Penulis : Nurul Mu’affah
blokTuban.com – Memiliki letak yang strategis, Desa Kesamben terletak di Kecamatan Plumpang, Kabupaten Tuban. Desa seluas 660 Ha ini dihuni oleh penduduk sebanyak kurang lebih 5.310 jiwa dengan mayoritas penduduk bermatapencarian sebagai petani. Desa Kesamben ini juga terkenal sebagai penghasil jagung karena di desa ini hasil tani yang paling banyak berupa padi dan jagung.
Menurut keterangan Joko Lulus, Kasi Pemerintahan Desa Kesamben, penamaan Desa Kesamben berasal dari cerita zaman dahulu, di mana dahulu terdapat sebuah desa terpencil yang terletak di sebelah selatan gunung Lai.
“Pada suatu ketika gunung Lai meletus, lahar dari letusan gunung tersebut mengenai desa tersebut, sehinga seluruh warga berbondong-bondong menyelamatkan diri ke arah tenggara dan ke arah timur menuju hutan," paparnya kepada blokTuban.com, Selasa (19/9/2023).
Karena dahulu di wilayah ini banyak tumbuh pohon kesambi dan menjadi pemukiman warga, maka akhirnya desa tersebut dinamakan Desa Kesamben sampai saat ini.
Di desa ini juga terkenal akan Kisah Mbah Buyut Santri, seorang penyebar agama Islam di Desa Kesamben, Kecamatan Plumpang. Mbah Buyut Santri merupakan tokoh ulama penyebar agama Islam pada masa Kerajaan Mataram yang berasal dari Desa Muntilan, Jawa Tengah. Oleh karena perjuangan dakwahnya, banyak penduduk yang memeluk agama Islam.
Desa itu berkembang meluas menjadi desa yang sejahtera. Namun pada suatu hari, penduduk yang semula Sejahtera kemudian diserang wabah atau penyakit yang dinamakan “Sogok Petek Silit Mancur” atau dikenal dengan istilah muntaber, di mana orang yang terkena wabah tersebut badannya akan terasa panas dan malam harinya meninggal.
"Karena meluasnya wabah tersebut, Mbah Buyut Santri mengutus Cokriyo, seorang pande besi untuk pergi ke Blitar guna mencari tumbal untuk mengatasi wabah tersebut," bebernya.
Sepulang dari Kota Blitar, dibawalah dua pusaka atau tumbal berupa trepan dan watusoko tersebut. Di mana trep yang berarti mancep atau tertanam, dan kata pan artinya mapan, yang bertujuan siapapun yang menghuni wilayah Desa Kesamben akan hidup mapan sejahtera.
Sedangkan Watusoko berasal dari kata “watu” berarti batu dan “soko” berarti cagak/tiang dengan tujuan agar banjir lahar tidak dapat masuk lagi ke Desa kesamben. Kedua pusaka Treppan dan Watusoko ditanam di dua tempat yang berbeda satu di tengah-tengah desa (Treppan) dan satu di pinggir desa (Watusoko) dan wabah pun hilang.
Setelah bencana itu teratasi keadaan penduduk kembali seperti semula. Kemudian Begede Buyut Santri di bantu para santri dan juga masyarakat berencana membangun sebuah masjid dengan mengumpulkan batu-batu putih.
Akan tetapi sebelum masjid itu selesai di bangun Begede Buyut Santri meninggal dunia. Bekas tempat yang semula direncanakan untuk mendirikan masjid dinamakan “semigit” padahal yang benar nama tersebut adalah “mesijid” yang lokasinya di timur desa Kesamben.
Sedangkan makam beliau berada di pinggir desa sebelah timur yang sering disebut oleh warga Kesamben dengan sebutan “cungkup".
Desa Kesamben ini di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Ngino, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Prambonwetan, sebelah Timur dengan Desa Kepohagung, dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Trutup.
Adapun mengenai makanan khas daerah yang banyak ditemukan di desa ini yaitu dumbeg. Dumbeg merupakan jajanan tradisional yang terbuat dari tepung beras dicampur dengan santan, dan gula merah, dan dibungkus dengan daun lontar dari pohon siwalan. Jajanan tradisional ini dapat dijumpai di pasar tradisional dan di perayaan tertentu.[Fah/Dwi]
*Penulis merupakan mahasiswa aktif Universitas Trunojoyo Madura (UTM) yang magang di media blokTuban.com.
Temukan konten blokTuban.com menarik lainnya di GOOGLE NEWS