Barisan Pejuang Bertempur dengan Perut Kosong di Beron

Cerita gerilyawan, adalah cerita-cerita tentang penghadangan dan penyerangan serdadu Belanda. Seringkali penyerangan itu berbuah dengan keberhasilan, namun tidak jarang berbuah kegagalan yang berakhir dengan gugurnya kusuma bangsa.

Reporter: Edy Purnomo

blokTuban.com – Agresi Militer ke II yang dilakukan pasukan Belanda di Indonesia, termasuk di Tuban-Bojonegoro, memuat banyak kisah. Berbeda dengan serdadu Belanda yang bertempur dengan persenjataan lengkap, tenaga profesional, dan logistik yang cukup, tentara dan barisan rakyat pejuang justru sebaliknya, bertempur dengan persenjataan yang terbatas.

Pertempuran pasukan gerilyawan, TRIP, dengan serdadu Belanda di Desa Beron, Kecamatan Rengel, menjadi cerita barisan pejuang bertempur dengan kekuatan terbatas. Barisan pejuang itu harus menghadapi Belanda dengan rasa lelah dan perut kosong, setelah menempuh perjalanan cukup jauh dan medan sulit dari pusat markas komando pasukan Brigade di Bojonegoro.

Mayor Basuki Rahmat, perwira asal Tuban (namanya diabadikan menjadi Jalan Basuki Rahmat Tuban), mengirimkan perintah kepada Lettu Tambunan untuk memimpin pasukan TRIP memperkuat kedudukan Kompi Teko yang berkedudukan di Rengel.

Perintah yang diterima pasukan pada 6 Januari 1949 itu berisi: Menghambat gerakan tentara Belanda yang diduga akan menyerang Bojonegoro yang dipergunakan sebagai markas tentara pejuang. (Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe, Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan, 1985:252).

Baca juga [100 Ledakan di Kaliketek, Hingga Gugurnya Lettu Suyitno]

Perintah singkat itu langsung ditindaklanjuti. Lettu Tambunan melakukan konsolidasi dengan pasukan TRIP. Saat itu sudah diidentifikasi kalau pasukan Belanda, sejak mendarat di Pantai Glondonggede 18 Desember 1948 lalu, sudah melakukan pendudukan pusat kota Tuban dan langsung menguasai Babat, Lamongan, dua hari setelahnya. Pasukan gerilya menduga wilayah selanjutnya yang akan dikuasai Belanda adalah Plumpang, Rengel dan Soko.

“Tengah malam 6 Januari 1949 mereka berangkat dengan perahu menyusuri Bengawan Solo,” mengutip dari Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe, Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan.

Perjalanan menggunakan perahu memakan waktu cukup lama karena dilakukan pada malam hari, dengan banyaknya kelokan sungai yang menghambat laju kecepatan. Sebenarnya perjalanan darat hanya 14 kilometer, tapi itu tidak ditempuh karena berbahaya.

Setelah 12 jam pasukan sampai di Gemblo, Rengel, dan mendaratkan perahunya di bantaran Bengawan Solo. Rakyat menyambut kedatangan pasukan bersama komandan ODM Rengel.

Rombongan ini kemudian berjalan kaki 2,5 kilometer menuju ke Rengel. Tengah hari, 7 Januari 1949, mereka sampai di pendopo Kawedanan Rengel untuk beristirahat melepas penat serta menunggu makan siang yang dibuatkan warga.

Selama masa perang kemerdekaan, penduduk memang memberi dukungan dengan beragam cara. Biasanya, warga sipil ikut bergabung menjadi tentara atau membentuk kelompok-kelompok gerilya, ada yang menjadi mata-mata untuk mengintai pergerakan pasukan Belanda melalui pager desa, atau juga memberi dukungan berupa penyediaan makanan dan bahan logistik.

Untuk kebutuhan logistik pejuang, biasanya warga berinisiatif memasak langsung bahan makanan yang dipunya dan diberikan kepada pasukan, atau memberikan berupa hasil kebun sebagai perbekalan makanan.

Baru beristirahat pasukan sudah mendengar kabar serdadu Belanda sudah berhasil menguasai Kecamatan Plumpang. Mereka akan melanjutkan perjalanan untuk menduduki wilayah Rengel. Belum sempat makan, pasukan langsung bergerak.

“Dengan perut kosong karena sejak keberangkatannya dari Bojonegoro belum diisi sebutir nasi pun dan hanya minum melepaskan dahaga saja, Tambunan segera memerintahkan pasukan segera berangkat ke timur Rengel untuk menyongsong kedatangan musuh dari arah Plumpang,” Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe, Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan.

Perut kosong tidak membuat semangat dan nyali pasukan ciut. Mereka segera menempatkan diri di posisi-posisi strategis yang berada di wilayah Beron, Rengel.

Dua regu yang dibawa Tambunan, yakni pasukan Padang langsung naik di ketinggian sekitar Beron dan menyusun kekuatan membidik pasukan Belanda yang datang dari arah timur. Sementara pasukan Wiji berada di belakangnya.

Pasukan Wiji, yang datang sesudah pasukan Padang dan membawa senjata cukup berat kurang beruntung, mereka sudah terlihat Belanda sebelum bisa mengatur pertahanan dengan sempurna. Barisan pertahanan Belanda mengetahui posisi pasukan Wiji, mereka langsung mengarahkan pasukan menghindari jalan besar, melintasi semak-semak untuk menjauhi ketinggian.

Sebagian lagi mengendap untuk menyergap pasukan Wiji dari belakang. Setelah mendekati sasaran tembak, pasukan Wiji langsung dihujani peluru serdadu Belanda. Barisan pejuang itu melawan dengan sejadi-jadinya.

Pasukan Padang yang sudah berada di ketinggian bukit, langsung melepaskan tembakan ke arah serdadu Belanda yang menembaki pasukan Wiji. Tapi pasukan induk Belanda tidak tinggal diam, mereka langsung memborbardir pasukan Padang dengan peluru mortir.

Serangan kepada pasukan penghadang yang jumlahnya lebih sedikit dengan persenjataan seadanya semakin gencar. Karena semakin terdesak, Tambunan sebagai pemimpin penghadangan memerintahkan pasukan mundur.

Dua kusuma bangsa dari pasukan TRIP, Wiji dan Lisman gugur di medan perang. Kemudian dua pejuang lain yakni Sudarmo dan Abdulrachman menderita luka cukup berat. Senjata mortir 3 inci dan sepucuk pistol juga dirampas musuh. (*)

Sumber:
- Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe, Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan:1985.
- Keterangan foto: Mberon, lokasi pertempuran pasukan TRIP dengan serdadu Belanda, 7 Januari 1949.