Montong pernah dijadikan sebagai tempat pusat kepemerintahan militer di masa Agresi Militer Belanda II di Tuban. Keinginan kuat Belanda untuk menguasi semua wilayah Tuban menjadikan tempat ini sebagai salah satu sasaran bombardir serdadu.
Reporter: Edy Purnomo
blokTuban.com – Perlahan namun pasti, Belanda mengetahui orang-orang yang diburunya memusatkan kekuatan berada di Montong. Daerah ini menjadi tempat penting kepemerintahan militer sejak 10 Januari 1949, saat Komandan KDM, R.E Soeharto berpindah dari Tlogo Nongko sampai 21 April 1949, ketika kepemerintahan dipindah lagi ke Jatirogo.
Bangunan itu masih terlihat kokoh. Berada di pinggir jalan dekat dengan pertigaan yang menghubungkan antara Kecamatan Montong dan Kecamatan Kerek. Bendera berkibar tegak di halaman kantor yang bertuliskan “Kepolisian Sektor Montong”. Kantor kepolisiann itu adalah saksi bisu berlangsung konsolidasi, rapat-rapat, dan peperangan antara pasukan tentara Indonesia melawan serdadu Belanda.
Baca juga [Pasukan Elit Tuban yang Paling Dicari Belanda]
“Sampai pertengahan bulan April 1949, kota Kecamatan Montong belum diinjak lagi oleh lawan setelah ‘doorstoot ke Cepu’ tanggal 19 Desember 1948,” Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe, Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe, 1985:318.
Banyak hal yang mungkin menjadi pertimbangan Belanda tidak mengusik wilayah Montong. Bisa jadi kekurangan pasukan dan energi yang terkuras habis karena mendapat banyak gangguan dari pejuang dan gerilyawan, atau bisa jadi militer Belanda belum mengetahui dan merasa belum perlu membuat pos di wilayah Montong.
Situasi berubah, Kesatuan Brigade IV/KNIL sampai di Tuban dan menerima tugas sebagai pengganti pasukan Marbrige di Tuban. Pasukan baru itu meminta bantuan mata-mata yang berasal dari salah satu desa di Kerek. Mereka melakukan pengenalan medan dan berkeinginan menjajaki kekuatan musuh.
Tepat di tanggal 21 April 1949, dari pangkalan militer mereka yang berada di pusat kota Tuban, serdadu Belanda itu langsung menuju ke arah barat menuju ke Merakurak. Sesampai di kawasan Jati Gembol (sisi barat Dusun Koro, Desa Pongpongan) pasukan turun dan meninggalkan kendaraannya. Di sini, mereka langsung jalan kaki merangsek ke arah barat dengan melintasi rute Desa Pucangan.
Beruntung militer Indonesia dan pasukan gerilya mempunyai dukungan dari masyarakat desa melalui pager desa. Melihat sesuatu yang gawat, pager desa setempat yang mengetahui ini langsung menuju ke markas kepemerintahan sipil di Montong.
Hari itu juga Belanda masuk ke wilayah Montong dengan mudah, karena kebetulan tidak ada pasukan gerilya yang beraktivitas. Komandan KDM R.E Soeharto dan Detasemen Kepolisian sesudah bersiap setelah mendapat informasi dari pager desa langsung mundur ke wilayah Desa Talangkembar.
“Pasukan Belanda bermalam dengan menempati kantor Polisi yang terletak di pertigaan jalan ke Kerek,” Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe, Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe, 1985:319.
Bangunan bersejarah itu sekarang dipergunakan sebagai Markas Kepolisian Montong.
Catatan Dewan Harian Cabang 45 (DHC 45), Peristiwa Perjuangan Dalam Agresi II di Kabupaten Tuban dan Pembudayaan Nilai Kejuangan, 2005, menggambarkan peristiwa lain. Peristiwa hari itu pasukan Belanda menyerang dengan bersenjata lengkap, bahkan melakukan pemboman melalui udara.
Pasukan yang mundur di Desa Talangkembar membawa satu jenazah Polisi bernama Kalil yang gugur karena tertembak peluru. Mereka terus bertahan dan kemudian datang satu kompi pasukan bantuan dari Brigade Ronggolawe yang langsung dipimpin Letkol Soedirman.
Bantuan pasukan dari Letkol Soedirman bersama dengan pasukan pengawal kepemerintahan bertempur sampai dua hari dengan Belanda. Pasukan bisa memukul serdadu Belanda yang tidak memahami medan pertempuran, kemudian kepemerintahan berpindah ke Jatirogo dengan pengawalan dari Letkol Soedirman.
Meski pasukan kepemerintahan berpindah ke Jatirogo, ada satu kelompok pasukan yang ditinggal untuk mengecoh Belanda. Siasat itu terbukti jitu karena Belanda setelah kejadian itu lebih sering melakukan patroli di Montong dan tidak mengganggu wilayah Jatirogo.
Belanda menarik pasukan dan meneruskan perjalanan di hari kedua, tanggal 22 April 1949, dari pertigaan menuju arah Kerek. Pasukan gerilya pimpinan Rasmidin mengetahui ini dan langsung melakukan penghadangan di watu rumpit, wilayah perbukitan yang berada di tengah jalur Montong-Kerek.
Upaya penghadangan rombongan Belanda oleh pasukan Rasmidin gagal, karena Belanda tidak melintasi jalan itu. Rombongan hanya sampai Desa Bawi, kemudian mengambil rute ke timur menuju Desa Padasan melakukan pembersihan pasukan dan menangkap Sersan Sulkan seorang prajurit pribumi dan seorang pager desa bernama Ngatijan.
Sersan Sulkan dan Ngatijan dibawa masuk ke wilayah kota Kerek dari arah timur. Setelah berada di Kerek, patroli Belanda kembali ke Tuban melalui rute Desa Sumberarum, di sinilah Sersan Sulkan berhasil meloloskan diri. Sementara Ngatijan langsung ditembak Belanda ketika sampai di Merakurak.
Setelah pasukan Indonesia mundur di Talangkembar, mereka kemudian mendapat bantuan satu kompi pasukan dari
kemudian menginap di salah satu tempat berkas markas kepemerintahan militer Tuban. Tempat itu sekarang dipergunakan sebagai Markas Kepolisian Montong
doc. Mapolsek Montong
Pertempuran Talangkembar dan Nyali Pasukan Muda
Apa yang diprediksikan militer Indonesia bahwasanya Belanda akan kembali ke Montong terbukti. Pertengahan April 1949, serdadu Belanda segera membangun pertahanan di Desa Montongsekar dengan jumlah personil dan perlengkapan persenjataan yang lengkap.
Penduduk Montong merasa terancam dan berangsur-angsur melakukan pengungsian ke wilayah Jojogan Kecamatan Singgahan. Keadaan Jojogan menjadi lebih ramai dengan kedatangan pengungsi. Informasi ini langsung dilaporkan komandan SDO Singgahan kepada para pasukan gerilya.
Seorang tokoh gerilyawan bernama Tambunan bergerak ke Jojogan. Dia baru saja membentuk pasukan gabungan dari tiga regu yang selama ini tercerai berai dari induknya. Pasukan gabungan itu mayoritas anak muda berusia 19 tahun. Pasukan itu juga diikuti satu pemuda keturunan Arab dan satu muda keturunan Cina.
“Pasukan berkekuatan tiga regu dengan persenjataan senapan, karaben, dan pistol-mitralyur dari berbagai tipe dan merek,” Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe, Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe, 1985:358.
Setelah berkumpul, Tambunan langsung menempatkan posisi pasukan di tempat-tempat strategis. Tujuannya menghadang laju pasukan Belanda yang diinformasikan akan melintas di tempat ini.
“Sekitar pukul 07.00, muncul suara kentongan dari salah satu desa disambut kentongan dari Desa Talangkembar sebagai isyarat Belanda mulai mendekati lokasi.”
Pasukan bersiap, dan tiada lama muncul gerombolan serdadu Belanda dengan posisi waspada dari arah timur. Tiba di salah satu jembatan, barisan gerilya langsung menghujaninya dengan tembakan peluru.
Serdadu Belanda kocar-kacir mencari perlindungan. Pasukan gerilya yang mendapat posisi yang menguntungkan di medan pertempuran terus melakukan gempuran, hingga pertempuran itu berlangsung sampai dua jam lebih.
Setelah pasukan Belanda bisa mengatur formasi, mereka kemudian melakukan serangan balasan dengan mempergunakan senjata yang lebih canggih. Belanda menembakan bertubi-tubi peluru mortil dan meledak di barisan belakang pertahanan. Terus menerus pasukan digempur dengan peralatan senjata yang lebih modern.
Melihat kekuatan dan senjata yang tidak seimbang, barisan muda ini langsung mundur dan masuk ke hutan. Pasukan Belanda juga langsung mundur kembali ke markas dan tidak berani meneruskan patroli penyisiran.
“Dalam penghadangan ini korban di pihak kita (Indonesia) tewas satu orang penduduk terkena peluru, sedang patroli lawan (Belanda) mengalami kerugian dua orang mati dan dimasukan ke dalam kantong serta seorang luka berat yang ditandu menggunakan dipan yang diambil dari rumah pendudk Talangkembar,” Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe, Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe, 1985:359.
Pasukan gerilya dari anak-anak muda itu langsung kembali ke desa yang ditentukan untuk melakukan konsolidasi. Meski misi penghadangan tidak sukses 100 persen, tapi Belanda setelah itu mengalami kesulitan luar biasa memperluas wilayah kekuasaan ke arah barat Kabupaten Tuban.
Buku Brigade Ronggolawe menyebut, sesuatu yang menggembirakan juga terjadi karena semangat tempur dan jiwa korsa pasukan yang terdiri dari anak-anak muda itu semakin menguat. Selain itu juga penting untuk memulihkan moril pasukan dari SDO Singgahan yang sempat tercerai berai dari induk pasukan. (*)
Sumber:
1. Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe, Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe, 1985
2. Catatan Dewan Harian Cabang 45 (DHC 45), Peristiwa Perjuangan Dalam Agresi II di Kabupaten Tuban dan Pembudayaan Nilai Kejuangan, 2005
Keterangan foto:
Serdadu Belanda yang berada di salah satu perkampungan penduduk di Tuban. Dokumentasi foto milik Leen Camps - Van Der Zander, veteran Belanda yang ikut misi operasi 'Zeemeeuw', 18 Desember 1948.