Pantangan Makan Bulus dan Poligami Bagi Keturunan Syayyid Ahmad Thaha Desa Punggulrejo

Reporter : Muhammad Nurkholis

blokTuban.com - Persebaran wali di Tuban sanggatlah menarik untuk dibahas keunikannya dalam berdakwah. Salah satunyanya sosok Syayyid Ahmad Thaha atau dikenal Mbah Towiso.

Cerita yang diyakini warga setempat, bahwa Mbah Towiso merupakan alim ulama yang berdakwah mensyirkan agama Islam di Dusun Beron, Desa Punggulrejo, Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban. Makamnya terletak di depan MTS Negeri 2 Tuban. 

Untuk mengetahui perjalanan dari mbah Towiso blokTuban. Com mencoba menemui salah satu keturunan dari mbah Towiso yaitu mbah Sarju (80). Menurut Mbah sarju untuk sejarah detailnya beliau tidak mengetahui tetapi yang jelas Mbah Towiso ke Tuban untuk mensyiarkan agama Islam.

Dalam perjalanan syiarnya Mbah Towiso mendapat pesaing yaitu Keboglondor. Keboglondor dan mbah Towiso kemudian saling berselisih, yang akhirnya menyebabkan makam Mbah Towiso mencil jauh atau menepi dari desa karena Mbah Towiso menolak untuk dimakamkan dekat dengan Keboglondor. 

Perselisihan tersebut konon dikarenakan perbedaan pemahaman ajaran dan kepercayaan dari kedua orang hebat tersebut. 

“Saya ditemui lewat mimpi Mbah Towiso nama aslinya Ahmad Thaha dan katanya bukaan dari Bejagung tetapi dari Pangandaran, Jawa Tengah dan mulai saat itu para warga mulai memanggil dengan nama Ahmad Thaha,” Ucap Mbah Sarju kepada blokTuban.com, Rabu (20/4/2022).

Lanjut Mbah Sarju, menjelaskan mbah Towiso pernah membuat sumur di Beron, akan tetapi usahanya itu tidak dapat mengeluarkan air. Pesan Mbah Towiso yang masih di pegang oleh keturunannya sampai sekarang yaitu dilarang makan bulus dan juga poligami untuk akibatnya memang tidak di sebutkan tetapi semua itu pasti ada hikmahnya. 

Dengan larangan itu, Mbah Sarju berspekulasi bahwa jika bulus saja tidak boleh apalagi babi, anjing, biawak. Sedangkan poligami menurutnya bukan perbuatan yang dianjurkan.

Diceritakan pula, dulunya di makam mbah Towiso pernah diadakan haul tetapi karena berkembangnya pemikiran dan pemahaman orang desa maka acara haul sekarang dihilangkan. Kendati demikian, dalam hari-hari tertentu cuma dari garis keturunan Mbah Towiso yang datang ke makam bersama untuk tahlil dan kirim doa. 

Sedangkan hingga sekarang peziarah dari luar desa, Mbah Sarju kurang mengetahui apakah banyak yang datang atau tidak disebabkan faktor jauhnya jarak antara makam dan rumahnya. Ditambah usia Mbah Sarju yang sudah usia 80tahun. [Nur/Ali]