Analisis Kontekstual Tradisi Lokal Desa Temaji Menurut Prespektif Generasi Milenial

blokTuban.com - Manusia merupakan makhluk tuhan yang mempunyai kesempurnaan dibanding makhluk yang lainnya, karena memiliki akal dan budi. Akal dan budi inilah yang kemudian memunculkan produk-produk manusia yang disebut sebagai kebudayaan. Salah satu hasil kebudayaan manusia adalah tradisi yang dilaksanakan secara turun-temurun. Hal tersebut tentunya tidak serta-merta begitu saja diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, karena ada nilai-nilai yang disampaikan dalam tradisi tersebut.
 
Setiap keanekaragaman kebudayaan suku bangsa di indonesia memiliki keunggulan lokal atau memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda. Kearifan lokal ini tercermin dalam kebiasaan hidup masyarakat setempat yang telah berlangsung lama. Kearifan lokal diartikan sebagai gagasan setempat yang bersifat bijaksana. penuh kearifan, serta bernilai baik dalam masyarakat, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat seterusnya. Kearifan lokal dipengaruhi oleh kebudayaan dari masing-masing daerah dan indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai banyak sekali kearifan lokal yang khas di setiap daerahnya.
 
Masyarakat dan kebudayaan pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam sebuah sistem sosial budaya. Tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan dan juga sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat. Keduanya melekat erat dalam suatu kehidupan dan dijadikan sebagai tradisi. Masyarakat suatu daerah akan berusaha mewariskan tradisinya kepada generasi penerusnya agar tidak punah.
 
Tradisi adalah sesuatu yang diwariskan tidak berarti harus diterima, dihargai, diasimilasi atau disimpan sampai mati. Tradisi merupakan suatu gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilakukan secara turun-temurun dimulai dari nenek moyang. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) tradisi adalah kebiasaan turun- temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam masyarakat, penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.
 
Rangkaian kebiasaan yang terkandung dalam tradisi ini diturunkan dari generasi ke generasi. Kebiasaan atau adat adat istiadat yang mewarisi dan mengandung berbagai nilai budaya, seperti adat istiadat, sistem kemasyarakatan, sistem kepercayaan. Disisi lain tradisi jawa dalam masyarakat jawa sendiri telah memberikan andil dalam perilaku keseharian terutama yang berkaitan dengan upacara keselamatan. Hal ini tentu tidak bisa dipungkiri, perihal diatas berasal dari kebiasaan penganut agama sebelum islam masuk di Jawa. Sebuah kebiasaan yang sudah mendarah daging dan menjadi adat yang tidak bisa begitu saja dihilangkan bahkan sebaliknya akan menjadi norma dan kepercayaan masyarakat jawa pada waktu itu. Artinya jika tradisi itu tidak dilaksanakan dapat menjadi sebuah ancaman bagi mereka. Adanya sanksi sosial dan kepercayaan tersebut semakin mengikat mereka untuk tetap melaksanakan dan melestarikan upacara tersebut.
 
Secara umum tradisi barikan diartikan sebagai sebuah aktivitas sosial budaya yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara makan bersama di tempat terbuka, seperti di pertigaan di sepanjang jalan desa. Tradisi barikan bagi masyarakat Temaji sendiri selain sebagai pererat tali silaturahmi juga sebagai mencegah tolak balak atau menolak wabah penyakit. Menurut tokoh agama Desa Temaji barikan dimaknai sebagai penangkal atau upaya untuk menolak sesuatu yang bersifat negatif. Ini kemudian dapat disimpulkan bahwa barikan bermakna ganda, tidak lagi sebagai penangkal tolak balak melainkan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
 
Tradisi barikan ini sangat menarik untuk dikaji, sebab masyarakat masih mempertahankan tradisi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, tradisi barikan ini merupakan kekayaan budaya, juga memiliki nilai-nilai kearifan lokal, yang penting untuk diketahui dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat secara umum. Kearifan lokal berada di kehidupan masyarakat dan terus berkembang dari generasi ke generasi. Jadi keberadaan kearifan lokal menjadi pilar penting bagi terciptanya harmoni hubungan antar masyarakat.
 
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, maka peneliti tertarik untuk membahas lebih dalam dengan mengadakan penelitian dan mengkaji terhadap tema tentang "Analisis Kontekstual Tradisi Lokal Desa Temaji Menurut Perspektif Generasi Milenial".
 
Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini yaitu berupa metode kualitatif (qualitative research) dengan jenis penelitian studi pustaka (library research). Desain penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif, analisis data serta interpretasi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang lain maupun dari perilaku yang diamati, (Creswell, 2011). Menurut (Zed, 2004), studi kepustakaan merupakan pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengkaji beberapa sumber literatur atau referensi yang relevan dan sesuai dengan topik penelitian. Adapun teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis isi pembahasan, sehingga mendapatkan informasi secara lebih mendalam. Di dalam teknik penelitian ini, terdapat beberapa tahapan, yakni; pertama, mencatat semua fokus temuan isi mengenai kearifan lokal secara umum melalui berbagai sumber literatur; Kedua, memadukan teori atau temuan baru lainnya yang berkaitan dengan pembelajaran IPS; Ketiga, menganalisis teori-teori melalui proses mengkritisi, kemudian menyajikan gagasan kritis terhadap pembahasan dari temuan sebelumnya.
 
Tradisi Barikan
 
Tradisi Barikan merupakan aksi makan bersama para warga yang biasanya dilakukan di tempat terbuka pada sore-malam hari. Mereka duduk beralaskan tikar dan membawa makanan masing-masing. Makanan ini nantinya akan ditukar atau dibagikan kepada warga lainnya. Jenis makanan yang dibawa beragam, seperti nasi, urap, kue, atau buah-buahan.
 
Barikan sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu “barokah” yang berarti “berkah”, dalam tradisi Jawa, Barikan merupakan tradisi makan bersama yang dilakukan di tempat terbuka, selain menyambut tahun baru hijriah barikan juga mengandung maksud mengakrabkan dan membina perasaan bersatu (guyub), tumpeng (nasi) dibagi dalam wadah daun pisang kemudian untuk dimakan bersama-sama.
 
Tradisi unik yang terus terjaga dan masih dilestarikan oleh masyarakat Adat Jawa, ketika menyambut tahun Baru Hijriah atau tahun Jawanya tanggal satu suro. Seperti yang dilakukan oleh warga Desa Temaji, pada hari kamis. Setiap malam hari di awal tahun baru hijriah atau tanggal satu suro dalam penanggalan Jawa, masyarakat Desa Temaji beramai-ramai berkumpul di perempatan jalan desa, tak terkecuali warga Dusun Temaji yang berkumpul di perempatan jalan dekat rumah membawa nasi urap dan lauknya untuk kenduri bersama-sama dan berdoa, guna menyambut tahun baru Islam. Dengan beralaskan daun pisang, sekitar puluhan kendil nasi beserta lauk yang dibawa oleh warga dikumpulkan untuk kemudian didoakan supaya mendapatkan berkah di tahun baru hijriah ini. Barikan merupakan salah satu budaya atau tradisi turun temurun dari leluhur guna menyambut tanggal satu suro, tradisi barikan ini telah lama dilakukan masyarakat dan masih kita jaga dan selalu kita laksanakan dari tahun ke tahun.
 
Tujuan Barikan ini tak lain adalah untuk berkumpul dan berdoa bersama memohon kepada Allah SWT agar diberikan keselamatan, kesehatan dan keberkahan dalam menyambut dan menjalani tahun baru Hijriah ini.
 
Malam Tirakatan
 
Malam tirakatan merupakan salah satu tradisi dalam masyarakat Jawa yang erat kaitannya dengan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia. Tradisi ini dilaksanakan pada tanggal 16 Agustus pada malam hari. Umumnya, tradisi ini dilaksanakan dengan melantunkan doa dan melakukan refleksi atas perjuangan para pahlawan dalam meraih kemerdekaan Indonesia. Tradisi tirakatan sudah dilakukan secara turun temurun di Jawa, tepatnya di Desa Temaji.
 
Karena merupakan tradisi turun temurun, maka tirakatan sendiri memiliki makna tersendiri dalam masyarakat jawa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tirakatan artinya melakukan tirakat. Tirakat sendiri memiliki makna menahan hawa nafsu (seperti berpuasa, berpantang), atau mengasingkan diri ke tempat yang sunyi (di gunung dan sebagainya). Sementara itu, ada yang berpendapat bahwa Tirakat berasal dari bahasa arab “Thoriqoh” yang berarti sebuah Jalan. Dalam hal ini, dapat diartikan jalan yang dimaksud adalah sebuah usaha untuk menuju jalan kepada Allah SWT.
 
Dalam tradisi masyarakat Jawa, pelaksanaan tirakatan memiliki makna yang mendalam. Tirakatan mengandung nilai-nilai yang tersurat dan tersirat dalam pelaksanaannya. Makna tersurat dari tradisi tirakatan yaitu memperingati kemerdekaan Indonesia sebagai buah dari perjuangan para pahlawan. Adapun makna tersiratnya yaitu sebagai bentuk syukur kepada Allah atas nikmat yang diberi, nikmat sehat, rezeki, dan masih diberi umur untuk memperingati peringatan tahun ini.
 
Sebagaimana dalam ajaran Islam, kita diajarkan untuk senantiasa bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. Bahkan, disebutkan jika kita kufur dengan nikmat yang diberikan kita bisa termasuk dalam golongan orang-orang yang tidak bersyukur dan akan mendapatkan siksa yang pedih dari Allah SWT.
 
Malam tirakatan ini sendiri juga dilaksanakan pada tanggal 16 Agustus 2024, yang bertempat di balai Desa Temaji. Masyarakat yang ikut dalam kegiatan tersebut menyiapkan beberapa hidangan seperti tumpeng yang telah dihias merah dan putih, bumbu, urap, kue dan buah-buahan. Pada malam tirakatan tersebut masyarakat Desa Temaji berkumpul guna untuk berdoa meminta perlindungan kepada Allah SWT serta mendoakan para pahlawan yang telah gugur. Setelah itu masyarakat menyantap bersama-sama hidangan yang telah disiapkan.
 
Tradisi tirakatan ini merupakan salah satu bentuk ekspresi ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya kemerdekaan. Selain itu dalam aspek agama, tradisi ini juga mengandung makna yang mendalam dalam aspek kebudayaan. Tirakatan juga mengajarkan masyarakat untuk tidak melupakan sejarah yang telah ada, serta menjadi sarana mempererat hubungan antar warga.
 
Manganan Sumur
 
Tradisi manganan merupakan suatu tradisi yang identik dengan syukuran, yang didalamnya terdapat berbagai ragam bentuk kegiatan dan mengandung beberapa nilai-nilai yang terdapat di dalamnya, diantaranya nilai agama yang berupa bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. Atas nikmat yang diberikan, nilai sosial dan budaya yang berupa pelestarian tradisi-tradisi lama yang masih eksis di zaman sekarang serta rasa kekeluargaan dalam kehidupan sesama manusia,  dan juga terdapat nilai moral yang bertujuan untuk memberikan pelajaran-pelajaran yang baik. nasehat, atau pesan secara langsung untuk masyarakat setempat. Tradisi ini telah menjadi adat istiadat dan sudah dikenal seluruh lapisan masyarakat. Tradisi manganan ini dilestarikan dengan cara diwariskan dari generasi ke generasi.
 
Manganan sumur juga merupakan salah satu tradisi sedekah bumi yang dilakukan di sumur. Manganan adalah tradisi yang sudah ada sejak dahulu dan dilakukan setiap tahun. Kata "manganan" berasal dari kata "mangan", yang dalam bahasa Jawa berarti "makan". Manganan adalah bentuk rasa syukur kepada Allah SWT dan warisan budaya yang perlu dilestarikan. Melalui manganan, terjalinlah rasa persatuan dan kekeluargaan yang kuat diantara warga dusun
 
Tradisi manganan ini juga sering diidentikkan atau disebut dengan tradisi sedekah bumi. Pada dasarnya sama saja sedekah bumi dan manganan, kedua memiliki persamaan yaitu sama-sama diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam rangka memberikan penghormatan terhadap apa yang mereka rasakan dan percayai sebagai yang gaib, seperti arwah leluhur.
 
Pada mulanya tradisi manganan di Dusun Tegalrejo Desa, Temaji Kecamatan Jenu ini ada salah satu ladang, yang di tengah-tengah ladang tersebut ditumbuhi rumput, masyarakat desa menyebutnya dengan “Suket Lulangan”, rumput tersebut konon katanya zaman dahulu yang dicari-cari oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Pada tradisi manganan sumur ini biasanya warga Dusun Tegalrejo juga membawa beberapa hidangan seperti pasung, dumbeg, bugis dan jadah, tape yang dibuat dari bahan beras ketan dibungkus daun ploso. Sedangkan buahnya adalah pisang.
 
Dari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa tradisi yang ada di Desa Temaji sangatlah banyak, antara lain seperti tradisi barikan, tradisi tirakatan dan tradisi tanganan sumur. Tradisi barikan ini sendiri merupakan suatu Tradisi unik yang terus terjaga dan masih dilestarikan oleh masyarakat Desa Temaji, guna menyambut tahun baru hijriyah atau tahun Jawanya tanggal satu suro. Setiap malam hari di awal tahun Baru Hijriah atau tanggal Satu Suro dalam penanggalan Jawa, masyarakat Desa Temaji beramai-ramai berkumpul di perempatan jalan desa, tak terkecuali warga dusun Temaji yang berkumpul di perempatan jalan dekat rumah membawa nasi urap dan lauknya untuk kenduri bersama-sama dan berdoa guna menyambut Tahun Baru Islam. Dengan beralaskan daun pisang, sekitar puluhan kendil nasi beserta lauk yang dibawa oleh warga dikumpulkan untuk kemudian didoakan supaya mendapatkan berkah di tahun baru Hijriah ini.
 
Sedangkan Tradisi Tirakatan merupakan suatu tradisi yang dilaksanakan pada setiap tanggal 16 Agustus atau bertepatan dengan malam 17 Agustus. Tradisi ini dilaksanakan dengan melantunkan doa dan melakukan refleksi atas perjuangan para pahlawan dalam meraih kemerdekaan Indonesia. Dalam tradisi masyarakat Jawa, pelaksanaan tirakatan memiliki makna yang mendalam. Tirakatan mengandung nilai-nilai yang tersurat dan tersirat dalam pelaksanaannya. Makna tersurat dari tradisi tirakatan yaitu memperingati kemerdekaan Indonesia sebagai buah dari perjuangan para pahlawan. Adapun makna tersiratnya yaitu sebagai bentuk syukur kepada Allah atas nikmat yang diberi, nikmat sehat, rezeki, dan masih diberi umur untuk memperingati peringatan tahun ini.
 
Tradisi manganan sumur sendiri merupakan suatu tradisi yang dikaitkan dengan apa yang mereka rasakan dan percayai. Tradisi manganan ini juga sering diidentikkan atau disebut dengan tradisi sedekah bumi. Pada dasarnya sama saja sedekah bumi dan manganan, kedua memiliki persamaan yaitu sama-sama diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam rangka memberikan penghormatan terhadap apa yang mereka rasakan dan percayai sebagai yang gaib, seperti arwah leluhur.
 
Dengan adanya pelaksanaan beberapa kegiatan kearifan lokal yang dilaksanakan di Desa Temaji tersebut, sudi kiranya dapat tetap terlaksana dan dijaga kelestariannya. Guna agar para generasi muda dapat mengenal kearifan lokal yang ada di Desa Temaji. Perlunya pelaksanaan kearifan lokal yang tiap tahun dilaksanakan di Desa Temaji tidak hanya dari kalangan tua saja melainkan juga seluruh kalangan dapat ikut serta dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Karena jika kearifan lokal tersebut dilakukan atau diramaikan semua orang akan lebih seru dan masyarakat pun dapat lebih mengenal satu sama lain.
 
Penulis: Nur Halim, Siti Ni’matul Jannah, Moh. Ichwanudin, Nadya Arrifni Ilma, Alfia Rahma Nur Kumala, Miftahul Shofiyatul Ulya, Puput Zunaidah, Alfina Shofiyurrohmah, Alfianul Afif, Wiwik Nurul Shobibah, Dewi Rohmawati, Salma Salsabila, Widya Istiqomah, Ahmad Aryansah Exprayagi, Diah Rahmawati, mahasiswa Institut Agama Islam Nadhlatul Ulama Tuban (IAINU) Tuban.