Penulis: Hadi Wibowo*
Yen ing tawang ono lintang
Cah ayu...
Aku ngenteni sliramu
Alunan lagu Jawa. Menggelayuti rumah yang bermotif joglo. Yang berada di pinggir pos ronda. Walau jakarta jarang yang bisa berbahasa Jawa. Tapi rumah itu selalu ada lantunan lagu Jawa. Ya! Tak heran memang. Rumah itu dihuni oleh orang jawa. Yang memijakkan kakinya di Jakarta.
Gemericik hujan menetesi genteng-genteng. Yang berwarna coklat kehitaman. Serta dihiasi lampu-lampu neon. Menakjubkan! tampak begitu mengkilap. Terasa sekali Jakarta seperti kota lampion. Bukan ibukota Indonesia lagi. Yang dikenal dengan macet, dan banjirnya. Seolah-olah nyaman ditinggali. Dan istana bagi mereka. tapi sayang, akhir-akhir ini warga cukup keresahan.
Desas desus suara mantera kian menyeruak lewat radio dan televisi. Suara mantera itu semakin hari semakin meliliti telinga. Gencar sekali suara-suara mantera itu diputar. Alunan demi alunan suara itu semakin renyah saja. Telinga-telinga setiap detik dihibur mantera itu. Bahkan telinga yang sudah kisut pun tak bisa menolaknya. Lantunan lagu jawa juga tersendat. Terlihat seorang kakek dan pemuda mengkomat-kamitkan mulut.
“Mantra ini, hanyalah omong kosong!”
“Kakek tau apa tentang mantra ini?” kata Karmin.
“Memangnya kau tahu toh, min? jelas saya yang lebih tau. umurpun sudah 2 kali lipat dari umurmu. pastinya saya lebih tahu daripada kamu.”
“Bukankah mantera ini, hanya masalah?”
“Cukup! Aku muak sandiwara ini. Tapi tak seharusnya juga digembar-gemborkan. Cuma membuat pengang saja.”
“Sudahlah, kita ikuti saja. Kita ini hanya ujung kuku dari mereka.”
“Walah.., paling ujung-ujungnya ya ngapusi, Min.”
Bola mata Karmin hanya memandangi wajah kakek. Tatapannya kosong. Wajahnya tampak bingung. Gerak-gerik kakek bagi Karmin seperti dukun.
Radio dan televisi. Setiap hari memberitakan mantera itu. Bahkan mantera itu menelusupi dunia maya. Entah mantera yang bagaimana dipamerkan itu. Konyol! semua warga malah terhipnotis mendengar dan memelototinya. Mantera kian jelas menderu memelucuti perkampungan jakarta. Menyelinap di gang-gang perkampungan. Jelas! mantera yang berkeliaran itu tidak dari satu orang saja. Melainkan dari beberapa kubu selayaknya politikus yang berkampanye.
***
Mantera setiap hari makin bergerilya saja. menyelinap. Melompati pagar-pagar. Menyeberangi got-got warga. Malah sebagian warga ada yang terpana. Ada juga yang menolak.
Waktu yang menunjukkan matahari mulai terik itu. Warga yang terpana menjamunya. mempersinggahkan setiap mantera yang mangkir di istana mereka. Tak sungkan-sungkan. Mantera yang lebih dari satu itu menelusipi ruang tamu warga. Musala. Masjid. Kantor. Pedagang kaki lima. Pasar dan Sungai. Bahkan bertatapan langsung dengan muka dan bibir warga. Mantera yang beraroma bak bunga melati atau mawar itu memikat semua panca indera warga. Tak segan mereka yang keluar dari bibir mungil itu. Menghipnotis warga. Merayu warga. Memeluk warga agar percaya. media masa dan online gencar sekali memberitakan.
“Lihat toh, Min!
“Apanya toh kek yang tak lihat? wajah kakek? wajah yang keriput itu?”
“Husst! ngomongmu nggak sopan.”
“Lagian, apanya yang dapat Karmin lihat?
“Itu! berita.”
“Walah.., palingan ya masalah mantera lagi.”
Warung kopi itu hanya diisi ocehan Karmin dan kakek. Bak sales kopi yang menjajakan kopinya. Setiap hisapan rokok Karmin menghela berceloteh.
“Sudahlah itu urusan mereka. Kita disini hanya ikut saja. Kalau nantinya tergusur ya ikut gimana baiknya.” kata RT.
“Le..., le pak RT. Sebagai RT yang bijak harus ikut mengambil sikap,” kata Karmin.
“Owh..., berarti saya juga harus...,”
“Sudah-sudah!” pangkas Karmin.
Esok hari matahari berkilat-kilat menampak kan harinya. Sesekali suasana itu terpecahkan lagi. Ya! Mantera itu datang lagi. Semakin hari malah menjadi-jadi. Sampai-sampai stasiun tv swasta merogoh kocek untuk wartawan. Agar dapat menghimpun celoteh-celoteh itu. celotehan yang konyol itu. Busyet! Mantera itu semakin menggila. Menggerogi hati manusia. Entah benar atau tidak. Salah satu mantera itu beraroma busuk. Ya. Memang ada warga mengatakan “Sudah hukum saja! penjarakan! Bunuh!” Kata-kata itu terngiang diseantero nusantara. Bahkan bayi yang baru lahir terusik. Dengan dentuman suara radio dan televisi. Yang menderukan kata-kata itu.
Tepat hari Jumat, warga dari berbagai daerah, kota, desa, tua atau muda, miskin atau kaya. lelaki dan wanita. Bahkan, mungkin kalau diselidiki juga ada waria berbondong-bondong meringkus. Menerobos. Dan menjarah ke Jakarta. Hanya menyerukan suara hatinya. Ya. Suara dari dasarlah yang berbicara. Namun warga jakarta masih diam saja. Malah ada yang masih mendengarkan. Semua keluh kesah dan celoteh para mantera itu. Yang semburat keluar dari bibir mungil itu. Bahkan jalan sudah dipadati segerombolan manusia. Mantera itu tetap santai melangkahi beceknya jalan. Apalagi warganya?
“Kek, kota ini sempit ya?”
“Sempit apanya? Kamu saja duduk masih bisa menselonjorkan urat kakimu. Kok bilang sempit.”
“Bukan itu! tetapi kota telah disergap.”
“Siapa yang menyergap kota? Mereka bukan menyergap kota. Tapi menuntun salah satu mantera yang keluar dari orang berkulit putih itu.”
“Orang berkulit putih?”
“Ya! Orang berkulit putih.”
“Apa hubungannya? Kulit sama mantera?”
“Mantera yang katanya beraroma bau busuk itu. Keluar dari bibir orang yang berkulit putih.”
“Terus siapa kek orang itu?
“Lihat saja televisi, biar kamu tahu,” jawab RT.
“Karmin hanya melirik saja. tanpa menghiraukan RT.
“Betul kata, pak RT. Agar tahu masalah mantera kamu pelototi saja televisi itu!”
“Ya.”
Karmin memalitkan kakinya. Melengoskan wajahnya dari hadapan kakek dan RT. Bola matanya mengganti arah pandangan. Yang awalnya memandangi Kakek dan RT itu sekarang berubah menjadi melongokkan sedikit maju kepalanya melihat televisi.
Hari itu, memang benar-benar mencekam. Jakarta sudah dikepung. Gang-gang sudah dibentengi. Jalan sudah diblokir. Bahkan ban juga sudah dikobarkan. Asappun sudah mengepul dan menusuk hidung. Suara-suara teriakan menghujani kota jakarta. Dentuman pistol pelerai juga menggelegar seperti petasan tahun baru. Namun mantera itu masing melayang-layang kesana kemari. Layaknya pedagang asongan.
***
Suara bedung mulai ditabuh. Kumandang azan sudah dilantunkan. Sebagian orang berbondong-bondong sholat maghrib. Namun Karmin malah nangkring di teras rumah. Mengisap sebatang rokok. Juga menyeruput secangkir kopi. Sesekali ia memusatkan telinganya ke radio. Yang diputar di atas meja ruag tamu. “Busyet! Kota jakarta seperti di serang rayap saja. putih-putih”, celetuk Karmin.
Jam sepuluh lebih empat puluh lima malam. Karmin mencoba merebahkan tubuhnya. Sambil ditemani radio butut kesayangannya. Entah mengapa suara radio itu seolah-olah berubah. Karmin heran. Ia melirak-lirikkan matanya. Namun tak ada satupun manusia yang menelusup rumahnya. Keheranannya semakin memerindingkan buku kuduknya. Langsung saja ia merosot ke dalam sarung.
Dengan wajah ketakutan, Karmin mencoba sesekali memejamkan mata. Akhirnya mantera itu semakin malam mulai reda. Dan hanya terdengar kaki-kaki manusia yang merangsek masuk ke jakarta itu. mantera yang mencengangkan itu seolah-olah menjadi sejarah. Entah mantera apa lagi di esok hari yang terjadi?
*Penulis adalah mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Unirow Tuban. Aktif di Komunitas Sanggar Sastra.