Joko Playon, Budaya Pemuda Desa Jegulo Soko Tuban yang Belum Menikah

Reporter : Leonita Ferdyana Harris

blokTuban.com – Terbagi menjadi 3 dusun, Desa Jegulo, Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban dihuni oleh 6000-an penduduk dengan mayoritas pekerjaan sebagai petani. Desa ini berbatasan dengan Desa Nguruan di sebelah timur, Desa Klumpot di sebelah barat, Desa Lengkuang di sebelah Utara, dan Desa Sumurcinde di sebelah Selatan.

Desa yang memiliki ikon harimau putih pada tugu selamat datangnya ini rupanya memiliki sebuah kebudayaan unik yang rutin diselenggarakan setiap tahunnya. Kebudayaan itu ialah sedekah bumi. 

Desa Jegulo memiliki beberapa titik perayaan, namun yang terbesar terdapat di pesarean mbah Nanggul. Lokasi spesifiknya berada berdekatan dengan Sendang Teleng (sumur gede).

Mbah Nanggul sendiri merupakan salah satu sesepuh desa atau biasa di sebut oleh warga setempat sebagai “punden” yang artinya pendiri. 

Beliau memiliki 3 nama semasa hidupnya yaitu Abdul Rahman dalam Bahasa Arab, Pangeran Pringgono, dan nama pangkat Nanggul karena jasa beliau yang mampu menanggulangi berbagai bala dan permasalahan yang sepat ada di Desa Jegulo pada zaman dahulu.

Perayaan sedekah bumi Jegulo biasanya diadakan pada bulan mendekati Idul Adha dengan durasi selama 2 minggu berturut-turut. Perayaan tersebut melibatkan seluruh lapisan masyarakat, tua, muda, pejabat, hingga anak-anak kecil.

Salah satu bentuk kegiatan yang dilaksanakan pada peringatan hari sedekha bumi ialah malam puncak. Meski dinamai dengan malam puncak, kegiatan ini berlangsung sepanjang hari sejak pagi-malam. 

Pagi hari akan diadakan penyembelihan sapi oleh desa yang kemudian di masak dan disuguhkan kepada seluruh hadirin yang hadir. Siang harinya akan ada kegiatan manganan yang dinamai 1000 ayam, di mana seluruh warga berkumpul di makam mbah Nanggul dengan membawa tumpeng yang didalamnya berisi seserahan ayam panggang, jadah, dan sebagainya.

Kemudian pada sore hari akan dilanjutkan dengan kegiatan Joko Playon. Kegiatan ini dilakukan oleh seluruh pemuda desa yang belum menikah. 

Mereka diharuskan berlarian saling mengejar sambil membawa wadah berkat di lahan kosong berupa kebun atau sejenisnya. Setelahnya kepala desa akan turun lapang dan diadakanlah penutup kegiatan yaitu siraman.

Siraman ini dilaksanakan oleh para sesepuh desa kepada pejabat desa di sumur gede dekat makam mbah Nanggul. Sumur ini dipercayai oleh penduduk setempat sebagai sumur keramat yang dapat menangkal segala bala, marapetaka, penyakit, santet, dan sebagainya. 

Sumur gede sendiri merupakan salah satu sumber mata air yang dimiliki oleh Desa Jegulo. Saat ini, di bawah naungan pemerintah desa, telah dibentuk tim produksi untuk memanfaatkan sumber daya alam sebagai bentuk penunjang perekonomian warga. Tim yang langsung dikordinir oleh kepala desa ini telah memasarkan produk air mineral tersebut pada beberapa wilayah di Indonesia.

“Kita mulai memproduksi itu sejak tahun lalu karena sumber mata airnya yang jernih dan melimpah. Untuk proses pengerjaan dan pemasaran air minum itu langsung di tangani oleh bapak kepala desa, kan ada timnya itu. Nah hasil penjualan airnya sendiri kemarin sewaktu sedekah bumi, sebagian digunakan untuk membeli sapi yang kemudian dimakan bersama seluruh warga,” ujar Rudik (40) selaku perangkat desa, Senin (13/11/2023). 

Memiliki lambang harimau putih pada gapura selamat datang, rupanya bukan tanpa sebab. Lambang tersebut diadakan sebab kedekatan spriritual “sang punden” yaitu mbah Nanggul dengan hewan yang dipercayai memiliki kemampuan magis tersebut. Konon, para kepala desa yang terdahulu, pada zaman-zaman sebelum penjajahan kerap di datangi oleh Mbah Nanggul dalam perwujudan harimau putih jika terjadi sesuatu yang tidak beres dan dimaknai sebagai bertanda.

Dengan keunikan budaya tersebut, sayangnya Desa Jegulo belum memiliki ekowisata yang akan dimanfaatkan untuk menarik pengunjung. Hal ini disampaikan karena kurangnya potensi alam an dana yang memadai untuk kegiatan yang berkelanjutan.

“Karena Desa Jegulo ini termasuk besar karena penduduknya juga banyak, sepertinya kita belum bisa memfokuskan diri untuk mengagendakan ekowisata dalam menuju desa wisata atau desa budaya karena keterbatasan dana. Tapi, beberapa waktu lalu memang ada kunjungan oleh dinas pariwisata dan kita arahkan ke sendang gede karena menurut kami, paling cukup berpotensi dibanding yang lain. Sayangnya ya sampai sekarang belum ada tindak lanjut jadi sementara kita masih memfokuskan penggelontoran dana ke insfrastruktur jalan dan pembangunan lainnya yang lebih urgent,” tutup Rudik mengakhiri. [Leo/Ali]