Oleh: A. Farid Fakih*)
Kurun awal tahun kerap menjadi permulaan yang menarik di bidang pendidikan, terkhusus di jenjang SMA dan sederajat hingga Perguruan Tinggi. Pada masa-masa itu, acap kali siswa dituntuk untuk mempersiapkan aspek penting sebelum melangkah ke dunia perkuliahan atau dunia kerja. Tak melulu di situ saja, di pihak mahasiswa juga tak kalah heboh. Mahasiswa, terutama yang mengenyam pendidikan Perguruan Tinggi di luar Bojonegoro, yang tergabung di Organisasi Mahasiswa Daerah (Ormada), rata-rata sibuk mempersiapkan momen untuk sosialisasi kehidupan kampus di sekolah-sekolah.
Beberapa Ormada yang penulis ketahui, sering menyebutnya sebagai briefing atau penjelasan singkat mengenai kehidupan kampus di mana Ormada tersebut berada. Tak jarang, agenda tersebut juga sebagai momentum mahasiswa untuk mempromosikan keunggulan dan kelebihan kampus masing-masing. Berbagai jenis profit pun ditawarkan. Mulai dari sistem pendidikan yang mudah, aneka beasiswa yang melimpah, hingga akses yang mudah digelontorkan kepada siswa dengan tujuan siswa tersebut kelak bisa memasuki perguruan tinggi.
Di pusat-pusat kota, cara seperti ini tergolong ampuh. Sebab, banyak dari siswa memang berorientasi untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Akhirnya, tingkat keberhasilan dari program briefing atau sosialisasi kampus amat besar. Maka dengan terjadinya hal ini, semakin membuat para pegiat mahasiswa daerah terpacu untuk melakukan hal serupa di tahun berikutnya. Tentunya dengan cara yang dimodifikasi sedemikian rupa, agar materi yang disampaikan membuat siswa antusias untuk memasuki kampus yang dipromosikan.
Namun, berbeda halnya ketika yang disasar adalah sekolah-sekolah yang kurang popular atau yang berada di sudut-sudut desa. Tantangan yang terjadi sangat besar. Bukan hanya soal siswa yang diharapkan mendaftar ke perguruan tinggi yang dimaksud, namun juga soal menciptakan rasa optimisme kepada siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sepengalaman penulis, di sekolah yang berada di desa, tingkat minat siswa untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi tidak selaras dengan siswa yang bersekolah di pusat kota. Banyak dari siswa yang lebih suka untuk menikah, atau bekerja dibanding berkuliah.
Keadaan tersebut diperparah dengan pemahaman orangtua yang masih minim dengan pentingnya pendidikan tinggi. Banyak yang beranggapan bahwa kuliah ialah soal biaya semata dan juga kenaikan pangkat seseorang karena telah memiliki titel ketika lulus nanti. Di samping itu, orientasi kuliah juga berbeda. Umumnya keinginan kuliah ialah didasari karena ijazah di Perguruan Tinggi lebih menjanjikan di dunia kerja. Akibatnya ketulusan belajar pun seakan tenggelam oleh berbagai hal yang mendera itu.
Tantangan tersebutlah yang dimanfaatkan para pegiat mahasiswa yang terjalin di Ormada untuk condong menunjukan kemudahan di dunia perkuliahan. Banyak, misalnya, yang mengagungkan beasiswa Bidikmisi sebagai cara ampuh untuk memikat siswa dan orangtua agar bisa menempuh ke jenjang pendidikan tinggi. Dengan cara ini, siswa diajak untuk berpikir financial effect ketika berhasil menempuh dunia perkuliahan. Dengan kata lain, siswa dijanjikan pendapatan uang saat bisa lolos menerima beasiswa yang dimaksud. Namun, kebanyakan dari jenis sosialisasi macam ini berakhir pada tahap ini semata. Terkesan kurang ada jalan yang menjanjikan lainnya yang bisa ditempuh siswa di dunia perkuliahan.
Dampak dari cara sosialisasi tersebut, siswa yang bersekolah di desa kerap minder untuk melanjutkan perjuangan meniti kampus harapan, karena gagal meraih beasiswa yang diincar. Lalu, target yang diusung oleh para pegiat Ormada agar siswa bisa melanjutkan kuliah, menjadi pupus tak terbentuk. Hal inilah sebenarnya yang menjadi pokok permasalahan yang kian waktu semakin berlarut-larut. Bahkan lambat laun, masalah ini diperparah dengan menjadikan agenda sosialisasi kampus sebagai ajang pamer pegiat Ormada atas kampus asalnya. Tentunya hal ini sangat berbahaya jika didiamkan. Sebab justru akan menjadi boomerang semua pihak.
Pola mindset yang berbeda
Pada era kekinian, tantangan yang semestinya dipikir dan digalakkan bersama ialah mengubah mindset dan persepsi siswa di kota dan desa perihal meniti perguruan tinggi. Pola pikir yang sejatinya ditebarkan ialah kuliah sebagai ajang memperoleh kesejatian diri dalam meraih, mengelola, dan memberdayakan keilmuan di bidang masing-masing terhadap bangsa dan negara. Bukan justru sebagai ajang kenaikan “kasta” semata. Di samping itu, kuliah perlu dipahami sebagai media berbakti pada nusa bangsa. Yakni dengan cara serius mempelajari ilmu yang kemudian, kelak ketika lulus, dibagikan kepada pihak-pihak yang kurang beruntung tidak bisa menikmati pendidikan tinggi.
Dalam teori Maslow tentang Hierarki Kebutuhan, ajang kuliah bisa dijadikan sebagi media aktualisasi diri kepada sekitar. Bukan malah menjadikannya sebagai ajang, siapa yang paling bagus satu sama lain. Kelak, dengan telah menebarnya pemahaman-pemahaman demikian, penulis yakin bahwa nanti akan ada banyak siswa yang terpikat untuk berkuliah tanpa ada embel-embel financial. Namun lebih kearah kesadaran sosial menjadi mahluk Tuhan yang memang membutuhkan ilmu untuk kelak dibagikan kepada sekitar. Lain daripada itu, siswa juga akan lebih terlahir menjadi mahasiswa yang seutuhnya. Yakni mahasiswa yang memegang teguh kepeduliannya terhadap agama bangsa, negara. Wallahu ‘a’lam bhissawab. (*)
Bojonegoro, Januari 2017
*)Penulis adalah Alumnus MAM 2 Banjaranyar, Baureno. Kini sedang menempuh pendidikan Sastra Inggris UIN Sunan Ampel Surabaya.