Caluk Pejuang di Pos Belanda Kepet

Selama pasukan Belanda menduduki wilayah Tuban dan Bojonegoro, mereka tidak hanya menggempur, tapi juga digempur pasukan-pasukan gerilya.

Reporter: Edy Purnomo

blokTuban.com - Tugu itu setinggi 15 meter, berada di pinggir jalan Pantura Dusun Kepet, Desa Tunah, Kecamatan Semanding, Tuban. Bagian atas tugu ada dua patung yang mengayunkan caluk ke lawannya, salah satu senjata tajam tradisional di Tuban yang mempunyai berbagai fungsi.

Di bawah bagian tugu itu ada dua tulisan, berisi cerita tentang sejarah yang pernah terjadi pada tahun 20 April 1949 silam dan satu tulisan menyebut nama-nama orang yang terlibat di dalamnya.

[Baca juga:  Gempuran Belanda Memburu Pemerintah Tuban ]

“Nama-nama pejuang penyerbuan pos tentara Belanda di selatan jembatan Kepet Desa Tunah, Kecamatan Semanding pada tanggal 20 April 1949.” Bunyi salah satu tulisan itu. Hanya yang perlu disayangkan kondisi tulisan itu sudah mulai aus, padahal bukan tergolong bangunan kuno.

Ada beberapa daftar nama pejuang yang dicantumkan di bawah tugu. Beberapa adalah nama dari tentara, kemudian ada juga nama dari perangkat desa dan kyai pemuka agama.

Salah satu nama di daftar itu adalah Moh. Badrun, seorang anggota gerilya dari pasukan Combat yang ditugaskan menjadi carik di Kepet di masa Agresi Milter Belanda ke II di Tuban. Badrun, bisa dibilang sebagai pemasok informasi utama dan ujung tombak penyerangan pos Belanda yang membuat pasukan kompeni berang.

Ide penyerangan bisa jadi sudah lama direncakan para pejuang dari pasukan Combat. Pasukan yang paling dicari Belanda di Agresi ke II itu menugaskan Badrun untuk melakukan pendekatan dengan pasukan-pasukan di Pos Belanda yang ada di Kepet dan di Desa Gesing (satu kilometer sisi selatan jembatan Kepet).

“Karena cara pembawaan dan kepandaiannya mengambil hati, dia cepat memperoleh kepercayaan dari komandan pos Belanda di Kepet.” (Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe, Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe, 1985:320).

Upaya Badrun melakukan pendekatan berhasil. Dia adalah orang yang diminta Belanda di Pos Kepet untuk mencarikan beberapa pekerja atau kuli untuk melakukan perbaikan pos pada 18 April 1949 silam. Badrun langsung menyanggupi dan meminta waktu dua hari mencari pekerja seperti yang dibutuhkan.

Melihat ada kesempatan untuk melakukan penyerangan Belanda. Di rumah seorang tokoh agama setempat, Kyai Adnan, dia melapor kepada komandan pasukan Combat, Serma Moestadjab. Setelah mendengar paparan Badrun dan berdiskusi akhirnya mereka sepakat: Pos Kepet milik Belanda akan diserang, pekerjaan itu akan dilakukan langsung oleh anggotanya (pasukan Combat) sendiri.

Mereka menyepakati akan melakukan pekerjaan itu tanggal 20 April 1949. Sehingga, masih ada jeda waktu satu hari, yakni 19 April, untuk membicarakan strategi, pengenalan medan, dan juga menyiapkan peralatan penyerbuan.

Agar Belanda tidak curiga, senjata yang dipersiapkan adalah senjata tajam yang lekat dipergunakan untuk aktivitas sehari-hari. Seperti caluk, cangkul, sabit, dan sejenisnya. Semua peralatan itu diasah sangat tajam oleh orang-orang yang akan melakukan penyerbuan. Agar Belanda tidak curiga, semua senjata dilumuri getah pisang agar terlihat tumpul.

Malam menjelang 20 April 1949. Semua anggota kembali berkumpul di rumah Kiai Adnan. Mereka kembali mendapatkan gambaran peta Pos Belanda dari Badrun. Uraian dari Badrun sangat penting agar penyamaran mereka sempurna dan bisa menyusun kemungkinan-kemungkinan langkah penyerangan.

Malam itu membicarakan pembagian tugas. Satu kelompok akan bertugas menyamar sebagai pekerja dan merangkap penyergap. Kelompok ini dipimpin langsung komandan Combat Serma Moestadjab dan diikuti para anggotanya, dengan Badrun sebagai penghubung dan penunjuk teknis. Kemudian juga ada pembantu pengawas yang terdiri dari Kepala Desa Kepet Kardi, Kamituowo Rasimo, dan dua orang tokoh agama yakni Kiai Adenan dan Kiai Jakfar.

Hari rencana penyerangan tiba, pagi hari Jum’at Pon, di tangal 20 April 1949 semuanya berkumpul di rumah Kiai Adnan berbekal peralatan yang telah disiapkan. Semua membawa senjata tradisional, hanya Serma Moestadjab yang membawa pistol di samping cangkul yang dia bawa.

Kepada pasukan, Badrun sudah menerangkan bagaimana kondisi di luar dan di dalam Pos Belanda. Juga dijelaskan jam-jam kosong dimana ada jeda pasukan patroli yang biasa lalu lalang meninjau pos-pos milik Belanda. Apabila waktu penyerangan tidak tepat, aksi mereka terancam diketahui pasukan patroli dan tentu akan merepotkan mereka yang hanya bersenjatakan tradisional.

“Pagi itu Carik Badrun melaporkan kepada komandan pos pasukan Belanda bahwa sebanyak 9 orang sudah siap mengerjakan perbaikan. Tanpa menaruh curiga sedikitpun 9 kuli dipersilakan masuk pos (Belanda)” (Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe, Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe, 1985:322).

Itulah awal petaka bagi pasukan Belanda. Setelah semua pasukan pejuang masuk ke pos Belanda, mereka langsung bekerja sambil melakukan pengamatan kondisi markas dan menunggu waktu yang tepat buat melakukan serangan. Sasaran mereka adalah menyerang serdadu ketika lengah dan sedang tidak membawa senjata.

Di buku Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe digambar situasi sesaat sebelum penyerangan. Di pos itu ada lima orang serdadu. Satu serdadu berjaga di luar bersenjatakan pistol dan empat serdadu bersiap makan pagi. Carik Badrun berpura-pura memintakan makan untuk kuli-kuli yang sedang bekerja untuk memeriksa di dalam pos. Jawaban seorang pribumi yang dijadikan babu Belanda saat itu kurang lebih, “Pekerja akan diberi makan setelah para tuan-tuan (Belanda) selesai makan.”

Jawaban dari pembantu Belanda sebagai isyarat bagi pasukan yang sedang menyamar. Di bawah komando komandan Combat, mereka langsung menempatkan diri di posisi yang paling memungkinkan melakukan pertarungan jarak dekat.

“Deheman” dari komandan Combat menandakan waktu dimulainya penyerangan. Dua orang gerilyawan yakni Jatmiko dan Joyokasmidin bergerak cepat melumpuhkan satu penjaga bersenjata pistol dengan ayunan caluk, sementara gerilyawan yang lain langsung menyerbu ke ruang makan menggunakan senjata yang sama menuju empat serdadu yang sedang makan.
Caluk adalah senjata andalan pejuang kala itu. Karena mempunyai beberapa fungsi sekaligus, dan Belanda tidak mencurigainya karena lebih dikenal sebagai alat membabat kebun.

Serangan kilat itu menyebabkan tangan penjaga pos nyaris terputus karena sabetan caluk, sementara serangan di ruang makan menyebabkan satu serdadu tewas di lokasi, tiga orang mengalami luka sangat parah dan dari tiga serdadu yang mengalami luka satu orang masih berhasil meloloskan diri dan berlari ke arah pos Belanda terdekat, berada sekitar 1 kilometer di Desa Gesing.

Aksi penyerangan dilanjutkan dengan mengambil sejumlah senjata di pos itu. Beberapa senjata yang diambil adalah Barbren 2 puvuk, jungle rifle 5 pucuk,, senjata pelempar granat 1 pucuk, pistol FN 4 pucuk, granat tangan 1 peti dan 1 unit radio telepon.

Mereka melarikan senjata itu ke wilayah Desa Kowang, Kecamatan Semanding, sebelum bantuan pasukan Belanda datang. Senjata-senjata yang dibawa itu kelak akan sangat membantu perjuangan gerilyawan mengacaukan strategi Belanda untuk menguasai kota Tuban sepenuhnya.

Aksi heroik para pahlawan itu membuat serdadu Belanda berang. Terlebih ketika pasukan patroli mengetahui kondisi pos Belanda di Kepet sesaat setelah pejuang pergi meninggalkan lokasi penyerbuan.

Setelah melapor ke Tuban dan mengisi pos dengan personil baru, mereka langsung mengejar pelaku penyerangan. Karena ulah beberapa orang, Belanda mengetahui kalau penyerangan itu mendapat dukungan dari warga Kepet. Sehingga mereka langsung ke desa itu dan melakukan penangkapan kepada Kepala Desa Kardi, Kamituwo Rasimo, dan juga Kyai Jakfar.

“Mereka juga menangkap beberapa penduduk yang lain, kemudian menembaki daerah-daerah yang dicurigai menggunakan mortir,” ([Kisah diceritakan tertulis tanggal 10 November 1972 oleh dua orang pelakunya, Muh Badrun dan Joyokasmidin] Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe, 1985:324).

Sementara Serma Moestadjab bersama beberapa pemuda di Desa Kowang melanjutkan perjalanan ke kawasan Ngroto, Bektiharjo. Serdadu Belanda berhasil menangkap Joyokasmidin di kawasan Ngimbang Lamongan. Sehingga ada empat orang yang ditawan Belanda, yakni Joyo Kasmidin, Kyai Jakfar, Kepala Desa Kardi, dan kamituwo Rasimo.

Pejuang Joyokasmidin bisa meloloskan diri ketika sedang dibawa menuju ke Tuban oleh pasukan Belanda, dan Kyai Jakfar juga bisa lolos dengan selamat ketika berada di tahanan. Sementara Kepala Desa Kardi dan kamituwo Rasimo ditembak mati pasukan Belanda.

Penyerbuan Pos Belanda di Kepet masih cukup lekat di ingatan warga sekitar Dusun Kepet, Desa Tunah, Kecamatan Semanding. Penyerbuan yang hanya bermodalkan caluk dan alat pertanian. Bersambung...

Sumber:
1. (Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe, Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe, 1985

2. Kisah tertulis tanggal 10 November 1972 diceritakan oleh dua orang pelakunya, Muh Badrun dan Joyokasmidin, Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe.

3. Prasasti/catatan di monumen Kepet

Keterangan foto:
Monumen Kepet sebagai pengingat penyerbuan militer bersama warga Kepet di pinggir Jembatan Kepet, Desa Tunah, Kecamatan Semanding.