Penulis: Ahmad Nawaf Timyati Fandawan
blokTuban.com - Desa Grabagan merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Grabagan, Kabupaten Tuban. Desa yang memiliki luas kurang lebih 12.012 hektare, memiliki jumlah penduduk sekitar 11 ribu jiwa.
Desa ini juga berbatasan langsung dengan Desa Banyubang disebelah Barat, Desa Gesikan sebelah Utara, Kecamatan Rengel sebelah Selatan, dan Desa Ngandong di sebelah Timur.
Tokoh desa setempat, Sarwani menjelaskan jika Desa Grabagan memiliki cerita yang cukup panjang. Dimana, pada zaman VOC tahun 516 Masehi terdapat seorang yang bernama Abdul Subakir yang berasal dari kerajaan Majapahit. Kala itu ia datang ke Tuban untuk menemui Sunan Bonang serta Sunan Kalijogo.
Setelah berada di Kabupaten Tuban kurang lebih 5 bulan, ia kemudian bertemu dengan Sunan Bejagung yang memiliki anak angkat dari Kerajaan Cempo (Campa) Negeri Cina Tiongkok, yang dia beri nama Cilawi. Pada saat menginjak usia 17 tahun, Cilawi dinikahkan dengan Abdul Subakir (Singo Grabak) tersebut.
Setelah kurang lebih enam bulan, Abdul Subakir meminta izin ke Sunan Bejagung untuk berkelana di daerah Tuban, dan tiba di Daerah yang bernama Blalak Bluluk yang kini dikenal dengan Desa Grabagan. Saat itu Abdul Subakir memiliki keinginan untuk tinggal di sana, sehingga membuat tempat di Blalak Bluluk dan babat alas, serta membuat sebuah dusun.
Setelah bertempat tinggal di dusun di daerah Blalak Bluluk, kurang lebih selama 8 tahun, istri Abdul Subakir melahirkan seorang putri yang kemudian diberi nama Srikaton.
Makam tokoh syiar agama Islam di Desa Grabagan Tuban. (Foto: Ahmad Nawaf Timyati Fandawan/ bloktuban)
"12 tahun kemudian lahir anak kedua seorang putra yang diberi nama Muhammad Kanafi, dan 16 tahun kemudian lahirlah seorang putri yang bernama Siti Manab," ujarnya, Jumat (8/9/2022).
Disamping itu, disaat bersamaan di Kota Baghdad ada orang bernama Syekh Jamaludin, yang merupakan keturunan Ke - 11 dari Syekh Abdul Qodir Jailani dan mempunyai seorang anak bernama Syekh Abdussomad yang lahir pada tanggal 3 Maret 1607 M.
Pada saat Syekh Abdussomad tersebut berusia 22 tahun, ia berkelana ke luar negeri dan mendarat di Banten, tepatnya Tahun 1629 Masehi. Namun diwaktu yang bersamaan, ditempat tersebut terjadi peperangan antara VOC dan Sultan Agung dari Mataram yang berhasil merusak benteng tawanan VOC.
Pada saat peperangan tersebut terjadi, Abdussomad bertemu Tawanan VOC yang ternyata seorang Prajurit Mataram bernama Siminluwe. Kemudian Siminluwe dan Syekh Abdussomad ditangkap lagi oleh VOC dan ditawan di Batavia.
Sehingga terjadilah peperangan ke dua kali yang dipimpin oleh Sultan Agung, dan akhirnya benteng VOC pun rusak. Alhasil Syekh Abdussomad dan Siminluwe berhasil kabur dan meneruskan perjalanannya ke arah Timur dan menetap di Glagah Wangi.
Setelah kurang lebih tiga tahun di tempat tersebut, Syekh Abdussomad dan Siminluwe melanjutkan perjalanannya ke Kabupaten Tuban dan beristirahat sembari sholat di masjid Bonang Tuban. Namun setelah melakukan ibadah sholat, Syekh Abdussomad dan Siminluwe bertemu dengan Juru Taman Masjid Bejagung bernama Abirawit, yang meminta mereka untuk bertemu dengan Sunan Bejagung.
Tak berselang lama, Syekh Abdussomad dan Siminlawe bertemu dengan Sunan Bejagung. Setelah tinggal di sana selama kurang lebih 5 bulan, mereka berkeinginan untuk berkelana ke Daerah Tuban. Sehingga Sunan Bejagung mengutus mereka untuk pergi ke Blalak Bluluk dan diajak untuk babat alas di sekitar tempat itu.
Setelah babat alas, kemudian Syekh Abdussomad dan Siminluwe membuat tanah persawahan dan diberi nama Grenggeng yang ditujukan kepada penguasa atau pemimpin yang ada di wilayah Blalak Bluluk tersebut. Selain itu, ia juga membuat sebuah dusun dan membentuk perangkat dusun.
Setelah beberapa tahun menetap di wilayah itu, Syekh Abdussomad dinikahkan oleh putri dari Syekh Abdul Subakir yang ketiga, bernama Siti Manab tepat di tahun 1636 Masehi. Sembari menyiarkan agama islam di desa ini, tidak lama kemudian Syekh Abdul Subakir yang merupakan mertua dari Syekh Abdussomad meninggal karena hanyut di sungai pada saat perjalanan pulang dari sawah.
Dari peristiwa hanyutnya Syekh Abdul Subakir di sungai tersebut, akhirnya daerah Blalak Bluluk dinanaman Desa Grabagan, yang diambil dari kata Kegrabak Tuyo atau Hanyut terseret air.
“Mbah Abdul Subakir perjalanan pulang dari sawah mau pulang ini melewati sungai, Kegrabak iki kenter, kerut, hanyut. Pada waktu itu istilahnya Kegrabak Toyo (Hanyut oleh air) sehingga menyebabkan menjadi kematiannya. Blalak Bluluk kemudian diberi nama Grabagan,” jelasnya.
Saat itu, Kepala Desa atau Lurah pertama Desa Grabagan yakni bernama Ki Rodongso Tembok atau Muhammad Kanafi yang merupakan Anak ke 2 dari Syekh Abdul Subakir
Tradisi Desa Grabagan
Lebih lanjut, pelestarian budaya yang ada di Desa Grabagan yang masih dilakukan hingga saat ini ialah tradisi sedekah bumi. Kegiatan ini dilakukan setahun sekali tepatnya di Sendang Pancuran di hari Rabu Pon, di Sendang Bledruk Senin Wage, dan di Makam Dawung dilakukan setiap Jumat Pon.
Sementara di makan Syekh Abdul Subakir dan Syekh Abdussomad sendiri, dilakukan setiap tanggal 17 Bulan Maulud, yang disesuaikan dengan meninggalnya syekh Abdussomad pada tahun hijriah.
Lokasi Sendang Pancur di Desa Grabagan Tuban. (Foto: Ahmad Nawaf Timyati Fandawan/ bloktuban)
"Sedekah bumi juga dilakukan di Candi, tiap semua perayaaan tersebut dilakukan setahun sekali," katanya.
Mengenai kepercayaan warga Desa Grabagan ini tidak diperbolehkan untuk membuat hajatan pada hari Jumat Pahing. Hal ini merupakan salah satu wasiat dari Syekh Abdussomad
Sedangkan mengenai sektor perekonomian Desa Grabagan, lanjut Sarwani, mayoritas berprofesi sebagai petani. Mmaka tak heran dalam produk unggulannya Desa Grabagan mempunyai makanan UMKM yaitu Nasi Jagung instan yang berada di Dusun Dawung.[Mad/Dwi]
*Penulis merupakan mahasiswa aktif Universitas Trunojoyo Madura (UTM) yang magang di media blokTuban.com.
Temukan konten blokTuban.com menarik lainnya di GOOGLE NEWS