Reporter: -
blokTuban.com - Alasan estetis atau kebersihan biasanya jadi sebab banyak perempuan berupaya menghilangkan bulu ketiak mereka. Misalnya saja Inggrid. Bulu-bulu yang tumbuh di balik kedua lengannya itu membuat ia risih ketika mengenakan baju tanpa lengan.
Inggrid kerap mencukur sendiri bulu ketiaknya. Tapi ia tak puas, sebab warna kulit ketiaknya tampak jadi lebih gelap.
Akhirnya Inggrid memilih untuk memasrahkan nasib bulu-bulu di ketiaknya kepada salah satu klinik kecantikan di Plaza Senayan, Jakarta Pusat. Harapannya, bulu-bulu itu hilang total dan kulit ketiaknya bersih cerah sehingga ia bisa bebas mengenakan aneka mode pakaian.
Demi mencapai targetnya itu, Inggrid memilih teknik perawatan dengan teknologi terkini berupa kombinasi cahaya dan laser yang harganya lebih mahal ratusan kali lipat ketimbang alat cukur biasa. Melaser ketiak itu pun tak cukup sekali ia lakukan.
“Kalau zaman sekarang mungkin kalau cewek ada bulunya, kurang enak aja dilihat,” ujarnya. Hari itu kali ketiga Inggrid melaser ketiaknya di klinik langganannya.
Agar bulu ketiaknya benar-benar hilang dan bersih, Inggrid setidaknya perlu melakukan perawatan underarm hair removal seharga Rp 750 ribu itu sebanyak 8-12 kali. Artinya, ia perlu menghabiskan uang minimal Rp 6 juta hingga Rp 9 juta demi membabat habis bulu ketiaknya tersebut.
Setiap kali selesai laser, Inggrid benar-benar harus menjaga kondisi kulit ketiak yang lebih sensitif dibanding kulit bagian tubuh lain. Ia tidak boleh mandi air hangat, tidak boleh berolahraga, tidak boleh terlalu banyak berkeringat, tidak boleh berenang, dan harus melepas penggunaan deodoran sementara waktu.
Sederet pantangan itu harus ia patuhi selama dua hari penuh demi menghindari iritasi atau rasa gatal terjadi di kulit ketiaknya.
Sementara Grace, dengan alasan kebersihan, lebih memilih menggunakan teknik waxing untuk menghilangkan bulu ketiaknya. Harganya setengah lebih murah dibanding teknik laser, namun setengah sisanya mesti ia bayar dengan jerit kesakitan setiap kali bulu ketiaknya itu mulai ditarik dari akarnya.
Bagi Grace, itu bagian dari caranya merawat dan membersihkan tubuh. Demi kepuasan diri, ia rela terserang rasa sakit ketika waxing atau rasa gatal yang timbul setelahnya.
Waxing ia pilih bukan hanya untuk bulu ketiak saja, melainkan juga bulu kemaluan. “Kalau pakai alat sendiri dari dulu dikasih tahu nggak boleh, arena tumbuhnya (bulu) nggak bagus,” kata Grace via telepon, Rabu (13/3).
Namun, jika kebersihan dan keindahan menjadi alasan wanita menghilangkan bulu ketiaknya, mengapa hal yang sama tidak berlaku bagi laki-laki?
Rebecca Herzig dalam buku Plucked: A History of Hair Removal bercerita, pada tahun 1770-an para naturalis dan koloni Inggris terkejut melihat kulit bebas bulu milik suku Indian. Kemudian di tahun 1871, Charles Darwin menerbitkan buku Descent of Man.
Dalam buku tersebut, menurut Herzig, tergambar bagaimana para naturalis terobsesi pada karakteristik berbagai ras manusia, termasuk soal rambut yang bisa tumbuh lebih lebat bagi suku tertentu. Hingga muncul pertanyaan, apakah keberadaan rambut di tubuh manusia menjadi tanda penyakit, evolusi anatomi tubuh yang terbelakang, atau bahkan primitif.
Sementara menurut Christine Hope dalam tulisannya berjudul Caucasian Female Body Hair and American Culture, kebersihan kulit dari bulu-bulu hanya ditujukan untuk salah satu jenis kelamin, yakni perempuan. Ada dua asumsi yang melandasi hal tersebut.
Pertama, definisi laki-laki dan perempuan yang diposisikan sebagai kutub yang berseberangan. Maka karakteristik feminin dan maskulin haruslah berlawanan, mulai dari karakteristik tubuh hingga sifat-sifat yang dimiliki—memiliki dada-tidak memiliki dada, tidak berambut-berambut, lembut-kasar, dan sebagainya.
Asumsi berikutnya adalah imaji bahwa perempuan adalah manusia yang tumbuh tidak sempurna, atau serupa anak-anak. Sebab, ketiadaan bulu yang tumbuh selain di atas kulit kepala bukanlah tanda wanita dewasa, melainkan anak kecil. Justru tumbuhnya bulu di kaki, ketiak, dan kemaluan merupakan hal wajar baik bagi perempuan maupun laki-laki yang telah masuk masa pubertas dan dewasa.
“Praktik menghilangkan rambut pada tubuh perempuan dapat dilihat sebagai budaya yang mendorong perempuan menolak kedewasaannya. Ketiadaan bulu di tubuh bukan berarti menjadi wanita, melainkan ‘seperti anak-anak’,” tulis Hope.
Asumsi tersebut kemudian diperkuat dengan iklan-iklan yang menggunakan frasa seperti ‘selembut bayi’, ‘sentuhan bayi’, dan sebagainya. Keberadaan iklan itu kian mendorong perempuan untuk mencukur bulu di tubuhnya.
Pada 1914, majalah perempuan Harper’s Bazaar memuat iklan pencukur bulu untuk kali pertama. Pisau cukur merek Gillette mengeluarkan produk terbaru khusus untuk perempuan yang dinamakan Milady Décolleté.
Setahun kemudian, Gillette menggalakkan kampanye anti-bulu ketiak mengingat zaman itu mulai muncul tren pakaian tanpa lengan (sleeveless). Bulu ketiak dianggap sebagai bagian tubuh yang tidak berguna, buruk rupa, tidak diinginkan (oleh pria), dan tidak modis.
Pandangan ini kemudian berkembang dan meluas seiring tren produk pencukur bulu, mode pakaian tanpa lengan, rok pendek, hingga bikini. Keberadaan bulu di tubuh perempuan dipersoalkan. Bukan hanya bulu ketiak, tapi juga bulu kaki dan bulu kemaluan.
Pandangan anti-bulu merambah Indonesia pada akhir 1990-an. Sebelumnya, artis-artis Indonesia tahun 1970 dan 1980-an dengan percaya diri menunjukkan bulu ketiak mereka. Bahkan, “Bisa jadi salah satu standar kecantikan dan tren,” tulis sejarawan muda Fandi Hutari dalam artikel Menyibak Artis Berbulu Ketiak yang dimuat Historia.
Jauh sebelum bulu ketiak Eva Arnaz melejit melalui film Lima Cewe Jagoan (1980), ada pula peragawati bernama Dally Damayanti yang sukses di tahun 1970-an. Majalah Varia pada 16 Maret 1975 menulis, “Apakah sukses Dally yang subur dengan jerawat di mukanya ini berkat ‘ajimat’ bulu keteknya yang lumayan lebatnya ini? Tentu Dally sendirilah yang lebih tahu bukan?”
Bulu ketiak pada masa itu justru dianggap memiliki daya tarik seksual. Cara Joseph Oliviero dalam artikel Segi-segi Keindahan Ketiak menulis, “Ada semacam tendensi pada mereka yang menyatakan bahwa perempuan yang punya bulu ketiak lebat punya kemampuan seks besar.”
Kala itu, tak ada anggapan bahwa perempuan yang tidak mencukur bulu ketiak adalah perempuan jorok dan pemalas. Namun tren tersebut lalu memudar seiring kian kuatnya berbagai iklan alat cukur dan tren mode pakaian.
Secara medis, tak ada persoalan berarti terkait pilihan mencukur atau tidak mencukur bulu ketiak. Pilihan itu biasanya didorong soal kosmetik belaka, baik secara langsung maupun tidak.
Sesungguhnya, bulu ketiak yang tumbuh di balik lipatan antara lengan dan pundak itu berguna untuk melindungi kulit dari gesekan sehingga ia tak mudah lecet. Fungsi ini cukup penting karena kulit ketiak cenderung lebih sensitif dan lembab.
Maka, dicukur atau tidak itu bulu ketiak, yang terpenting adalah menjaga kebersihannya.
“Fungsi utama bulu untuk proteksi kulit terhadap panas, dingin, mikroba, zat kimia, karena kulit adalah organ tubuh paling luar. Kedua, untuk membantu proses pengaturan suhu, lewat keringat atau pembuangan toksin,” kata dokter kulit dan kelamin, Gloria Novelita, kepada kumparan di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (14/3).
Menurut Gloria, pilihan paling aman jika ingin menghilangkan bulu ketiak adalah dengan menggunakan laser. “Yang paling simpel adalah dengan mencukur… Sementara laser adalah pilihan yang tepat dan safe karena sangat selektif,” ujarnya.
Gloria mengamini bahwa tren mencukur bulu ketiak sangat dipengaruhi oleh iklan dan mode. “Nggak bisa dipungkiri, zaman sekarang kan all about looks.”
Gerah dengan standar kecantikan kulit mulus tanpa bulu membuat sebagian perempuan kemudian memulai protes Armpit Hair Movement. Tahun 2015, artis ternama seperti Miley Cyrus, Lena Dunham, dan Madonna gencar menyuarakan gerakan ini.
Artis-artis itu memotret dan mengunggah gambar ketiak mereka ke media sosial, lalu membubuhkan tagar #armpithairdontcare.
Januari 2019 juga muncul gerakan #januhairy yang viral di seluruh dunia. Gerakan menumbuhkan bulu ketiak yang kemudian dicat warna-warni layaknya pelangi ini diinisiasi oleh Laura Jackson, siswi asal Inggris yang merasakan perbedaan positif setelah menumbuhkan bulu ketiaknya.
Bagi perempuan, pilihan untuk mencukur atau tidak mencukur bulu tubuh sepenuhnya ada di tangan mereka. Yang penting tetap nyaman dan percaya diri dengan tubuh sendiri.
“Perempuan punya otoritas akan tubuhnya. Artinya gini, saya dicukur atau nggak dicukur tuh I'm stilll a woman. Saya punya bulu ketiak atau nggak, saya pantas dicintai,” ucap Zoya Amirin, psikolog yang mendalami ilmu seksologi.
Ini seperti petuah Tika & The Dissidents untuk merayakan kemerdekaan tubuh sendiri.
Ini suaraku, tubuhku, otoritasku Yang kuteriakkan, kenakan, pilihanku Ini untukmu, sahabatku laki-laki Tanpa izinku kau tak masuk ke wilayahku.
*Sumber. kumparan.com
Ketiak Berbulu vs Ketiak Licin
5 Comments
1.230x view