(PORKAB VII Tuban mengerdilkan peran induk organisasi olahraga ?)
Oleh : Zein At Tubany El Jawy *)
blokTuban.com - Beberapa minggu terakhir obrolan kami di warung kopi (maaf, kami biasa menyebut komunitas ngopi) fokus tertuju pada event olahraga Piala Dunia sepak bola (FIFA World Cup 2022) yang tengah berlangsung di Qatar.
Hampir semua peristiwa terkait Piala Dunia tidak pernah luput menjadi bahan obrolan. Didampingi tempe dan pisang goreng hangat, obrolan mengalir lancar. Mulai dari persiapan tim kontestan, pemain, pelatih, jadwal pertandingan, perangkat pertandingan, hingga supporter pendukung tim.
Sudah barang tentu yang paling menarik adalah ketika masuk sesi pembahasan jalannya pertandingan. Seperti halnya ketika Argentina kalah dari Saudi Arabia, atau Jerman yang kalah dari Jepang. Yang fenomenal tentu keberhasilan Maroko menjungkalkan Portugal dan menembus babak semifinal. Sebuah kejutan prestasi di Piala Dunia yang memang layak diperbincangkan.
Obrolan semakin asyik tatkala masuk wilayah pengadil pertandingan. Apalagi jika keputusannya mengundang kontroversi (debatable). Keputusan yang bisa berdampak terhadap hasil akhir pertandingan. Contohnya adalah proses terjadinya gol kedua Jepang yang menjadi penentu kemenangan atas Spanyol. Walaupun sudah menggunakan teknologi VAR (Video Assistant Referee) sekalipun, tetap saja memunculkan komentar.
Beragam komentar muncul sesuai perspektif dan kapasitas diri kami masing-masing. Menjadi lebih menarik lagi apabila obrolan dibumbui dengan isu-isu politik kekinian. Atau dipersandingkan dengan hal-hal mistis-supranatural. Pasti memunculkan beragam analisa dan spekulasi.
Hal ini pulalah yang akan memantik pembahasan semakin ngelantur kemana-mana, nggak jelas arahnya. Apalagi obrolan seperti ini jelas tidak ada moderatornya sehingga dengan mudah masing-masing bisa menyela atau memotong pembicaraan. Inilah kekhasan diskusi model komunitas ngopi. Semua berhak ngomong sesuai keinginannya sampai kopi benar-benar habis tinggal ampas. Tidak seperti acara diskusi yang biasa tayang di stasiun televisi nasional.
Baca berita terkait:
Menata (Serius) Kompetisi Olahraga ?
Mendiskusikan olahraga sangatlah menarik. Bisa disamakan seperti halnya mendiskusikan ikan di laut. Meski setiap hari diambil nelayan, tetapi setiap hari itu pula selalu ada tersedia. Tidak akan pernah ada habisnya. Demikian juga obrolan tentang olahraga, akan selalu ada bahan untuk didiskusikan.
Tidak hanya dari olahraganya saja, tetapi bisa dari aspek-aspek lain, seperti sejarah, ekonomi, sport science sampai budaya. Dan di setiap obrolan semua merasa paling benar analisanya. Karenanya selalu ada pro maupun kontra mewarnai analisa tersebut. Mereka akan mempertahankan analisanya dengan argumentasi versinya masing-masing.
Biasanya diskusi berakhir dengan kesepakatan ketika regulasi pertandingan menjadi dasar pembahasan. Regulasi yang menjadi pedoman pertandingan (rule of the game). Sekontroversial apapun sikap pengadil pertandingan dalam mengambil keputusan apabila didasarkan pada regulasi semuanya akan tunduk dan bisa menerima. Walaupun sempat terjadi adu mulut misalnya, bahkan berujung pemberian kartu, tetapi ketika sudah diputuskan semua akan mematuhinya.
Olahraga mengajarkan jiwa kesatria-sportivitas luar biasa. Walau di atas lapangan saling berlawanan, saling adu strategi untuk mengalahkan yang terkadang dibumbui ketegangan dan protes, tetapi setelah pertandingan usai semua menerima hasilnya. Kemudian saling berjabat tangan dan berangkulan layaknya sebagai sebuah keluarga.
Seperti halnya topik obrolan pagi ini tentang penyelenggaraan multievent Pekan Olahraga Kabupaten Tuban. Semua memberikan komentar. Hampir semua dari anggota komunitas ngopi mengkritisi dari sisi regulasinya. Aturan yang menjadi pedoman atau dasar pelaksanaan.
Aturan yang merupakan payung hukum keabsahan event ini dilaksanakan, sehingga menyebabkan event ini sah diadakan. Pastinya disertai maksud dan tujuan mulia yang ingin dicapai dari pergelaran seperti ini, seperti untuk menggali bibit atlet potensial daerah, sebagai tolok ukur keberhasilan pembinaan, dan tentu saja sebagai upaya peningkatan kualitas dan prestasi olahraga.
Mengapa hal ini menarik, apakah ada sesuatu yang tidak lazim ?
Hampir semua anggota komunitas ngopi sepakat bahwa ada sesuatu hal tidak lazim sedang terjadi dalam penyelenggaraan kali ini. Ada sesuatu di luar kebiasaan yang sudah mentradisi pada setiap gelaran multievent olahraga.
Tradisi yang biasa terjadi pada setiap penyelenggaraan sebelumnya. Yaitu tradisi bahwa multievent ini mendasarkan dirinya sesuai ketentuan yang berlaku dan menjadi dasar pedoman pelaksanaan kegiatan atau pondasinya (fundamental). Artinya bahwa penyelenggaraan multievent olahraga selama ini (yang terjadi di Indonesia) sudah ada pakem aturannya.
Pakem yang seharusnya jadi rujukan, sehingga pelaksanaan event tidak boleh keluar dari rel yang sudah ditetapkan. Dimana pun multievent diselenggarakan harus menginduk ketentuan tersebut. Maka menjadi sangat-sangat wajar ketika ada ketidaksesuaian seperti ini menjadi perbincangan khalayak di ruang publik.
Sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 11 tahun 2022 tentang Keolahragaan pada Bab VIII Pasal 48 dengan jelas mengamanatkan bahwa kejuaraan olahraga dilakukan dengan prinsip efisiensi, keunggulan, terukur, akuntabel, sistematis dan berkelanjutan. Berikutnya pada Pasal 49 ayat 1 menjelaskan bahwa pemerintah daerah bertanggungjawab terhadap pelaksanaan penyelenggaraan pekan olahraga daerah.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2007 dan telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pekan dan Kejuaraan Olahraga, pada Bagian Keempat pasal 16 ayat 2) tertulis tegas bahwa pelaksanaan penyelenggaraan Pekan Olahraga Provinsi dan Pekan Olahraga Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat 1) ditugaskan kepada Komite Olahraga Provinsi atau Komite Olahraga Kabupaten/Kota.
Di sini sangatlah jelas dan gamblang, bahwa Pemerintah daerah memberikan tugas kepada Komite Olahraga (sebagai induk organisasi olahraga serta mitra pemerintah dalam bidang olahraga) untuk menyelenggarakan mulai dari perencanaan, sosialisasi, pelaksanaan, talent scouting, dan sebagainya.
Bahkan pada pasal 15 ayat 3) mensyaratkan bahwa penentuan mengenai waktu penyelenggaraan, jumlah peserta, dan jumlah cabang olahraga yang dipertandingkan dalam pekan olahraga daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1) ditetapkan dalam musyawarah komite olahraga provinsi atau komite olahraga kabupaten/kota.
Kedudukan regulasi ini menjadi sangat penting serta menentukan karena akan berimplikasi terhadap keabsahan kegiatan, dan berdampak kepada setiap produk yang dihasilkan dari multievent ini.
Dari regulasi tersebut, ada pembagian tugas yang sangat jelas di antara keduanya. Pemerintah daerah sebagai penanggungjawab sedangkan induk organisasi olahraga sebagai pelaksana. Pembagian tugas dimaksudkan agar tidak ada tumpang tindih peran dan kewenangan.
Pemerintah daerah sebagai penanggungjawab dan harus mendelegasikannya kepada induk organisasi olahraga, mempunyai kewenangan mengontrol (steering) terhadap penyelenggaraan pekan olahraga. Sedangkan induk organisasi olahraga sebagai pelaksana kegiatan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada pemerintah daerah.
Mekanisme kerja seperti ini selaras dengan Anggaran Dasar Komite Olahraga Nasional Indonesia bagian kelima pasal 5 ayat 2 a) membantu pemerintah, pemerintah daerah dalam membuat kebijakan bidang pengelolaan, pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi pada tingkat nasional maupun daerah. Juga ayat 2 d) melaksanakan dan mengoordinasikan kegiatan pekan olahraga nasional dan daerah.
Pembagian peran. tugas dan kewenangan ini mengisyaratkan jika pemerintah daerah mempunyai tanggungjawab terhadap pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi, akan tetapi untuk mengetahui atau mengukur keberhasilannya diserahkan penuh kepada lembaga independent yang sah dan kredibel sebagai mitranya. Sehingga tidak timbul peran ganda yang bertentangan.
Menjadi pemain juga sekaligus menjadi wasit. Akan tetapi kenyataan yang terjadi pada perhelatan Pekan Olahraga Kabupaten Tuban tahun 2022 ini Pemerintah Kabupaten malah memainkan peran ganda tersebut.
Lalu, mengapa Pemerintah Kabupaten mengambil peran ganda ini sehingga (terkesan) tidak percaya kepada induk organisasi olahraga sebagai mitra sah-nya untuk melaksanakan ? Apakah ada yang salah dari penyelenggaraan pekan olahraga yang berjalan selama ini ?
Apabila tidak ada jawaban konkret dengan dasar yang kuat dari pertanyaan tersebut, maka akan terasa naif sekali jika hal itu benar-benar terjadi. Dimana dalam menjalankan roda pembinaan dan pengembangan olahraga harus menabrak ketentuan yang jelas-jelas menjadi payung hukumnya.
Regulasi yang mengaturnya. Apalagi jika dalam penyelenggaraan selama ini tidak ditemukan adanya kesalahan atau pelanggaran regulasi. Bahwa kemudian (misalnya) ada kekurangsempurnaan atau kesalahan administratif yang lumrah (manusiawi) terjadi ketika pelaksanaan, tentu akan ada evaluasi untuk perbaikan selanjutnya tanpa menghilangkan esensi dan tujuan penyelenggaraan.
Pendekatan yang digunakan pun bukan dengan pendekatan kekuasaan, tapi lebih kepada pendekatan pembinaan. Pendekatan yang mengedepankan optimalisasi potensi yang tersedia.
Apapun alasan yang dikemukakan, apalagi jika alasannya hanya masalah interpretasi pribadi (subyektifitas) atau kepentingan kelompok saja, jelas-jelas sangat tidak bisa diterima. Selain karena sudah ada mekanisme yang mengaturnya, juga karena alasan ini melenceng jauh dari semangat serta nilai-nilai sportivitas (olahraga) itu sendiri.
Nilai yang selama ini dipegang teguh oleh semua pelaku olahraga. Nilai yang menjadi tujuan utama dan kebanggaan insan olahraga. Nilai yang mampu mempersatukan dan melahirkan solidaritas antar manusia, sehingga tidak ada lagi sekat suku, agama, ras, dan antar golongan yang jadi penghalang. Olahraga mampu mempersamakan hak-hak manusia sekaligus mewujudkan kebanggaan tanpa merendahkan yang lain.
Jika hal seperti ini terus berlangsung maka akan mengerdilkan peran induk organisasi olahraga, dan mengebiri peran yang dimiliki. Mereduksi tugas dan fungsi yang telah diamanatkan. Lebih jauh lagi akan meninggalkan kesalahan sistemik yang berdampak buruk terhadap keberlangsungan olahraga. Kemudian pelan-pelan melahirkan hegemoni tiada batas, dan semua itu dianggap sebagai hal biasa karena dilakukan oleh pengambil kebijakan.
Ketika situasi ini berkepanjangan maka masyarakat akan dirugikan, ini menjadi preseden buruk utamanya bagi pelaku olahraga. Sebuah ironi di saat era baru manajemen olahraga berkembang pesat. Masyarakat disuguhi tontonan yang kurang mendidik serta merupakan teladan yang buruk.
Tidak ada yang bisa diharapkan dari kondisi begini karena peran, fungsi dan tugas lembaga yang kompeten tidak diberikan secara optimal. Mungkin semuanya terlihat baik, atau mugkin prestasi masih bisa diraih. Tapi apalah artinya sebuah prestasi kalau diperoleh dari sistem yang tidak kredibel ? Prestasi hampa nilai, keluar dari marwah serta panji-panji kebesaran olahraga. Prestasi semu tanpa kebanggaan.
Akhirnya obrolan komunitas kami pun berakhir ketika gelas kopi tinggal ampas. Di saat yang sama di atas piring gorengan tinggal beberapa cabai hijau yang tersisa. Setelah menyeruput tetes terakhir kopi yang ada di ampas, kami pun bergegas pulang. Dan pertanyaan yang muncul di benak kami ketika pulang, akankah ada kesadaran dan niat baik dari pengambil kebijakan untuk merubah keadaan ini ???
Biarkan nanti masyarakat yang menjawab dan menilainya dengan cerdas. (*/Ali)
wassalam...
salam olahraga !!!
*) Penulis merupakan pegiat dan penyayang olahraga, tinggal di zeinattubany@gmail.com
Temukan konten blokTuban.com menarik lainnya di GOOGLE NEWS