Penulis: Nur Ali
blokTuban.com - Pemerintah RI telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai hari santri nasional dalam Keppres Nomor 22 tahun 2015. Presiden RI, Joko Widodo menetapkan hari Santri didasarkan atas pertimbangan bahwa para Kiai dan santri memiliki peran besar dalam pembangunan bangsa dan revolusi mental. Hari tersebut juga bertepatan dengan deklarasi Resolusi Jihad yang dimotori pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari, para kiai dan santri se-Jawa Madura di Surabaya pada tanggal 22 Oktober 1945.
Penetapan tersebut diperkuat dengan diterbitkannya Undang-Undang No.18/2019 tentang Pesantren dan Peraturan Presiden No.82/2021 tentang pendanaan penyelenggaraan pesantren yang bertujuan untuk mewujudkan komitmen pemerintah dalam mendukung pesantren secara berkelanjutan.
Hal tersebut tentu akan menjadi pembangkit dan penambah semangat bagi pesantren sebagai lembaga pendidikan tentang Pembangunan karakter dan moderasi beragama yang sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka panjang nasional (RPJPN) 2025–2045, yang menekankan pengembangan SDM unggul berdaya saing global dan berkarakter Pancasila.
Ekosistem dan Agora Digital
Peran utama pesantren tidak pernah berubah yaitu sebagai "kawah candradimuka" dengan ekosistem pesantren untuk membentuk karakter luhur (akhlakul karimah) dan moralitas generasi bangsa. Ekosistem pendidikan pesantren berasrama selama 24 jam menciptakan sebuah lingkungan yang terkontrol dan intensif, di mana setiap interaksi para santri dan kiai serta aktivitasnya yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari menjadi sarana pembelajaran. Namun, di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang membawa tantangan seperti individualisme dan krisis identitas, justru keberadaan dan peran pesantren menjadi semakin vital sebagai penyeimbang dan penjaga moral bangsa.
Menurut Nur Cholis Majid (1997) kepemimpinan di pesantren tidak boleh kehilangan kreativitas dan disorientasi atau kehilangan kemampuan untuk mendefinisikan dan memosisikan dirinya di tengah arus perubahan sosial yang begitu cepat.
Saat ini pesantren sedang berada di era revolusi industri 4.0 dan society 5.0, yang ditandai tidak hanya oleh kemajuan pesat teknologi digital dan internet, tetapi juga oleh konvergensi mendalam antara dunia fisik, digital, dan biologis. Teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), dan analisis big data menjadi pendorong utama perubahan untuk mengintegrasikan nilai-nilai spiritual Islam dengan kemampuan digital dan sosial agar para santri tidak hanya melek teknologi, tapi juga berakhlak dan menjadi agen kemanusiaan di dunia digital. Karena itu peningkatan pemahaman atas literasi digital di pesantren menjadi keniscayaan.
Hasil penelitian Y. Sartono dkk. (2024) menemukan faktor-faktor psikologis seperti kepercayaan terhadap digital, sikap berkelanjutan, dapat memengaruhi niat untuk adopsi teknologi. Oleh karena itu aspek nilai / etika/spiritual perlu dimasukkan dalam desain teknologi agar masyarakat percaya dan mengadopsinya untuk kemanusiaan
Jika dahulu pengetahuan terkonsentrasi di perpustakaan atau lembaga pendidikan formal, kini informasi dari seluruh dunia dapat diakses secara instan melalui genggaman tangan dan sekaligus menjadikan media sebagai lembaga pendidikan keempat. Batas-batas geografis seakan lebur, memungkinkan seorang santri di pelosok desa untuk mengikuti kajian dari seorang ulama di Kairo secara real-time, istilah orang tua dulu menyebutnya “dunia hanya selembar daun kelor”. Konsekuensinya, cara manusia berkomunikasi dan berinteraksi mengalami perubahan fundamental. Komunikasi tidak lagi bersifat satu arah (dari media ke audiens), melainkan menjadi multi-arah dan dialogis, di mana setiap individu dapat menjadi produsen konten.
Kehadiran platform media sosial raksasa seperti Facebook, Instagram, TikTok, dan YouTube telah menciptakan sebuah "agora" atau ruang publik digital global yang sangat berpengaruh. Di ruang inilah opini, tren, dan ideologi menyebar dengan kecepatan kilat, membentuk selera, gaya hidup, hingga pandangan politik dan keagamaan masyarakat, terutama generasi muda yang menjadikan dunia digital sebagai salah satu referensi utama mereka. Sementara hasil penelitian Andrea Paesano & Mario Risso (2024) menyatakan bahwa teknologi Industry 4.0 dapat mendukung tujuan kemanusiaan bila diarahkan oleh nilai spiritual dan tanggung jawab pemangku kepentingan. konteks nilai (spiritual/etika) menentukan apakah dampak itu positif atau negatif. Saatnya pesantren bangun Agora digital.
Pola Pikir Digital Natives dan Sanad Keilmuan Santri
Perkembangan zaman ini menghadirkan sebuah dikotomi tajam, ibarat dua sisi mata uang bagi pesantren. Di satu sisi, ia membawa serangkaian tantangan serius yang menguji ketahanan dan adaptabilitas pesantren. Arus informasi yang tak terkontrol dan tanpa filter membanjiri ruang-ruang pribadi para santri, memunculkan risiko penyebaran konten negatif yang destruktif. Konten ini tidak hanya sebatas hoaks atau disinformasi, tetapi juga mencakup ujaran kebencian dan fitnah, yang sering dibungkus dengan kata “diduga” (untuk penyelamatan diri), yang dapat merusak persaudaraan dan persahabatan, pornografi yang mengancam kesucian jiwa (tazkiyatun nafs) yang dibungkus dengan kata “dunia seni”, hingga propaganda paham radikalisme-ekstremisme.
Kelompok radikal sangat lihai memanfaatkan algoritma media sosial untuk menyasar generasi muda dengan narasi keagamaan yang simplistis, emosional, dan memotong sanad keilmuan yang menjadi ciri khas keilmuan di pesantren. Hal ini secara langsung menantang otoritas kiai dan metodologi pengajaran yang menekankan pentingnya verifikasi (tabayyun) dan kedalaman ilmu.
Selain itu, tantangan juga datang dari perubahan pola pikir generasi santri. Sebagai digital natives, mereka terbiasa dengan informasi yang instan, visual, dan disajikan dalam format pendek. Pola konsumsi informasi ini berpotensi menggerus kesabaran dan ketekunan yang diperlukan dalam model pendidikan tradisional, seperti ngaji bandongan atau sorogan yang menuntut konsentrasi dan proses belajar yang panjang.
Namun, di tengah bayang-bayang tantangan tersebut, terhampar pula peluang yang sangat luas jika pesantren mampu memanfaatkannya secara strategis. Era digital membuka gerbang dakwah yang tak terbatas. Kajian seorang kiai yang sebelumnya hanya bisa diakses oleh santri di dalam sebuah majelis, kini dapat disiarkan langsung melalui YouTube atau Facebook, menjangkau jutaan audiens di seluruh dunia, termasuk para alumni yang tersebar di berbagai wilayah.
Pesantren dapat mengembangkan metode pembelajaran yang lebih inovatif dan interaktif, misalnya dengan menciptakan aplikasi digital untuk belajar nahwu-shorof, platform e-learning untuk pendalaman kitab, atau menggunakan media visual untuk menjelaskan konsep-konsep yang kompleks. Lebih dari itu, pesantren memiliki potensi besar untuk menjadi produsen konten-konten positif yang mencerahkan. Mereka dapat mengisi ruang digital dengan narasi Islam yang moderat, sejuk, dan intelektual—mulai dari podcast kajian tafsir, video pendek tentang akhlak sehari-hari, hingga artikel yang membahas isu-isu kontemporer dari perspektif Islam.
Dengan cara ini, pesantren tidak hanya membentengi komunitasnya, tetapi juga secara aktif berperan dalam pertempuran narasi di dunia maya, serta menebarkan pesan Islam rahmatan lil 'alamin ke seluruh penjuru dunia. Karena pesantren dengan kearifannya, telah terbukti mampu bangkitkan nasionalisme, local wisdom, dan kuatkan persatuan (Said Agil Sirot, 2025). Hari santri nasional (HSN) perlu dijadikan sarana evaluasi dan refleksi atas penyelenggaraan pendidikan pesantren.
*Penulis merupakan Guru Besar dan Dekan FITK UIN Malang periode 2021-2025, Alumni MAN 3 PPBU dan Pembina Pesantren/Ma’had Al Madany MTsN 1 Kota Malang.