Oleh: Sri Wiyono
‘’Benar kata orang. Lambang Kabupaten Tuban adalah kuda. Kuda itu harus dicambuk dulu baru berlari kencang. Mau bekerja keras dan menyelesaikan apa yang menjadi tugasnya,’’
Begitu ungkapan Bupati Tuban Fathul Huda dalam sambutan di Dinas Pendidikan Januari lalu. Dalam acara tersebut, sekaligus diserahkan dana hibah tahun 2018 untuk sejumlah sekolah dan lembaga. Jumlahnya ratusan lembaga.
Hibah 2018? Kok bisa cair di awal tahun? Begitu pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Karena lazimnya, dana hibah paling cepat cair pada Maret di tahun anggaran yang sama.
Nampaknya inilah yang ingin diceritakan bupati terkait dengan kuda tadi. Pejabat asal Kecamatan Montong itu menyebut, sudah bosan menerima kritik dan cibiran bahwa pencairan anggaran selalu telat.
Rumitnya birorasi dan tetek bengek persyaratan membuat pencairan dana hibah, dan anggaran-anggaran lain selalu molor. Akibatnya, pekerjaan juga molor, laporan pertanggungjawaban juga molor. Hasilnya, kabupaten selalu mendapat rapor merah dari pusat.
Padahal, keruwetan dan kejumudan pekerjaan yang seolah menjadi ‘tradisi’ tahunan itu bisa diperbaiki. Kejumudan itu bisa didobrak. Keruwetan itu bisa diurai.
‘’Ya itu tadi, harus dicambuk untuk berlari kencang,’’ jelas bupati mengenai upaya perubahan yang sudah dilakukan.
Bupati yang juga pengusaha itu lantas, meminta bahkan memaksa stafnya untuk bekerja keras. Memaksa agar dana hibah bisa cair Januari setiap tahun. Atau paling maksimal Februari. Meski untuk bisa mencairkan, stafnya harus kerja keras dan lembur sekalipun.
‘’Buktinya bisa setelah saya agak keras. Artinya tidak ada yang tidak mungkin. Kalau ingin meraih sesuatu harus mengorbankan sesuatu,’’ ungkapnya.
Sebagai seorang ‘manajer’ bupati memang harus tegas dalam mengendalikan anak buahnya. Sehingga, target-target yang ingin dicapai terukur dan bisa direalisikan dengan mudah.
Target pembangunan misalnya, tinggal bagaimana mengelola program. Ibaratnya, mau apa saja semua sudah ‘cemawis’ tinggal melaksanakan. Dana sudah ada, sumber daya sudah ada, kebijakan sangat mendukung. Jadi, tinggal menjalankan saja.
Jika sumber daya atau bawahan bupati hanya bekerja alakadarnya. Tidak punya jiwa mengabdi dan pekerja keras, ya sama juga bohong. Kalau aparatur sipil Negara (ASN) dan pejabatnya biasa-biasa saja dalam bekerja.
Ya, kabupaten yang dikelola akan biasa-biasa saja. Prestasinya ya biasa-biasa saja. Karena itu dibutuhkan kerja keras. Bupati yang sangat lama bergelut di dunia bisnis itu pasti sangat faham bagaimana membangun sebuah perusahaan agar maju dan terpercaya.
Sehingga, ilmu itu bisa diterapkan untuk mengelola pemerintahan. Tentu, dengan pendekatan yang berbeda. Apalagi sudah tujuh tahun memimpin lo. Masak mau yang biasa-biasa saja?
Cambuk, atau pecut dalam bahasa jawa, harus selalu dibawa. Bukan cambuk dalam arti harfiah, namun cambuk dalam istilah. Bupati harus ceriwis, nyinyir bahkan bawel agar anak buahnya tidak terlena. Tidak mengerjakan sesuatu yang biasa-biasa saja.
Kuda itu sangat kuat, pekerja keras dan punya kecerdasan. Kuda dalam berbagai kebudayaan dianggap sebagai simbol kebebasan, kecerdasan, dan kekuatan. Dalam penanggalan Tionghoa, mereka yang dilahirkan pada sio kuda bersifat cerdas, mandiri, dan berjiwa merdeka.
Kuda itu juga seperti manusia. Ada yang sifatnya penurut, ada yang agak usil atau nakal, bahkan ada juga yang jahat. Kuda yang jahat itu akan berusaha mencelakai penunggangnya.
Dia tidak akan berhenti sebelum penunggangnya celaka misalnya jatuh atau terinjak. Tapi tidak semua kuda seperti itu. Karena itu, untuk memilih kuda seorang mestinya tidak saja menentukan hanya karena berdasarkan bentuk atau keindahan fisiknya saja.
Namun juga harus dipertimbangkan sifat dan karakter kuda tersebut. Dengan begitu akan lebih memudahkan aktivitas berkuda yang akan dilakukan. Karena akibat memilih kuda yang salah, target menjadi berantakan. Pekerjaan tidak selesai, bahkan hadir bencana.
Masih ingat cerita tentang Arya Penangsang dan kuda jantannya yang bernama Gagak Rimang ? Ya, Gagak Rimang digambarkan sebagai kuda jantan yang gagah, berbulu hitam mengkilap dengan bulu leher yang lebat.
Gagak Rimang sangat setia pada tuannya, yakni Arya Penangsang, adipati Jipang Panolan. Arya Penangsang telah membunuh Sunan Prawoto raja Demak tahun 1549. Sehingga, Arya Penangsang dianggap sebagai pemberontak dan Arya Penangsang ditumpas.
Sayembara diadakan oleh Hadiwijaya bupati Pajang dengan hadiah, tanah Pati dan Mataram bagi yang bisa membunuh Arya Panangsang. Namun tidak ada yang berani ikut sayembara karena takut dengan kesaktian Arya Penangsang.
Maka muncullah Ki Juru Martani, putra Ki Ageng Saba atau Ki Ageng Madepandan, putra Sunan Kedul, putra Sunan Giri . Nama Juru Martani muncul dalam Babad Tanah Jawi sebagai tokoh yang mendesak Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi agar berani mengikuti sayembara menumpas Arya Penangsang.
Keduanya semula tidak berani mengikuti sayembara itu karena takut pada kesaktian Arya Penangsang. Namun, Ki Juru Martani berjanji menjadi pengatur strategi, maka keduanya pun berangkat mendaftar.
Dengan kecerdasan dan kelicikannya, strategi untuk mengalahkan Arya Penangsang disusun. Saat akan menumpas Arya Penangsang, Sutawijaya putra kandung Ki Ageng Pemanahan. Adipati Hadiwijaya merasa tidak tega karena Sutawijaya telah menjadi anak angkatnya. Maka, dia memberikan pasukan Pajang untuk mengawal.
Rombongan akhirnya sampai di sebelah barat sungai Bengawan Solo. Juru Martani melarang mereka menyeberang karena sungai tersebut sudah dimantrai oleh sunan Kudur, guru Arya Penangsang.
Juru Martani kemudian menangkap tukang kuda musuh yang sedang mencari rumput. Telinga orang itu dipotong dan ditempeli surat tantangan atas nama Hadiwijaya. Si tukang kuda pulang ke kadipaten Jipang melapor pada majikannya.
Arya Penangsang marah melihat pembantunya dilukai. Apalagi terdapat surat tantangan agar bertarung satu lawan satu melawan Hadiwijaya. Dia berangkat melayani tantangan itu. Siasat Juru Martani berhasil. Karena apabila surat tantangan dibuat atas nama Ki Ageng Pemanahan atau Ki Panjawi, pasti Arya Penangsang tidak mau berangkat.
Saat Arya Penangsang tiba di tepi timur Bengawan Solo berteriak-teriak menantang Hadiwijaya. Dia tidak berani menyeberang karena ingat pesan Sunan Kudus. Bahwa semua kesaktiannya akan luntur jika menyeberangi Bengawan Solo.
Juru Martani tahu itu. Dan dia sudah menyiapkan rencana. Sutawijaya disuruh naik kuda betina yang sudah dipotong ekornya. Sehingga, kuda jantan milik Arya Penangsang bisa melihat alat vital si kuda betina.
Kuda tersebut menjadi liar dan tidak terkendali. Sehingga membawa Arya Penangsang menyeberangi sungai mengejar kuda milik Sutawijaya itu. Baru saja Arya Penangsang mencapai tepi barat Bengawan Solo, Sutawijaya segera menusuk perut Arya Penangsang menggunakan tombak Kyai Plered.
Perut Arya Penangsang robek dan ususnya terburai. Namun ia masih bertahan. Ususnya itu disampirkan pada pangkal keris pusakanya. Dalam kondisi luka parah, Arya Penangsangmasih bisa mengalahkan Sutawijaya, lalu dicekik sampai tidak berdaya.
Juru Martani meneriaki Arya Penangsang agar bertarung secara adil. Karena Sutawijaya bersenjata tombak pusaka Kyai Plered, maka dia juga harus memakai pusaka jika ingin membunuh Sutawijaya. Arya Penangsang tak sadar atas siasat itu.
Maka, Arya Penangsangpun mencabut keris pusaka Kyai Setan Kober yang terselip di pinggangnya. Akibatnya, usus yang tersampir di pangkal keris tersebut ikut terpotong, sehingga Arya Penangsangpun mati oleh kerisnya sendiri.
Kelemahan kuda (jantan) yang selalu tidak tahan dengan ketika melihat kuda betina itu juga disampaikan Bupati Fathul Huda.
‘’Biasanya kuda itu kalahnya kalau melihat kuda betina,’’ kelakarnya kala itu.
Yang pasti, saat ini bupati ke mana-mana membawa cambuk. Siap mencambuk kuda mana saja yang aras-arasen bekerja keras. Kuda yang hanya makan dan tidur dan bekerja alakadarnya.
Namun, apakah bupati juga sudah menyiapkan strategi ampuh seperti yang dimiliki Ki Juru Martani, untuk mengendalikan bahkan menghilangkan kebiasaan kuda yang selalu tergoda lawan jenisnya. Semoga bupati yang kiai ini sudah punya kiat jitu. Wallahu a’lam.(*)