Reporter : Ali Imron
blokTuban.com – Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan meminta RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) harus mengedepankan kebutuhan korban dan menjawab persoalan di lapangan, Senin (13/9/2021).
Berdasarkan pengalaman pendampingan FPL yang dilakukan oleh 115 lembaga layanan pendamping korban di 32 Provinsi, menemukan bahwa masih membutuhkan agar enam elemen kunci dipertahankan untuk menjawab persoalan dilapangan. Mulai dari hukum acara yang lebih berpihak pada
korban, sembilan bentuk kekerasan seksual (KS) yang masih terjadi di masyarakat; pencegahan kekerasan seksual sebagai langkah taktis penanganan kasus KS, pemulihan korban yang komprehensif, koordinasi dan pemantauan, juga adanya ketentuan pidana yang mengakomodir sembilan bentuk KS.
“Kami berpandangan, bahwa RUU PKS yang dirubah menjadi TPKS tetap seharusnya tetap menjadi pijakan hukum bagi hak korban KS dan keluarganya. Dimana selama ini belum diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang. Beberapa elemen substansi yang sangat krusial untuk menjamin terpenuhinya hak-hak korban dan keluarganya justru hilang,” kata Ketua Koalisi Perempuan Ronggolawe (KP Ronggolawe) Tuban, Warti selaku anggota FPL kepada blokTuban.com.
Keterbatasan KUHAP dan beberapa kebijakan lainya, seharusnya menjadi titik tolak RUU TPKS untuk mengakomodir dan meperkuat hak korban. sehingga pemanfaatn RUU ini utuh untuk menjawab kebutuhan korban. Peran lembaga layanan milik masyarakat yang selama ini memberikan pelindungan korban serta
memperkuat peran dan tangungjawab Negara perlu diakomodir sebagai langkah serius negara dalam penghapusan kekerasan seksual. Kami berpandangan bahwa Pemangkasan enam elemen kunci dalam draft awal menjadi langkah mundur bagaimana DPR memahami kompleksitas persoalan kekerasan seksual dilapangan selama ini.
Adanya distorsi pengurangan jenis KS dari semula sembilan jenis KS menjadi empat jenis, menunjukkan bahwa ada kekurangan referensi dan kelemahan tim Baleg DPR dalam mengelaborasikanya dengan kasus-kasus KS yang terjadi di masyarakat Indonesia. Pendekatan hukum yang digunakan untuk pemangakasan bentuk KS menjadi tidak relevan. Padahal 9 jenis KS ini bukan diambil dari ruang hampa namun didasari atas pengalaman pendampingan korban KS yang didampingi oleh FPL selama ini.
Lima bentuk KS yang dihilangkan dalam, tidak bisa dijawab dengan bentuk lain KS seperti pelecehan seksual (Pasal 2), Pemaksaan memakai alat kontrasepsi (Pasal 3), Pemaksaan Hubungan Seksual (Pasal 4), eksploitasi Seksual (Pasal 5) serta tindak pidana kekerasan seksual yang didiserta dengan perbuatan pidana lain lainya (6). Seperti dalam hal pembuktian, pemulihan, hukum acara pengalaman korban Pemaksaan Perkawinan, di Sulawesi, NTT dan NTB tidak bisa memotret persoalan kekerasan seksual yang ada di daerah.
“Pengalaman korban Perbudakan Seksual yang tidak terkait pelangaran HAM dalam kasus di Makasar dan Gatot Brajamusti,” imbuhnya.
Pengalaman korban pemaksaan aborsi yang dikriminalisasi, pengalaman korban pemaksaan pelacuran, dan perkosaan dengan menggunakan benda tumpul dan relasi kuasa. Serta tidak adanya aturan terkait kekerasan seksual berbasis online atau siber. Keterbatasan pasal yang mengatur hak korban untuk mendapatkan layanan pemulihan secara terpadu dan hak mendapatkan pendampingan dalam setiap proses peradilan juga menjadi salah satu catatan yang harus menjadi perhatian.
Bahwa tidak dijelaskanya Layanan Terpadu dan lembaga pendamping korban Terpadu baik berbasis masyarakat maupun pemerintah menjadi pertanyaan besar bagaimana negara memahami proses pendampingan korban kekerasan seksual. Untuk Itu FPL mendesak dan mendorong Baleg DPR RI membuka ruang diskusi secara terbuka yang melibatkan masyarakat terutama yang memiliki pengalaman dalam melakukan pendampingan dan korban yang sudah menjadi penyintas untuk perubahan naskah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Memasukan enam elemen kunci yang menjadi inti substansi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yakni sembilan jenis KS, Pemidanaan, Hukum Acara Pidana, Pencegahan, Pemulihan dan koordinasi dan pengawasan. Mengubah definisi tindak pidana pemaksaan hubungan seksual menjadi tindak pidana perkosaan.
“Juga memasukan kebutuhan khusus korban KS dengan disabilitas dalam aspek pencegahan, penanganan dan pemulihan,” jelasnya.
Diketahui, pasca dibahasnya RUU Tindak Pidana Kekekerasan Seksual (TPKS) yang semula RUU PK-S (Penghapusan Kekerasan Seksual) oleh Tim Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dalam Rapat Pleno Penyusunan RUU PKS pada Senin, 30 Agustus 2021 lalu FPL mengapresiasi langkah maju Tim Baleg DPR RI karena berkomitmen melanjutkan pembahasan, di tengah tingginya angka kekerasan seksual saat pandemic Covid-19 di Indonesia. Namun, juga menyayangkan penghilangan pasal-pasal krusial yang melindungi korban. [ali/sas]