Reporter : -
blokTuban.com - Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu, parameter prestasi seorang hamba di hadapan Tuhan bukan dilihat dari sebanyak apa hartanya, setinggi apa jabatannya, dan hal-hal materialistik lainnya.
Tetapi, sejauhmana ia memiliki semangat religius sebagai hamba yang taat. Allah ta’ala dalam Al-Qur’an berfirman:
اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti” (QS Al-Hujurat [49]: 13).
Secara tegas Allah ta’ala mengatakan bahwa kemuliaan seorang hamba di sisi-Nya bukan dilihat dari status sosial di dunia, malainkan sejauh mana tingkat ketakwaannya. Hanya saja perlu kita catat, ketakwaan di sini adalah ketakwaan yang juga didasari penguasaan ilmu agama yang cukup.
Orang yang rajin beribadah saja tanpa landasan ilmu, justru berbahaya bagi dirinya. (Habib Abdullah al-Haddad, Risalatul Mu’awanah, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2016], h. 38).
Beribadah Tidak Berlebihan
Bukan berarti karena Islam mempriortaskan ibadah, lantas seorang muslim harus beribadah siang dan malam tanpa mempedulikan hak-hak dirinya sebagai manusia biasa. Keteguhan dan sikap istiqamah dalam beribadah jangan sampai menyiksa diri.
Dalam konteks ibadah haji tahun 2023 ini, jamaah haji yang memiliki risiko tinggi seperti lansia, punya riwayat penyakit, atau penyandang disabilitas perlu mengantisipasi dengan tidak memaksakan diri pada ibadah-ibadah sunnah yang menguras tenaga. Berbagai rukhsah atau keringanan ibadah juga perlu diterapkan untuk mencegah mudarat.
Sebab, ketika jamaah lansia atau risti (risiko tinggi) memaksakan diri menunaikan Arbain (shalat fardhu berjamaah selama 40 waktu) di Masjid Nabawi dan shalat rutin berjamaah di Masjidil Haram, energi mereka sudah habis sebelum puncak ibadah haji. Hal ini justru sangat disayangkan.
Selain itu, jemaah haji juga harus mengukur kemampuan. Jika diri ini sudah masuk katagori lansia maka ya bebani diri sebagaimana mestinya lansia.
Demikian juga halnya dengan penyandang disabilitas, atau jemaah yang punya riwayat penyakit. Perlu diingat bahwa agama tidak akan menjadi beban bagi siapa pun yang sadar diri dan sadar kondisi.
كتب اسلامية باللغة الاندونيسية
Terkait dengan pelaksaan ibdah haji, berikut ini beberapa rukhsah yang bisa memberi kemudahan bagi jamaah:
Ketika jamaah haji sakit dan tidak mampu mengerjakan thawaf dengan berjalan sendiri, maka bisa dibantu dengan ditandu atau digendong.
Boleh menggunakan kursi roda atau alat lainnya jika tidak dapat berjalan atau ada masalah lain saat melakukan sa’i.
Jika jamaah tidak bisa melempar jumroh dengan berbagai alasan, maka boleh diwakilkan orang lain yang sudah melaksanakannya.
Jamaah yang ingin cepat-cepat kembali ke Makkah saat di Mina (sebelum tanggal 13 Dzulhijjah) boleh pergi lebih awal, yaitu pada tanggal 12 Dzulhijjah (nafar awwal).
Jamaah yang berhalangan untuk wukuf karena sakit atau melahirkan dapat melaksanakannya di dalam mobil atau ambulans.
Jamaah haji tamattu’ atau haji qiran yang tidak sanggup membayar dam boleh menggantinya dengan berpuasa selama 10 hari (3 hari ketika sedang berhaji dan 7 hari di tanah airnya).
Jika tidak bisa melaksanakan mabit di Muzdalifah, boleh hanya sepintas di sana asalkan pada waktu malam hari atau hanya berada di mobil saja.
Sholat boleh dijamak dan diqashar selama melaksanakan ibadah haji atau umrah.
Semua rukhsah yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa aturan-aturan yang ada dalam Islam bukan untuk menyulitkan umatnya. Sebaliknya, aturan-aturan tersebut justru dapat disesuaikan dengan fitrah manusia sehingga tidak akan dibebankan atas ibadahnya.
Sumber : Kemenag RI.