Mendadak Puitis dan Indonesia Bubar 2030

Oleh Sri Wiyono

‘’Yah, puisi Bu Sukmawati yang ramai di medsos itu di acara apa to?’’ tanya istriku.

‘’O itu, di acara pagelaran busana milik Anne Avantie,’’ jawabku.

‘’Puisinya apa seperti yang diunggah di medsos itu? Kejarnya

‘’Di antaranya iya. Untuk apa to puisi saja kok diributkan,’’ jawabku, kebetulan aku sudah melihat videonya, di mana putri Bung Karno itu membaca puisi. Dia berdandan ala perempuan Jawa, berkain kebaya dan rambut disanggul.

‘’Kata-katanya itu lo, kok ada yang tidak pas. Mestinya tidak seperti itu. Sudah menyinggung itu,’’ istriku mulai protes.

‘’Puisi adalah barisan kata-kata yang mengandung banyak intepretasi. Terserah orang mau menafsirkan apa. Itu seni kok, permainan kata-kata kok. Buat apa mendadak orang menjadi ribut,’’ aku berusaha untuk memberikan pandanganku atas puisi tersebut.

‘’Tidak bisa. Mestinya kata-katanya itu ditata. Tidak menyinggung seperti itu,’’ protes istriku. Kali ini lebih keras.

Wah bahaya ini. Kalau kami berbantah terus, bisa berdampak sistemik ini. Berbantah dengan ‘ibu negara’? Ah, aku lebih baik diam. Akibatnya bisa sistematis, massif dan terstruktur kalau ‘ibu negara’ rumah tanggaku nanti protes sangat keras.

Aku mengalah saja dech. Namun diam-diam aku nggerundel dalam hati, karena masih tidak sependapat dengan cara pandangnya. Juga penafsiran sebagian orang atas puisi itu. Karena itu, saya harus mencari pelampiasan. Maka jadilah saya menulis ini hahaha....semoga ‘ibu negara’ tidak membaca tulisan ini.

Sumpah aku geli setengah mati melihat perkembangan akhir-akhir ini. Banyak orang begitu sensitifnya. Sampai-sampai sebuah puisi pun dimaknai begitu megahnya. Ditafsirkan menurut cara pandang dan persepsinya sendiri.

Lucunya, penafsiran dan cara pandang yang diambil itu, seolah mau dipaksakan pada orang lain. Agar orang lain sependapat dengan dia. Mempunya intepretasi yang sama dengan dia. Kemudian ramai-ramai ikut menghujat pembaca puisinya. Waduhh...kok parah gini ya negeriku.

Lalu, mendadak banyak orang menjadi puitis. Di medsos bertebaran puisi diunggah untuk membalas atau mengomentari puisi yang dibaca Sukmawati. Bahkan, ada yang memvideokan puisinya lalu mengunggahnya. Luar biasa.

Negeri ini mendadak penuh puisi. Chairil Anwar, salah satu sastrawan negeri ini yang puisi-puisinya penuh semangat bertepuk tangan di alam sana.

‘’Lihatlah, negeri ini sekarang mempunyai selera sastra yang bagus. Setelah karya-karya pop, mendadak menyukai puisi,’’ ucapnya.

Mestinya puisi tidak ditafsirkan dangkal seperti itu. Deretan kata dalam puisi tidak bisa ditelan mentah-mentah begitu saja. Barisan kata-kata itu sarat makna, simbolik, dan terkadang melenceng sangat jauh maknanya.

Pendekatannya juga dengan pendekatan sastra, yang terkadang liar arahnya. Deretan kata-kata disusun terkadang untuk memperindah irama. Mesti tak jarang puisi itu disusun dengan bahasa yang lugas, bahkan jorok sekalipun.

Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.

Itu adalah penggalan Sajak Orang Miskin, karya WS Rendra. Penafsirannya bisa macam-macam kan? Bahasanya juga lugas.

Saya bukan mau membela Sukmawati, toh dia juga tidak kenal saya. Tak bela pun dia juga belum tentu butuh pembelaan hehehe.

Hanya, mbok yao hidup itu tidak kaku seperti itu. Ada banyak sisi yang harus diperhatikan ketika menilai sesuatu. Tidak anut grubyuk atas sesuatu yang kadang belum difahami. Ketika sedang musim menghujat, ramai-ramai ikut menghujat. Wahh...

Seperti pada malam itu:

‘’Lagi mantengi apa itu,’’ ucap seorang laki-laki tambun yang mendadak berada di samping saya.

Laki-laki itu bersarung memakai hem lengan pendek batik dan berkopiah rotan khas Gorontalo. Saya yang semula tiduran langsung bangkit, duduk. Lalu bersila di atas karpet merah yang gelar di lantai teras.

‘’Dari mana Gus, malam-malam begini,’’ ucapku setelah salaman dan mencium tangannya.

Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba saja pria yang akrab disapa Gus Dur itu mampir ke rumah saya. Ya, dia adalah KH Abdurrahman Wahid presiden keempat republik ini.

Saya jadi gelagapan. Pria ini adalah salah satu tokoh yang saya kagumi. Saya bangkit lalu mengambil kursi plastik pink, milik anak saya. Kursi itu, satu paket dengan meja belajar dengan warna yang sama.

Gus Dur saya persilakan duduk. Sedang saya tetap bersila di atas karpet. Malam itu, cuaca cerah. Langit terang dengan sinar rembulan tanggal 15 Rajab. Oh ya, halaman rumah saya memang langsung beratap langit.

Saya sering klekaran di halaman jika malam. Tertidur atau sengaja tidur di halaman seperti itu juga tak terhitung lagi. Sama seperti saat Gus Dur datang malam itu. Saya sedang tengkurap.

Dua siku saya bertumpu pada bantal. Satu tangan memegang handphone. Kebetulan saya sedang melihat video pembacaan puisi Sukmawati.

‘’Lha iya, orang-orang itu kok semakin aneh. Puisi saja kok diributkan. Kayak tidak ada kerjaan lain saja,’’ kata Gus Dur tiba-tiba.

Aku senang. Setidaknya pandangan saya sejalan dengan penilaian Gus Dur hehehe...

‘’Lha harusnya bagaimana Gus,’’ tanyaku

‘’Ya nggak gimana-gimana. Biar saja orang membaca puisi, menulis puisi. Sastra kok diributkan. Masih banyak hal-hal lain yang lebih penting untuk ditangani,’’ katanya.

‘’Katanya puisi itu menyinggung sebagian orang’’

‘’Menyinggung apanya? Kok peka sekali mereka, sedikit-sedikit tersinggung. Puisi itukan bagian dan ekspresi diri. Orang bebas menyuarakan isi hatinya, pendapatnya atau hal-hal lain yang perlu disampaikan,’’ terangnya.

‘’Tapi, tetap tidak boleh menyinggung kan Gus?’’ kejar saya.

‘’Silakan yang mau tersinggung. Tapi, jangan lantas mengajak-ngajak yang lain dong. Jangan seolah-olah puisi tersebut harus begini-begini. Ya tidak bisa dong. Kita bebas berekspresi koq,’’

‘’Katanya puisi itu menista agama?’’

‘’Apanya yang menista. Agama tidak akan berkurang kemegahannya hanya karena sebuah puisi. Tuhan tidak akan berkurang ke Agungannya hanya karena deretan kata-kata itu. Tuhan tidak perlu dibela. Membela agama saya pikir juga tidak seperti itu caranya,’’

Aku ingin menyela, namun keduluan ....

‘’Orang sekarang terlalu bersemangat. Terlalu reaktif. Saat ini, semangat keagamaan banyak orang sangat tinggi. Sedikit-sedikit segala sesuatu dilarikan ke agama. Namun sayang pemahamannya kurang dalam terhadap agama.

Pemahaman yang dangkal itu membuat semangat mereka tidak imbang. Karena saking semangatnya kadang kebablasan. Banyak orang lebih mementingkan wadah, atau casing, daripada isi.

Lebih mementingkan simbol-simbol daripada esensi. Benar yang dikatakan Cak Nun (Emha Ainun Najib). Banyak yang tidak bisa membedakan antara manis dan gula. Padahal dua hal itu berbeda. Kalau gula pasti manis, tapi kalau manis belum tentu gula. Bisa madu atau lainnya.


Terkadang dalam beragama banyak orang juga begitu. Banyak yang belum bisa membedakan antara Islam dan Arab. Kalau di Arab sana pasti Islam yang banyak. Namun, kalau Islam belum tentu Arab.

Ada islamnya Maroko, Arab Saudi, Sudan dan lainnya. Termasuk Islam Nusantara di Indonesia ini. Mestinya masyarakat bisa membedakan itu, sehingga tidak dangkal cara berfikirnya,’’ urainya panjang lebar.

Saya mantuk-mantuk, karena sedikit ngantuk. Namun, saya berusaha menyimak kuliah tingkat tinggi itu.

‘’Oh ya Gus, ada yang bilang Indonesia akan bubar 2030,’’ tanyaku mengalihkan bahasan. Bosan kalau bahas puisi itu terus.

‘’Kenapa menunggu 2030, sebelum itu Indonesia bisa bubar,’’ katanya tegas.

Sontak saya kaget. Kantuk tiba-tiba hilang, saya dredeg gak karuan. Tiba-tiba saja semilir angin malam itu menjadi sumuk. Saya benarkan posisi bersila saya. Saya ambil nafas panjang, lalu melempar tanya lagi.

‘’Loh, apa benar Gus. Lalu bagaimana menjaganya agar tidak bubar?

‘’Benar. Dan pasti akan bubar jika tidak dijaga dengan baik. Cara menjaganya ya dengan menjaga kesatuan. Menghindari perpecahan. Jangan saling gontok-gontokan terus. Negara ini dibangun atas dasar perbedaan. Jangan dijadikan perbedaan itu pemicu perpecahan.’’

‘’Maksudnya? ‘’ Tanya saya masih tak mengerti.

‘’Semua harus kembali sadar dan memahami bahwa negara yang besar ini harus dijaga bersama-sama. Perselisihan, perbedaan pendapat dan segala pertentangan yang tidak produktif itu harus segera diakhiri.

Jangan lagi mengedepankan simbol-simbol, namun melupakan esensi. Kalau terus gaduh dengan hal-hal sepele, ya benar-benar akan pecah Indonesia ini. Mestinya melihat sejarah, bagaimana bangsa Indonesia dulu membangun negaranya.

Semua bersatu, suku-suku melebur menjadi satu atasnama Indonesia. Ingat Sumpah Pemuda tidak? Yang beragama juga gitu. Bagaimana saling menghormati dan menghargai. Jaga hubungan antaragama, antarsuku, antargolongan dan tidak mudah terpecah belah,’’ tuturnya.

‘’Lalu?’ kejar saya

‘’Bangsa ini sudah punya perangkat dan modal untuk kuat. Bangsa ini punya segalanya untuk menjaga diri agar tetap utuh dan menjadi besar. Semua sudah ada. Dan, bangsa ini tahu apa yang harus dilakukan. Hanya, mau atau tidak. Punya komitmen ke sana atau tidak. Ingin tetap utuh atau tidak,’’ katanya berteka-teki.

‘’Sudah saya pergi dulu. Mau ke Medalem,’’ pamitnya sambil beranjak dari duduknya. Sekali lagi saya salaman dan mencium tangannya.

Oh ya, Medalem adalah salah satu kampung di Kecamatan Senori, Tuban. Di sana ada makam yang diyakini sebagai makam Sunan Kalijaga. Gus Dur sering berkunjung ke sana. Bahkan, dulu Gus Dur lah yang memperkenalkan makam itu.

Versi Gus Dur, bagi Sunan Kalijaga Medalem itu ibarat rumahnya. Sedangkan di Kadilangu, Demak, Jawa Tengah adalah kantornya. Wallahu a’lam.

Saya kembali merenung. Ada banyak tanya atas penjelasan Gus Dur itu...

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Ha..ha..ha...tiba-tiba Chairil Anwar membaca penggalan puisi ‘Aku’ nya keras sekali.

apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!

Wiji Thukul yang sekarang entah di mana tak mau kalah. Tiba-tiba membaca bagian akhir puisinya yang membuat gerah penguasa tempo dulu itu.

Aku merinding. Tubuhku bergoncang-goncang menggigil atas semuanya. Penjelasan Gus Dur dan munculnya puisi-puisi itu. Lalu kudengar kata-kata:

‘’Yah...yah pindah ke dalam, dingin. Gerimis ini,’’ kata suara perempuan membangunkanku.

Oh, itu suara ‘ibu negara’. Harus dipatuhi titahnya.

Ah, ternyata aku ketiduran dan bermimpi. Apakah seperti itu kondisi negeriku saat ini, begitu rapuh dan terkotak-kotak? Wallahu a’lam.(*)