Penulis : Leonita Ferdyana Harris
blokTuban.com – Tergabung dalam Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban, Desa Minohorejo berjarak tempuh 30 menit dari pusat kota Tuban, Minggu (12/11/2023).
Desa yang memiliki 4 dusun ini dihuni oleh kurang lebih sebanyak 4200-an penduduk dengan mayoritas pekerjaan petani dan pekerja industri.
Keempat dusun tersebut ialah Pandan, Beringin, Pancur, dan Dusun Gowa. Salah satu dusun, yaitu Dusun Pancur memiliki lokasi dan kegiatan terpisah karena tidak memiliki akses langsung. Dalam aset, disebutkan ada 2 dusun saja. 3 wilayah merupakan Mino, dan 1 wilayah disebut Pancur.
Memiliki lokasi yang didominasi area persawahan, tentu membuat penduduk desa mengunggulkan produk pertanian mereka. Selain bertani, masyarakat juga memiliki usaha bahan olahan kecil-kecilan seperti jipang dan lain-lain. Untuk pengairan sawah sendiri, warga memanfaatkan keberadaan sumur bor.
Berdirinya sebuah desa tentu tidak luput dari keberadaan sejarah. Sudah ada sejak ratusan tahun, warga masyarakat mempercayai satu cerita yang telah ada dan diceritakan secara turun temurun mengenai sejarah berdirinya Desa Minohorejo.
Diceritakan oleh Wawan (32), selaku aparatur desa bahwa dahulu sebelum ada pemukiman, wilayah Minohorejo merupakan hutan belantara. Hingga suatu ketika katakanlah seorang ulama, yang mendirikan sebuah padukuhan di satu titik yang saat ini terkenal dengan istilah dukoh.
Dipercaya, sang ulama pada saat itu menemui penguasa wilayah yang merupakan seekor ikan dengan hanya berupa tulang dan kepala bernama Gonggo Mino.
Munculah kesepakatan atas kedua belah pihak hingga ketika kondisi padukuhan tersebut mulai ramai, disebutlah wilayah tersebut dengan nama Minohorejo yang diambil dari kata “mino”, sang penguasa dan “rejo”, ramai. Kisah tersebut telah dipercaya kuat oleh masyarakat secara turun temurun meskipun validitasnya belum dapat dipertanggung jawabkan.
Tidak hanya memiliki sumber mata air bor, desa ini juga memiliki sumber mata air lain berupa sumur. Konon, sumur ini dulunya nyaris membentuk sendang karena keberlimpahan airnya namun kemudian dilakukanlah ritual penutupan oleh sesepuh.
“Ceritanya sumber airnya disumbat pake lidi oleh orang-orang tua terus dibuatkan sumuran sampai akhirnya air sudah gak melebar ke pemukiman. Air sumurnya sampai hari ini masih ada, masih digunakan, buat minum juga bisa, saya biasanya minum pake air itu juga,” ujarnya.
Dengan kepercayaan adat yang cukup tinggi, maka mengadakan kegiatan manganan atau sedekah bumi merupakan suatu kegiatan wajib yang dilaksanakan oleh penduduk desa setiap tahunnya. Yang unik, suguhan atau makanan yang akan dibawa oleh penduduk tidak boleh mengandung daging-dagingan seperti sapi, domba, maupun kambing. Daging yang diperbolehkan hanya daging ikan dan ayam.
Hal tersebut dilakukan karena kepercayaan penduduk jika punden (sesepuh desa) tidak menyukai makanan yang mengandung daging dan menyukai kesederhanaan.
Hal ini diperkuat dengan pengakuan beberapa warga yang mencoba menyuguhkan daging ketika upacara adat akan berlangsung dan berakhir dengan tergulingnya suguhan atau bawaan mereka sebelum mencapai lokasi.
“Disarankannya pake daging ayam aja, ayam bakar biasanya. Karena ada beberapa warga baru atau yang kurang tau tentang adat sini mau sedekah bumi pake daging sapi, belum sampai dilokasi kegiatan malah sudah jatuh berantakan bawaannya. Susah dipercaya tapi nyata,” pungkasnya. [Leo/Ali]