Reporter : Ali Imron
blokTuban.com - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut ancaman paling menakutkan bagi seluruh umat manusia bukanlah pandemi ataupun perang, melainkan perubahan iklim. Menurutnya, perubahan iklim yang dipicu pemanasan global menjadi biang keladi berbagai bencana hidrometerologi, cuaca ekstrem, kebakaran hutan dan lahan, dan juga krisis pangan.
"Perubahan iklim yang terjadi secara global tidak bisa dianggap remeh karena dampaknya bagi kehidupan sangat signifikan dan membahayakan. Kondisi ini mengancam seluruh negara di seluruh belahan dunia tanpa terkecuali," ungkap Dwikorita disela-sela agenda Blended Training of Trainers on Climate Field School for Colombo Plan Member Countries dikutip blokTuban.com dari laman BMKG, Selasa (18/7/2023).
Perubahan iklim ini, kata Dwikorita, juga mengancam katahanan pangan seluruh negara. Organisasi pangan dunia FAO bahkan memprediksi tahun 2050 mendatang, dunia akan menghadapi potensi bencana kelaparan akibat perubahan iklim, sebagai konsekuensi dari menurunnya hasil panen dan gagal panen.
Dwikorita menerangkan, berbagai upaya dilakukan negara-negara di dunia sebagai bagian dari mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, termasuk Indonesia. BMKG sendiri, kata dia, secara rutin menyelenggarakan Sekolah Lapang Iklim (SLI) sejak 2011 dengan menyasar petani dan penyuluh pertanian di seluruh pelosok Indonesia. Keberhasilan kegiatan SLI di Indonesia ini bahkan telah dijadikan sebagai percontohan dan telah dilaksanakan TOT SLI untuk negara - negara Asia Pasifik, Timor Leste dan Pakistan.
"Kegiatan Climate Field School (CFS)/Sekolah Lapang Iklim (SLI) kali ini diikuti oleh 8 negara anggota Colombo Plan dan Timor Leste. Total ada 19 peserta yang berasal dari Bangladesh, Bhutan, Myanmar, Nepal, Papua New Guinea, Sri Lanka, Filipina, dan Timor Leste. Negara-negara ini belajar bagaimana SLI diselenggarakan sebagai bagian dari upaya mencegah krisis pangan," tuturnya.
"CFS juga merupakan salah satu program Kerja Sama Teknik Selatan-Selatan dan Triangular (KTSST) antara pemerintah Republik Indonesia, yakni Kementerian Sekretariat Negara dan BMKG dengan Sekretariat Colombo Plan. Kegiatan ini juga menjadi bukti kepemimpinan dan kontribusi Indonesia pada upaya adaptasi perubahan iklim, khususnya mengatasi masalah ketahanan pangan," tambah Dwikorita.
Sementara itu, Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan Ardhasena Sopaheluwakan menuturkan petani di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengatasi variabilitas iklim, berjuang untuk mengurangi kondisi gagal panen dan rendahnya produktivitas pertanian.
SLI yang rutin diselenggarakan BMKG, kata dia, berfungsi sebagai jembatan untuk meningkatkan pengetahuan praktisi, penyuluh, dan petani mengenai informasi iklim, khususnya di tingkat lokal. Melalui SLI diharapkan pengetahuan tentang informasi iklim dan dampaknya di kalangan petani dapat meningkat, yang pada akhirnya mengurangi kerugian panen.
"Melalui prakarsa seperti Sekolah Lapangan iklim, kami dapat menjembatani kesenjangan pengetahuan, memberdayakan petani, dan membekali mereka dengan alat dan pemahaman yang diperlukan untuk mengatasi kompleksitas informasi iklim. Semoga langkah ini bisa diadopsi negara-negara lain guna mencegah terjadinya krisis pangan secara global," imbuhnya.
Salah satu peserta dari Philippine Atmospheric, Geophysical and Astronomical Services Administration (PAGASA), Michael Siazon Bala mengungkapkan, Filipina sangat menyambut baik penyelenggaraan Climate Field School (CFS) bagi negara Colombo Plan. Filipina, kata Michael, akan mereplikasi SLI untuk meningkatkan ketahanan pangan dari perubahan iklim. Informasi iklim dan cuaca yang diberikan kepada petani menurutnya akan berpengaruh terhadap produktivitas pertanian.
"Tidak ada satu pun negara yang mampu menghadapi perubahan iklim secara sendirian. Kerjasama ini sangat penting sebagai langkah mitigasi dan antisipasi bersama terhadap ancaman perubahan iklim," pungkasnya.[*]