Oleh: Sri Wiyono
Judul di atas adalah pepatah Jawa. Tentang kehormatan dan harga diri. Sehingga jika dua hal itu diusik bakal ‘ditohi pati’ atau dibela sampai mati.
Secara harfiah, sadumuk bathuk berarti colekan atau sentuhan di jidat. Bagi masyarakat Jawa, sentuhan di jidat dianggap sebagai penghinaan.
Sebab, bagi orang Jawa kepala adalah kehormatan, sehingga tabu orang lain mengobok-obok kepala tanpa kerelaan yang bersangkutan.
Juga tanah. Bagi masyarakat Jawa tanah adalah sebuah kehormatan. Maka, ketika tanah yang menjadi haknya diserobot pihak lain tanpa izin, meski hanya seluas jari tangan ibaratnya, maka pembelaan atasnya adalah nyawa taruhannya.
Sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati, pepatah ini pernah akrab ditelinga saya ketika awal-awal PT Semen Gresik masuk Kabupaten Tuban.
Pabrik semen milik BUMN itu membutuhkan lahan ratusan hektar. Selain untuk bangunan pabriknya, lahan yang dibutuhkan untuk bahan baku.
Kala itu, sangat sering warga pemilik tanah di lokasi yang akan dibebaskan itu demo. Mereka menolak tanah milik mereka dibebaskan. Dan, kata-kata dalam pepatah Jawa itu sering terdengar. Juga sering ditulis di poster sebagai salah satu alat peraga dalam demo.
Selanjutya, saya mendengar kata-kata itu lagi, ketika saya bertugas di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Juga ketika warga menghadapi ancaman pembebasan lahan oleh BUMN perminyakan untuk membangun fasilitas pengolahan gas. Sadumuk bathuk sanyari bumi muncul lagi.
Kali ini, saya kembali dengan pepatah yang membuat miris itu. Tatkala warga di beberapa desa di Kecamatan Jenu menolak rencana pembangunan kilang minyak raksasa di daerahnya. Lokasi yang dibutuhkan, akan memakan lahan pertanian mereka.
Sama seperti warga-warga terdahulu yang pernah saya temui, kali ini warga juga yakin dan dengan tegas menyatakan tidak akan menjual tanah miliknya. Sikap penolakan itu sudah mereka tunjukkan, salah satunya dengan tidak menghadiri sosialisasi.
Bahkan, ada juga warga yang sudah melakukan ritual tolak balak. Karena rencana penggusuran tanah milik mereka, yang akan diubah menjadi lokasi kilang dan perangkat pendukungnya, bagi warga merupakan sebuah balak atau marabahaya.
Sengketa seperti ini, antara pemilik tanah dan penguasa pernah terjadi pada zaman Khalifah Umar bin Khattab. Pesatnya perkembangan Islam di zaman itu membuat jumlah umat Islam semakin banyak.
Masjid pun kian sempit, dan tak mampu lagi menampung jamaah yang terus membeludak. Untuk perluasan masjid, Khalifah Umar berniat membeli tanah di sekeliling masjid. Salah satunya adalah tanah dan rumah sahabat Abbas.
“Wahai Abu Fadhl, masjid umat Islam sudah sedemikian sesak. Aku sudah membeli rumah di sekelilingnya untuk perluasan masjid. Kecuali rumahmu dan rumah istri-istri nabi. Kalau rumah istri nabi, jelas tidak bisa. Sedangkan rumahmu, juallah kepadaku agar aku bisa memperluas masjid,’’ kata Umar pada Abbas.
Namun, sahabat Abbas keberatan untuk menjual. Bahkan, sampai Khalifah memberikan beberapa pilihan, yakni Abbas boleh meminta harga berapapun, juga bisa meminta tanah dan rumahnya diganti dan dibangunkan di kota manapun, atau tanah dan rumahnya disedekahkan saja untuk masjid.
Tawaran itu tak ada yang dipilih Abbas. Sehingga terjadi sengketa. Khalifah Umar meski berkuasa tak mau menggunakan kekuasaannya memaksa Abbas melepas tanah dan rumahnya.
Umat bahkan menawari Abbas, siapa orang yang dipilih untuk menengahi sengketa antara mereka.
Abbas memilih Ubay bin Ka`ab, untuk menyelesaikan sengketa itu. Dia adalah salah satu sahabat terpercaya yang bertugas menulis wahyu yang datang, saat Rasulullah masih hidup.
Akhirnya, mereka berdua pergi menemui Ubay bin Ka’ab dan menceritakan persoalan yang sedang dihadapi.
“Maukah kalian berdua aku ceritakan hadits yang pernah aku dengar langsung dari Rasulullah,’’ kata Ubay.
Setelah mendapat persetujuan, Ubay bercerita, dia pernah mendengar Rasul bersabda, ‘’sesungguhnya Allah pernah mewahyukan kepada (Nabi) Daud: Buatlah untukku rumah agar Aku diingat di dalamnya!” begitu wahyu Allah pada Daud sebagaimana disabdakan Rasul.
Lalu Daud mulai merancang batas pembangunan masjid. Ternyata garis yang dicanangkan mengenai rumah salah seorang dari Bani Israil. Nabi Daud memintanya agar pemilik rumah sudi menjual tanah beserta rumahnya.
Orang itu menolak permintaan Nabi Daud. Sampai sempat terlintas pada benak Daud untuk mengambilnya secara paksa. Namun, Allah tak membiarkan Daud melakukan perbuatan itu. Allah menegur melalui wahyu.
“Wahai Daud, Aku (Allah) memerintahmu untuk membuat rumah ibadah agar Aku diingat, sedangkan kamu hendak memasukkan dalam rumahku gashab (sesuatu yang diambil secara paksa). Merampas tanah, bukanlah perintahku. Sebagai sanksi atasmu, maka kamu tidak boleh membangunnya.”
Mendengar hadist itu, Khalifah Umar lantas memegang baju Ubay dengan kedua genggam tangannya seraya berkata, “Aku datang membawa persoalan yang hendak diselesaikan, sedangkan kamu malah membuatnya semakin parah.”
Ubay akhirnya dibawa Umar ke halaqah (lingkaran) para sahabat untuk mengklarifikasi riwayat Ubay bin Ka`ab. Salah satu sahabat yang ada saat itu adalah Abu Dzar al-Ghifari. Ternyata, Abu Dzar membenarkan riwayat itu, demikian juga sahabat-sahabat lainnya. Umar pun melepaskan Ubay.
Setelah tahu kisah Ubay itu benar, bahwa Allah melarang mengambil tanah hak milik orang lain, meski untuk tempat ibadah sekalipun, Umar berkata pada Abbas.
‘’Aku tidak akan mengusik rumahmu,’’ kata Umar tegas.
Ketegasan Khalifah Umar, membuat Abbas justru berubah pikiran.
‘’Jika engkau melakukan demikian, maka aku sedekahkan rumah dan lahan kepunyaanku untuk perluasan masjid umat Islam. Tapi kalau engkau memusuhiku, maka aku tak mau,’’ kata Abbas.
Maka perluasan masjid pun bisa dilaksanakan. Umar juga memberi ganti atas rumah dan tanah Abbas meski Abbas menyatakan hak miliknya itu disedekahkan.
Kisah itu, bisa menjadi teladan, bahwa pemimpin atau penguasa tidak boleh memaksa. Rakyat yang dipimpin pun juga tak boleh menutup mata dengan kepentingan umat yang lebih luas.
Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk menyelesaikan sengketa tanah itu. Umar yang penguasa juga tidak melakukan pendekatan kekuasaan. Namun, meminta pendapat cerdik pandai atau ahli untuk menyelesaikan.
Ketika mendapat penolakan, Umar justru tenang dan berfikir jernih. Padahal Umar dikenal sebagai orang yang galak dan temperamental. Dia menyerahkan persoalan pada Ubay sebagai hakim, dan menerima putusan hakim ketika semua jelas dan ada dasarnya.
Kembali pada penolakan warga atas rencana pembebasan lahan untuk kilang New Grass Root Refinery (NGRR) di Kecamatan Jenu. Pemerintah punya segala perangkat untuk ‘memaksa’ pemilik tanah menjual tanahnya. Di banyak kasus, kebanyakan pemilik lahan memang harus ‘menyerah’.
Pemerintah tidak akan menyengsarakan rakyatnya, begitu pernyataan Kepala Biro Administrasi Pemerintahan Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur, Anom Surahno saat sosialisasi rencana pembangunan kilang itu pada warga.
Artinya, kata-kata pejabat yang mewakili provinsi itu harus dipegang. Janji itu harus terus ditagih, sehingga warga benar-benar tidak dirugikan dalam pembebasan lahan, atau kegiatan lain terkait kilang tersebut.
Warga juga bisa melihat sejauh mana kebijakan dan komitmen pemerintah, juga perusahaan atas nasib mereka. Sebagai warga pemilik lahan yang akan dibebaskan, juga warga ring satu perusahaan jika kelak perusahaan itu berdiri dan beroperasi, tentu mereka seharusnya ‘lebih’ diperhatikan.
Kita berharap, dua kepentingan yang berbeda ini, antara pemilik lahan dan pemerintah bisa teratasi. Setidaknya, kisah indah yang pernah dialami Khalifah Umar dan sahabat Abbas bisa terjadi di Bumi Wali ini. Semoga ! Wallahu a’lam.(*)