Menelaah Kembali Gerakan Sadar Literasi

Penulis: Mohammad Iqbal*

Belakangan ini banyak bermunculan gerakan-gerakan oleh sekelompok orang yang bertujuan untuk membangkitkan budaya literasi di lingkungannya. Di kota tempat penulis menempuh jenjang perkuliahan, Kota Pahlawan Surabaya, program Surabaya Kota Literasi juga dilancarkan pemerintahnya dengan dibantu mahasiswa-mahasiswi dari beberapa kampus sekitar. Secara langsung gerakan tersebut muncul untuk menyikapi sebuah fakta bahwasannya minat baca dari masyarakat Indonesia sangatlah minim. Hal tersebut penulis yakini sebab kebiasaan membaca tidak dipupuk sejak dini ditambah lagi kini teknologi juga meracuni. Sehingga idiom kutu buku kelak bisa saja menjadi kutu gadget.

Fakta jika minat baca masyarakat Indonesia ini minim dibuktikan dengan beberapa survey. Peringkat minat baca Indonesia dalam data World's Most Literate Nations berada diurutan 60 dari 61 negara. Peringkat tersebut merupakan hasil penelitian dari Central Connecticut State University tahun 2016. (JPNN). Selain itu, berdasarkan data Badan Pusat, jumlah waktu yang digunakan anak Indonesia dalam menonton televisi adalah 300 menit per hari. Jumlah ini terlalu besar dibanding anak-anak di negara tetangga, Australia, yang hanya 150 menit per hari dan di Amerika yang hanya 100 menit per hari. Sementara di Kanada 60 menit per hari. (Republika.co.id)

Sebelum membahas lebih lanjut, alangkah baiknya kita mencermati definisi dari “literasi” itu sendiri. Secara umum literasi dikatakan sebagai kegiatan membaca dan menulis. Serta menurut A. Chaedar Alwasilah dalam bukunya Rekayasa Literasi, literasi memiliki lima model yaitu: memahami, melibat, menggunakan, menganalisis dan mentransformasikan teks. Tentunya jika masyarakat Indonesia sendiri minat baca-nya sangat kurang maka lima model tersebut tidak akan terpenuhi.

Beberapa bentuk gerakan dibuat oleh komunitas agar budaya literasi di daerahnya bangkit. Di tanah kelahiran penulis, Tuban, komunitas-komunitas tersebut mulai tumbuh subur di kota yang juga mempunyai sebutan Bumi Wali ini. Beberapa komunitas diantaranya juga memanfaatkan beberapa hari penting seperti Hari Buku untuk pawai dan aksi sadar literasi. Ada yang mengatakan ingin menjadikan Tuban menjadi kota literasi. Serta yang belakangan ini juga ada komunitas yang mengadakan acara ngamen literasi yang diwartakan melalui salah satu media online setempat.

Membahas tentang budaya literasi tentu tidak mudah untuk dibangkitkan karena berkenaan dengan individu untuk meluangkan waktu dimana terkait dengan kesadaran diri. Pantas sekali jika apresiasi diberikan kepada komunitas-komunitas yang berniat mulia memperjuangkan literasi tersebut. Namun diharapkan semangat kesadaran pentingnya budaya literasi ini tidak berhenti di dalam internal komunitas itu sendiri. Serta agaknya tidak cukup dengan hanya melakukan aksi di sepanjang jalan atau pembukaan perpustakaan tetap maupun berjalan. Hingga sejauh penulis ketahui, dampak dari adanya komunitas tersebut dalam masyarakat setempat masih belum diberitakan, malahan lebih banyak pengenalan komunitas-komunitas saja yang muncul.

Di era modern ini, Corporate Social Responsibiliy (CSR) dari para penerbit buku bisa membantu pengadaan sebuah pusat baca masyarakat. Bahkan membaca kini juga bisa dilakukan lebih mudah. Buku-buku yang kita butuhkan banyak yang sudah dikonversi menjadi digital, terlebih banyak juga situs yang menyediakan secara cuma-cuma. Tantangan masyarakat dan khususnya komunitas sekarang ini adalah bagaimana membangun kesadaran akan pentingnya membaca dan menulis. Karena budaya literasi sendiri merupakan wahana untuk mencerdaskan bangsa yang bisa dilakukan oleh semua kalangan.

Membangun kesadaran bisa dilakukan dari dalam struktur sosial yang paling dasar yaitu keluarga. Seperti yang dilakukan Alwi Abdul Djalil Habibie, Ayah Presiden RI ke-3 B.J Habibie, yang lebih sering memberi sebuah buku kepada BJ. Habiebie untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanya (Biografi Rudy: Kisah Masa Muda Sang Visioner, Gina S. Noer). Namun banyak keluarga yang notabene di pelosok desa masih belum sadar, sehingga agar bisa mencapai tingkat struktur itu, komunitas bisa berkerjasama dengan pemerintah desa. Dengan itu agenda share to care bisa terlaksana. Setelah itu pengawalan oleh komunitas ini harus dilakukan supaya nantinya minat membaca dan syukur-syukur menulis ini bisa benar-benar membudaya dalam masyarakat. Sehingga perjuangan dalam meningkatkan budaya literasi ini tidak semacam seremonial serta pencarian eksistensi organisasi semata. [*]

* Penulis adalah Alumni MAIS Senori dan Sekarang sedang menyelesaikan studi S1-nya di UIN Sunan Ampel Surabaya.