C

Oleh: Yoru Akira*

Inilah wajah Kota T. Saat pemerintah menyerukan semboyan spirit of harmony, tikus-tikus rakus menggerogoti lumbung padi. Bahkan Sandhya harus merasakan akibatnya saat mencoba mengulik kehidupan di salah satu eks lokalilasi C. Siapa yang menyangka obrolannya dengan seorang kawan berbuntut panjang.

Bermula saat seorang kawan pergerakan, Adimas, bercerita tentang keresahan warga di kampungnya. Izin yang diberikan warga kepada seorang juragan pemilik tempat karaoke sudah disalahgunakan. Tempat eks lokalisasi itu disinyalir mulai menebarkan spora yang menunggu musim hujan.

Siapa yang menyangka hasil liputan yang ditulis untuk medianya membawa Sandhya dalam urusan panjang. Teror diam-diam mulai muncul. Tikus-tikus itu mulai menggerogoti tubuhnya. Bahkan dia bermimpi, kucing-kucing berukuran besar mengintipnya dari balik pintu. Mereka siap menyerang Sandhya kapan pun. Dari arah mana pun.

Pembicaraannya dengan Ratri tentang hal ini pun berakhir buntu. Biasanya perempuan itu selalu mampu memberikan ide-ide gila. Bahkan di luar nalarnya untuk bisa menerima kemampuan berpikir otak. Ratri selalu bisa menemukan solusi imajinatif untuknya. Namun perempuan itu hanya menatapnya dengan pandangan kosong. Tak banyak kata keluar dari mulutnya. Huftt... Sandhya justru khawatir, masalahnya kali ini membawa Ratri dalam bahaya. Bagaimana pun hal itu tak boleh terjadi.

Sebagai seorang jurnalis Sandhya harus berpikir cerdas mengatasi masalah ini. Toh ini bukan lagi zaman dimana pers dibungkam untuk bicara. Lagipula eks lokalisasi di perbatasan kota itu telah lama menjadi targetnya. Belum lagi tempatnya yang berada tak jauh dari kilang minyak nasional. Meski untuk memenuhi target itu dia akan berhadapan dengan bahaya besar.

"Kau tak perlu memaksa diri. Jalanmu menjadi seorang jurnalis masih panjang. Sementara jangan muncul dulu di sekitar sana, atau kau benar-benar diciduk salah satu dari mereka. Ini tentang pergolakan besar. Kau sendiri yang cerita, mereka disokong orang-orang pemilik kebijakan."

"Lantas, aku hanya menunggu kasus ini menghilang dengan sendirinya?"
"Lalu kau mau mengorbankan diri sebagai umpan?"
"Umpan?"

Perempuan di hadapan Sandhya tak langsung menjawab pertanyaannya. Ditelusuri jejak lelah di wajah lelaki itu. Ada amarah yang diam-diam menggumpal di antara mereka. Sandhya dengan keakuannya, serta Ratri dengan sifat protect yang terlalu ketat.

"Aku bukan umpan, Ratri. Kita bisa bekerjasama menguak persoalan ini sampai tuntas."
"Kalau kau memang bukan umpan, harusnya tak ada keraguan menghadapi kucing-kucing itu. Pikirkan Sandhya, mereka sama berbahayanya. Kau berdiri sendiri. Tidak ada yang tahu pasti mana musuh, mana kawan. Setidaknya kau harus berpikir bijak sebelum bertindak. Selamat malam, aku harus pulang sekarang."

Sandhya tinggal bersama gelisahnya saat perempuan itu berlalu pergi. Bayangan tikus-tikus rakus dan kucing-kucing lapar kembali menghantuinya. Mungkin dugaan Ratri tentang mereka pun benar. Dia hanyalah sebatas umpan demi kepentingan yang sebenarnya tidak dimengerti. Atau hanya sebagai pelengkap lakon yang akan ketahuan dimana akhirnya.

Ahh, apa pun itu Sandhya tak mau berspekulasi. Satu hal yang pasti, dia harus menuntaskan kasus ini. Bagaimanapun akhirnya.

***

Butuh waktu satu minggu bagi Sandhya untuk menyusup ke bekas lokalisasi C tanpa ketahuan penjaga. Seorang teman memintanya tinggal, sementara mereka menyiapkan perlawanan. Bagi mereka, bagaimana pun hasilnya nanti persiapan harus matang. Mereka tak akan pernah tahu, tikus atau kucing yang akan menangkapnya lebih dulu.

"Ini daftar-daftar nama pemilik kebijakan yang terlibat, Mas. Bahkan penerimanya menyebar sampai kabupaten. Itulah mengapa orang-orang di sini berani bertingkah meski siang hari."

"Kau yakin sebanyak ini?" Sandhya terkejut saat menerima data tikus-tikus buruannya.
Ada 20 orang lebih yang menerima suap dari pemilik rumah karaoke yang beralih fungsi jadi rumah bordil. Bahkan Sandhya kenal baik dengan mereka lebih dari separo. Beberapa hari lalu sebelum menyusup ke eks lokalisasi C, dia bertemu dengan mereka. Gila, bahkan ada yang mengulurkan tangan padanya untuk menyelesaikan kasus ini.

Umpan.
Sandhya sadar posisinya saat ini. Dia hanyalah umpan bagi para penguasa untuk memeras pemilik rumah bordil. Tanpa banyak pertimbangan lelaki itu menyambar kunci motor dan mengajak kawannya kabur. Dia sadar, tidak lama lagi tikus-tikus itu akan mengepungnya.

"Kita harus cari perlindungan sekarang. Tidak ada waktu lagi."
"Kenapa, Mas?"
"Aku kenal siapa orang-orang yang terlibat. Bahkan aku tak menyangka sebelumnya. Beberapa hari lalu aku bertemu mereka dan cerita aku akan ke sini. Ayo, kita masih punya waktu untuk lari sekarang."

Tok... Tok...
"Ada tamu, Mas. Sebentar saya buka."
"Jangan dibuka! Bisa jadi itu salah satu dari mereka."
"Tidak, Mas. Itu salah satu kawan pergerakan. Kita biasa menggunakan dua ketukan saat bertamu."

Wajah Sandhya mulai pias. Panik menyerangnya tiba-tiba. Dia tak sabar menunggu rembukan kecil kawannya entah tentang apa.

Tiba-tiba dia teringat Ratri. Mungkin setelah ini dia tak bisa bertemu lagi dengannya. Perempuan itu, selalu memiliki intuisi yang tajam, tapi sekali pun dia tak pernah menghiraukannya. Seandainya dia berada di sisinya sekarang, Sandhya pasti tak akan panik harus mengambil keputusan seperti apa.

"Mas, ayo kita pergi. Kawan saya barusan memberi tahu ada mata-mata yang dikirim untuk mengawasi sekitar sini. Rupanya kabar penolakan orang-orang desa sudah sampai pada mereka. Kawan saya akan antarkan Mas sampai perbatasan desa. Nanti akan ada seorang kawan lain yang akan mengantar sampai kabupaten. Maaf Mas, sudah melibatkanmu pada posisi sulit."

"Lantas kau sendiri bagaimana?"
"Saya akan di sini. Mereka masih belum punya identitas saya. Saya akan menyusul Mas, saat berhasil mengulur waktu mereka. Ayo!"

Sandhya bergerak gesit. Selama aktif di pergerakan dia tak pernah mengalami dikejar aparat. Justru kini setelah menjadi jurnalis dia merasakan pengalaman yang dulu biasa dibaca di surat kabar zaman Orba. Heh, lelaki itu tersenyum kecut menghadapi kenyataan. Uang saat ini menjadi penguasa paling kejam. Bodohnya, dia tak menyadari kalau telah menjadi umpan dungu di hadapan tikus yang menyamar jadi kucing.

"Ayo, Mas."
Seorang bocah belum genap 17 tahun menunggu di pintu belakang. Motor bebek yang dikendarainya mengepulkan asap hitam. Oh, haruskah aku menyerahkan nasib padanya? Batin Sandhya menjerit.

"Dia pengendara handal, Mas. Jangan khawatir. To, antarkan dia dengan selamat. Lantas suruh Aris mengantarnya ke kabupaten. Biarkan Mas Sandhya diurus Aris sesampainya di sana."

Bocah yang dipanggil To oleh Adimas bergegas menyetater motornya bahkan sebelum Sandhya duduk nyaman. Bocah lelaki itu membawanya sampai di perbatsan desa. Seorang pria yang dikenalnya sudah menunggu di bawah rumpun bambu pinggir jalan. Tanpa banyak cakap, mereka melanjutkan perjalanan hingga ke kabupaten.

***

“Mau rokok, Mas? Sampean kelihatan gelisah sekali.”
“Tidak Ris, aku tidak merokok. Bisa kau pinjamkan aku motormu sebentar? Aku harus menemui seseorang.”

“Siapa Mas? Tadi Mas Adimas bilang kalau sampean mau kemana-mana harus saya antarkan. Soalnya Mas Adimas yakin, pasti ada oknum-oknum yang disebar untuk mencari Mas.”
“Bukankah kalau berdua justru semakin mudah tertangkap karena begitu mencolok? Kalian ini ndak pernah ikut gerakan bawah tanah ya?” bentak Sandhya mulai hilang kesabaran.

Lima jam berlalu tanpa ada satu pun hal yang bisa dia lakukan. Bahkan handphonenya sudah dari tadi dimatikan untuk menghindari risiko terburuk yang mungkin terjadi. Sepak terjangnya di dunia jurnalis sudah mempunyai catatan penting pemilik kekuasaan. Namanya yang paling sering dicari ketika seorang pejabat diduga melakukan tindak kriminal. Entah untuk bernegoisasi atau mengintimidasi. Sandhya memiliki catatan lengkap setiap pejabat yang mencoreng wajah pemerintahan.

Itulah sebab banyak orang segan kepadanya. Bahasa santun dan senyum memikat membuat siapapun tak menyadari jika dia berusaha menggali kepribadian seseorang bahkan yang paling kelam. Dengan caranya itu, dia berhasil memenjarakan beberapa pejabat yang melakukan tindak korupsi. Tidak terlewat, mereka pun rela turun jabatan ketika Sandhya telah membuat ulah. Bodohnya, dia tak teliti kali ini. Dia tak sadar mana kawan ataupun lawan.

“Aku butuh dia untuk menenangkan amarahku, Ris. Biarkan aku pergi sendiri. Aku janji mereka tak akan bisa menemukan kita.”

Wajah Sandhya semakin gelisah. Tak bisakah dia bertemu dengan kekasihnya sebentar saja. Memiliki waktu pribadi untuk membicarakan masalah ini.

Dengan berat hati, Aris memberikan kunci motor kepada Sandhya. Lelaki itu segera menyambarnya sebelum Aris berubah pikiran. Dia tahu seperti apa tabiat Aris. Dia tipikal orang yang selalu nurut apa kata ketua. Beruntunglah Adimas memiliki anak buah semacam dia.

“Aku akan segera kembali.”
Sandhya tak menoleh lagi setelah keluar dari persembunyian mereka di rumah salah satu kawan. Dengan kecepatan tinggi, dia menuju rumah Ratri. Gejolak perasaannya tak bisa lagi dibendung. Apapun yang terjadi setelah ini, Sandhya ingin berbagi kesal yang berkecamuk di dadanya.

“Ratri, kau benar. Aku ternyata hanya umpan,” ucap Sandhya mencoba tegar. Ditahannya air mata agar tak tumpah saat itu juga.

“Kau tahu risikonya San, dan kau sudah menentukan pilihan. Lantas apa yang kini kau sesali? Aku sudah mengingatkanmu dari awal. Eks lokalisasi itu masih menyimpan banyak teka-teki. Kau terlalu gegabah untuk bersikap.”

“Mungkinkah mereka akan membunuhku?” suara Sandhya mengecil. Ada getar ketakutan yang mulai menyusupi kerongkongannya. Sedang Ratri menatapnya dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Batinnya, jangan beri tahu aku kemungkinan terburuk yang terjadi Ratri. Aku tidak mau dengar.

“Siapa yang tahu apa keinginan mereka. Mungkin seperti biasanya. Mereka memberi penawaran, bernegoisasi, memberikan apa permintaanmu, dan entah apa yang terjadi selanjutnya.”

“Aku lebih baik mati oleh timah panas daripada menghamba jadi anjing.”
Perempuan itu tersenyum simpul. Dibelainya rambut kusut Sandhya. Bisiknya,”Itu pilihanmu San. Apapun keputusanmu aku tak bisa mencegahnya. Toh jika itu memang benar terjadi akan ada masa dimana kita bertemu kembali.”
“Ratri, akan kah aku mati hari ini?”
“Tuhan yang mengatur rencana hidup dan matimu. Tapi hal yang kuyakini, kau akan mati setelah aku tak bernyawa lagi. Tegarlah. Kau harus berani menghadapi kenyataan ini. Belum ada perintah kau dihukum mati. Meski itu mungkin saja terjadi. Aku membantumu. Selalu.”

Luluh sudah air mata Sandhya. Dia menangis seperti bayi dalam pelukan kekasihnya. Sementara senja kala dan burung gagak menyiarkan kabar kematian. Entah siapa yang akan menemui panggilanNya.

*Cerpenis dan pegiat literasi di komunitas Langit yang tinggal di Tuban.