Empat Hari di Tuban, Komnas HAM Beber Hasil Investigasi

Reporter: Edy Purnomo

blokTuban.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menerjunkan dua tim untuk melakukan investigasi di wilayah Kabupaten Tuban. Terutama, terkait kematian puluhan warga Desa Karanglo, Kecamatan Kerek, dalam waktu relatif singkat. Serta, melihat dan mengkaji kehidupan warga yang ada di sekitar pabrik dan tambang milik PT Semen Indonesia, Tbk.

Komisioner Komnas HAM, Moch Nur Khoiron, ketika menggelar konferensi pers di salah satu kafe di Jalan Pramuka, Tuban, Jumat (14/4/2016) membeberkan sejumlah temuan, hasil dari dua tim dari Komnas HAM berada di Kabupaten selama empat hari terakhir.

Pertama, adalah terkait kematian tinggi di Desa Karanglo, Kecamatan Kerek. Sesuai data yang di dapat dari desa dan Puskesmas, jumlah kematian sekitar 28 orang, dengan dugaan penyebab penyakit meliputi hipertensi, stroke, dan juga sesak napas. "Tetapi, hal ini belum bisa dijadikan sampel penelitian untuk dugaan pencemaran udara seperti yang dikabarkan. Karena desa ini dekat dengan lokasi tambang semen," kata Khoiron.

Tetapi, kata Khoiron, tim dari Komnas HAM menemukan kalau banyak warga yang hidup di ring 1 mengeluhkan dampak debu yang ditimbulkan selama operasi pabrik Semen Indonesia. Polusi debu mengakibatkan aktivitas warga terganggu. Termasuk juga mengganggu kesehatan mereka.

Kemudian, tim juga mendapatkan data dari Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kerek, yang membawahi 10 desa dan semuanya merupakan wilayah ring 1 PT SI. Didapatkan data pada tahun 2013 penderita ISPA mencapai 1.775, kemudian turun sedikit di tahun 2014 sebanyak 1.656, dan mengalami lonjakan besar di tahun 2015 sebanyak 2.058 penderita.

"Ini yang perlu di cek dan di komparasi dengan data-data yang lain. Apakah karena kecenderungan di Tuban atau memang hanya ada di sekitar pabrik semen," kata Khoiron.

Khusus untuk penyakit ini, harus dibuktikan secara medis atau ilmiah. Dia mengatakan, Dinas Kesehatan (Dinkes) Tuban menjanjikan akan melakukan kajian dan analisa. Apakah ISPA yang diidap warga berkaitan dengan debu akibat aktivitas pertambangan, atau hanya kecenderungan dari suatu wilayah.

Temuan lain selain kesehatan, adalah lokasi pabrik dan tambang yang dinilai terlalu dekat dengan fasilitas umum, sekolah, dan bahkan pemukiman penduduk. Hal ini dinilai menjadi pemicu rasa tidak aman dan nyaman yang dirasakan warga.

Kemudian, Komnas HAM juga menyoroti masalah salah satu tambang clay yang berada di Desa Mliwang. Selain belum di reklamasi, bekas tambang ini juga dinilai masih belum mempertimbangkan aspek keamanan. Begitu juga dengan masalah kecelakaan kerja yang terjadi beberapa kali di salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut.

Terakhir, Komnas HAM juga menerima dua pengaduan permasalahan tanah. Pertama adalah antara PT SI dengan warga Desa Sukorejo, Kecamatan Jenu, kemudian yang kedua adalah antara PT SI dengan puluhan warga Desa Gaji, Kecamatan Kerek.

"Kami akan jadikan ini kajian nasional Komnas HAM, dan akan disampaikan kepada Presiden Jokowi," kata Khoiron.

Dia mengatakan, perlu melakukan kajian secara menyeluruh mengenai ekologi karst. Menurutnya, sementara ini keberadaan pabrik semen memang tidak bisa ditolak. Karena, bahan baku sebesar 80 persen adalah batuan kapur. Sehingga, perlu dilakukan penataan ekologi karst yang bisa memberikan manfaat semua pihak. Tidak hanya segelintir orang.

Menanggapi ini, Sekretaris Perusahaan PT Semen Indonesia, Agung Wiharto, mengaku pihakny menghormati temuan dari Komnas HAM. Hanya saja, dia menyarankan agar Komnas HAM juga melakukan klarifikasi mengenai data yang didapat ke PT SI sebagai perusahaan yang disebut.

Dia mengatakan, PT SI mempunyai alat Eletrostatic Precipitator (EP) yang berasal dari Jerman. Alat ini, berfungsi untuk menangkap debu sampai 99 persen. Kemudian, juga mempunyai bag house filter yang berfungsi untuk menahan debu agar tidak keluar.

"Di Tuban ada empat pabrik semen, Kemudian setiap pabrik dipasang dua alat EP dan untuk coal mill dilengkapi empat bag house filter dan cement mill dilengkapi dengan 11 bag hous filter. Kemudian untuk unit pengantongan (pengemasan) ada ratusan bag house filter dengan ukuran kecil," jelas Agung.

Dia menjelaskan, selain alat canggih, penangkapan debu juga dicatat petugas dan sudah terkomputerisasi. Ada juga tim independen dan Badan Lingkungan Hidup (BLH) yang melakukan pencatatan secara berkala. "Data ini bisa diberikan kepada siapapun sebagai bentuk pengawasan kepada kami," jelas Agung.

PT SI menyebut ambang batas debu yang ditentukan adalah 80 miligram normal per meter kubik. Sedangkan debu di PT SI tahun sekarang dan sebelumnya, berkisar 40 miligram normal per meter kubik. Atau berada jauh di bawah ambang batas.

Terkait ISPA, dia berharap Komnas HAM memeriksa data sebelum tahun 1994. Atau data sebelum berdirinya pabrik semen. Agung mengklaim, kalau jumlah penderita sakit pernafasan di tahun-tahun itu justru lebih tinggi. "Agar fair, kami minta untuk diperiksa juga data dari Bojonegoro dan Lamongan. Apakah penderita sakit pernafasan di kota itu lebih sedikit dari Tuban?" tandasnya. [pur/ito]