulai pada tanggal 23, 25, 27 Ramadan.
Beralih membahas tentang tradisinya yang mana seperti tradisi yang terdapat di wilayah Tuban pada umumnya, Desa Mergosari masih sangat lekat dengan tradisi yang bernama sedekah bumi.
Tradisi ini masih dilakukan masyarakat mergosari di bulan – bulan tertentu yang sudah di jadikan patokan di setiap makam – makam atau tempat – tempat yang akan disedekahi bumi atau tradisi lainnya.
Seperti yang dijlaskan oleh Kepala Desa Mergosari yakni Toha S.Pd.I (52) menuturkan bahwa sedekah bumi yang dilakukan di sebuah tempat salah satunya berupa makam ini warga Desa Mergosari kurang lebih mengadakan sedekah bumi di tiga tempat yakni di makam Mbah Jenggot yang berada di Dusun Semampir yang dilaksanakan setiap Tanggal 17 Bulan Muharram.
Lalu di makam Mbah Abdurrohman yang terletak di Dusun Sukorejo setiap Tanggal 10 Bulan Besar dan kemudian di makam Mbah Rondo Suto yang berada di Dusun Krajan yakni pada Tanggal 1 Bulan Suro. Biasanya dengan dilakukan acara sedekah bumi dan juga acara tahlil atau pengajian bersama.
“Untuk sedekah bumi tetep disitu di Makam Mbah Jenggot, yang di Krajan di Mbah Rondo Suto karena pundennya sendiri – sendiri yang di Sukorejo itu di Pundennya Mbah Abdurrohman. Kalau di Semampir itu (Makam Mbah Jenggot) setiap tanggal 17 Muharram kalau di Sukorejo Mbah Abdurrohman itu tiap tanggal 10 Besar terus kalau yang Mbah Rondo Suto itu di Krajan itu tanggal 1 Suro. Kita itu patokannya adalah bulan,” Ujar Toha Selaku Kepala Desa, Jumat (15/12/2023)
Adapun mengenai mitos, kepercayaan atau pantangan yang masih sangat melekat yang masih dipercayai warga Desa Mergosari yakni antara lain yakni bahwa mergosari sangat menghindari atau tidak berminat untuk menikah bahkan melakukan transaksi jual beli dengan wara Desa Mulyorejo.
Hal ini sendiri bukan tanpa alasan dikarenakan pada zaman dahulu ada orang yang bernama Mbah Rondo Suto yang mana dahulu ia ingin menikasih orang dari Desa Mulyorejo namun saat sudah mempersiapkan semuanya baik tanggal pernikahan bahkan seseharan sudah mau di antarkan tiba – tiba saja dibatalkan untuk akad pernikahan tersebur dan hal ini membuat Mbah Rondo Suto sangat marah dan berucap “Jangan sampai anak cucu saya nikah sama orang Mulyorejo” yang mana pantangan ini sampai sekarang tidak ada warga mergosari yang berminat menikah bahkan jual beli dengan warga Mulyorejo.
“Bahkan tidak hanya pernikahan jual beli baik hewan, sawah atau yang lain jual beli kalau tau ini milik orang Mulyorejo orang Mergosari tidak akan mau,” tambah pria berusia 52 tahun tersebut.
Selain itu ada pantangan lain yang berada di Dusun Sukorejo yang mana di dusun ini tidak mau ditempati atau menyelenggarakan sebuah kesenian, yang mana ada sebuah cerita yang mana dahulu ada orang yang ingin menyelenggara kesenian namun anehnya diesel untuk dibuat lampu tidak bisa menyala sama sekali dan mati terus. Jadi kalau ada yang mau menanggap kesenian seperti Reog, Sindir warga Dusun Sukorejo tidak ada yang berani karena pasti lampunya tridak bisa menyala bahkan rumah tangganya bisa hancur.
Dibahas sekilas mengenai potensinya seperti yang dituturkan Kepala Desa Mergosari mengatakan bahwa pihak desa berfokus pada pengembangan sektor pertanian yang dikarenakan dilihat dari profesi mayoritas warga desa yang sebagai petani.
“Perealisasiannya disini adalah JUT ( Jalan Usaha Tani) nya baru sekitar 30% untuk JIT (Jalan Irigasi Tani) ini baru muncul 40&, untuk pengairannya itu sekitar 65%. Jadi fokusnya saya itu petani maka dari itu kedepannya itu kalau sudah ada jalan petani enak juga kan tidak terlalu payah untuk mengangkut dan hasilnya juga di tempat langsung dijual langsung laku pokoknya tidak mempersulit petani, kendaraan bisa masuk setidaknya seperti itu dan airnya pun bisa lancar,” Tutur Toha.
Adapun produk unggulan yang dipakai oleh Desa Mergosari yakni Jeruk dengan membuat kebun jeruk yang memiliki luas sekitar 1 Hektaran bahkan dalam penjualannya pihak desa tidak menjual keluar namun mayoritas konsumen atau pembeli lah yang datang langsung ke Desa Mergosari untuk membeli jeruk tersebut.
Namun ada sedikit halangan yang dihadapi desa yakni jalan aksesnya ke kebun jeruk tersebut masih menjadi milik perhutani yang mana kebun tersebut terletak di Dusun Sukorejo. [Naw/Ali]