IAINU Tuban Gelar Seminar Nasional Mengupas Sejarah Salawat Badar

Reporter : Sri Wiyono

blokTuban.com  - Salawat Badar yang banyak dikenal oleh masyarakat muslim, bukan hanya di Indonesia, namun di seluruh dunia, ternyata lahir di tengah situasi politik di Indonesia yang sedang memanas. Syair-syair dalam salawat tersebut menjadi jawaban atas keresahan masyarakat saat itu. Dan, bagaimana seharusnya sebuah tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan serta politik berjalan.

Hal itu terungkap dalam seminar nasional dengan thema : ‘Shalawat Badar dan Gerakan Spiritual Kebangsaan Jelang Krisis Politik 1965’ yang digelar di kampus Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Tuban, JawaTimur, Minggu (20/7/2025).

Seminar ini dalam rangkaian haul ke-55 KH Ali Mansur Sidiq yang merupakan penggubah atau penulis Salawa Badar yang makamnya ada di Kabupaten Tuban. Kegiatan itu merupakan kerja bareng IAINU Tuban, TV9, Lesbumi PWNU Jawa Timur dan PCNU Tuban.

Seminar tersebut menghadirkan narasumber dari Jakarta, Prof. Dr. Agus Mulyana, M.Hum, Direktur Sejarah dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, dengan materi Kajian Kebijakan Sejarah dan Kebangsaan. Materi Kajian Puisi Keagamaan dan Politik yang disampaikan oleh RM Imam Abdillah penulis buku Studi Shalawat Badar dan Politik NU Masa Orde Lama.

Selain itu, hadir pula narasumber lain Saiful Islam Ali yang merupakan putra bungsu dan penulis biografi KH. Ali Manshur Sidiq dengan materi Kajian Spiritual dan Proses Penciptaan. Sedangkan narasumber terakhir dengan materi Kajian Sejarah dan Sosial Politik disampaikan Riadi Ngasiran, sejarawan NU dan Ketua Lesbumi PWNU Jatim.

Seminar selama 2 jam ini dipandu oleh moderator Jauharotina Alfadhilah, Lc., M.Ag dosen IAINU Tuban. Seminar diikuti kurang lebih 60 peserta dari berbagai stakeholder yang ada di wilayah Kabupaten Tuban.

Imam Abdillah dalam materinya di antaranya menyampaikan tragedi 1965 merupakan rapor merah bagi Indionesia setelah 20 tahun berjuang untuk merdeka. Satu sisi tragedi itu menjadi noda hitam yang tak terhapus, karena di sana untuk pertama kali ada pertikaian saudara.

‘’Tapi juga membuka tabir bahwa NU tidak pernah meninggalkan negara ketika negara sedang terluka, NU yang siap berjuang dan siap mengorbankan jiwa, raga, harta bahkan nyawa ketika kedaulatan bangsa sedang terancam,’’ ujarnya.

Syair salawat badar katanya, sangat dikenal bahkan populer di luar negeri. Karena itu, dia berharap menjadi inspirasi untuk mahasiswa terlebih yang suka sejarah untuk kembali pada teks atau karya-karya ulama nusantara.

‘’Sudah saatnya kita eksplor dan ekspor naskah-naskah kaya ulama kita ke internasional dan dunia,’’ tambahnya.

Imam Abdillah menceritakan kisah bagaimana populernya Salawat Badar. Dia bercerita saat ibadah haji dia menemukan ada jamaah dari India yang menyanyikan Salawat Badar saat jamarot. Kemudian ada ajang festival internasional  di Timur Tengah yang lagu pembukanya adalah Salawat Badar.

‘’Saya yakin mereka tidak tahu siapa penciptanya dan apa pimikiran penciptanya saat syair ini lahir,’’ urainya.

Syair Salawat Badar itu lahir pada puncak konflik politik di Indonesia dengan adanya Dektrit Presiden 1959. Kaum islam marah karena Masyumi dibubarkan. Kondisi sosial politik melahirkan keprihatinan yang luar biasa. Kiai Manshur dalam perenungannya tidak ingin terjadi pertumpahan darah  di antara umat islam.

‘’Karena itu syairnya ada salimil ummah, jadi untuk seluruh umat. Kiai Ali Manshur menggunakan syair illahi, ada jiwa sufi di dalam hatinya, karena kata ilahi biasa digunakan para penyair sufi seperti Rabiah al Adawiyah, Abu Nuwas dan lainnya,’’ katanya.

Sementara Syaiful Islam menceritakan Kiai Ali Manshur itu juga nasionalis, sarkub atau suka ziarah dan necis pakaiannya. Juga sebagai pegawai negeri dan juga politisi, yang mirip dengan  pemikiran KH Wahab Hasbullah.

‘’Bahkan pernah dituding sebagai PKI songkokan, dan lainnya,’’ ujarnya.

Kia Ali Manshur disebutnya suka menulis. Sehingga banyak buku dan catatan yang ditulis.  Selain itu, juga gemar membaca salawat.

Sedangkan Riadi Ngasiran banyak menggambarkan situasi politik menjelang 1965. Di antaranyta adalah Indonesia ikut terimbas perang dingin Eropa. Kondisi saat itu harus juga diantisipasi kaum santri. Pada tahun 1955 ada kekuatan yang punya peran, di antaranya islam yang nasionalistis diwakili NU, sosialisme PKI, juga ada PNI, ada juga Masyumi yang kenceng.

“Efek perang dingin menimbulkan ketegangan. Namun saat itu ketegangan produkitf dengan produk-produk kultural yang itu menjadikan suasana produktif dan positif. ada parikan, pantun, saat itu jaman poyok-poyokan. Kalau sekarang jaman lebih menggila,  jaman hujatan dan caci maki,’’ terangnya.

Maka saat itu  yang komunis PKI moyoki orang islam, PNI moyoki NU dan lain. Menurut Riadi, misalnya lagu  genjer-genjer dianggap sebagai identitas PKI. Ada yang menyebut sebagai lagu rakyat yang dtulis M.Arif pada 1950an. Awalnya lagu ini dinyanyikan dalam sebuah acara besar yang kemudian viral.

‘’Tapi dampak politiknya menjadikan lagu itu terkenal, lalu seolah menjadi identitas PKI, penyanyi-penyanyi berbondong-bondong menyanyikan lagu itu,’’ ungkapnya.

Dalam welcome speechnya Rektor IAINU Tuban Prof, Dr. Syamsul Huda M.Fil.I mengajak untuk merefleksikan kembali ajaran-ajaran ulama nusantara. Para kiai, disebutnya bukan hanya sekedar berfungsi taklim atau mengajar, namun ada unsur muharrik atau pengegrak,  serta mujadid atau pemikir.

Kiai dan ulama menjadi bagian penting pada perubaan-perubaan kebangsaan. Hal ini pantas dan harus terus kita wacanakan di saat negeri ini banyak melupakan peran-peran ulama dan santri pada kebangsaan, bukan hanya pada aspek keagamaan.

‘’Selama ini santri dan ulama NU banyak mengambil peran-peran tradisional sehingga kesannya tidak panya kontribusi pada negara. Di sinilah kita perlu meneriakkan ulang, negara yang besar itu berpijak pada nilai-nilai sejarah dan tokoh-tokoh yang mendirikan,’’ jelasnya.

Prof Syamsul mengajak untuk mencoba melihat kembali bagaimana peran yang diambil oleh KH Ali Manshur. Ia mengategorikan Kiai Mansur sebagai insan kamil yakni  multi talenta. Menurutnya, banyak kemampuan dari para kiai yang akirnya membawa dampak pada bentuk negara dan bargaining NU dalam negara ini.

Pada tahun 1965 disebutnya ada transisi dan dikotomi kekuatan kelompok nasionalis dan kelompok islamisme, KH Ali Manshur mengambil posisi tengah, antara nasionalisme dan islamisme. Nasioanlitas dan religiusitas tak bisa dipisahkan, negara tanpa relegiusitas menunjukkan kegagalan-kegagalan.

‘’Alhamdulillah saat ini negara kita seimbang antara negara dan agama, karena sekarang ada upaya yang mencoba, dari kelompok islamisisme ingin kembali menjadikan islam sebagai syariat pada wilayah kebangsaan dengan menafikan budaya dan keragaman,’’ tuturnya.

Sementara nasiolisme dengan kekuasaan politiknya juga mengambil peran. Mulai kita rasakan politik saat ini sebagai panglima. Bahwa seolah-olah tanpa politik tidak ada sesuatu usaha atau mimpi itu terwujud. Dan Kiai Ali Manshur menawarkan konsep dan itu dianut oleh NU dan NU juga mengikuti pandangan para muassis. Dan muassis mengambil pandangan pada misi-misi kenabian, yang tidak hanya agama tapi juga sosial dan siasah atau politik.

Kiai Ali melihat pada tahun 1959 sampai 1961 Indonesia mengalami perang ideologi. Ada nasionalisme, islamisme ada nasakom. Kelompok komunis ingin mendompleng padahal sudah ada titik temu antara nasionalisme dan islamisme, masuk melalui pemikiran komunis sosialis, maka terjadi pertarungan politik.

Dan NU menjadi musuh kelompok komunis melalui PKI, dan kelompok religiusitas. Kelompok radikalis mencoba menabrakkan tradisionalis dengan modernisme. Maka sampai di bawah terjadi kelompok yang memakai  pendekatan budaya maka sastra dan puisi. Dan bagaimana , bagaimana Gerwani menyanyikan lagu genjer-genjer.

Maka Kiai Ali Manshur muncul dengan kaidah-kaidah syair. Karena syair menjadi bagian penting dalam kehidupan pesantren. Pada jaman jahiliah syair ini juga punya peran penting. Dengan syair yang semula tidak berani menjadi berani, yang lemah menjadi kuat, maka komunis juga menggunakan pendekatan budaya dan syair.

‘’Kiai Ali menawarkan pendekatan lain dengan budaya, mengambil peran dengan Salawat Badar,’’ urai pria kelahiran Bojonegoro ini.

Kalau melihat isi syair Salawat Badar menurutnya, pertama mengandung makna tarbiyah, makna pendidikan. Bagaimana pendidikan itu tambah dan tumbuh,  memroses akhlak keimanan juga berkembang pada proses intelektual dan memelihara terhadap nilai-nilai lokalitas.

‘’Saya juga berpesan pada teman-teman di IAINU,  ada pemikiran dari Abid al Jabiri jika ingin membangun peradaban maka kita tidak boleh meninggalkan bayani, literatur teks itu menjadi bagian penting untuk membangun inteletualitas,’’ sebutnya.

Lalu ada  irfani, yakni meskipun otak kita diperas untuk memikirkan suatu hal tapi batin kita, ketenangan kita juga harus diperhatikan karena menjadi pengendali. Irfani bentuknya bisa tarekat atau pemikiran-pemikiran yang mencerahkan.

Terakhir adalah burhani, yakni demonstratif sesuatu yang menemukan. ini penting untuk pendidikan saat ini, bahwa harus ada kreatifitas dan inovasi-inovasi untuk kemajuan pendidikan.

‘’Saya menambahkan bilkasbi, dengan usaha yang keras itu juga menjadi bagian untuk perubahan-perubahan. Semoga dalam diskusi hari ini kita menemukan pandangan baru dari  pemikiran Kiai Ali untuk menghadapi perubahan dan perkembanan di negeri ini,’’ harapnya.