Penulis: Nurul Mu’affah
blokTuban.com - Memiliki wilayah yang secara geografis berada di tepi Sungai Bengawan Solo, Desa Bandungrejo terletak di Kecamatan Plumpang, Kabupaten Tuban. Desa seluas 312 Ha ini terbagi menjadi tiga dusun yakni Dusun Sidodadi, Dusun Bandungrejo, dan Dusun Sidomulyo. Desa ini dihuni oleh total penduduk 909 Kepala Keluarga (KK), Senin (9/10/2023).
Dengan letaknya yang berada di tepi Sungai Bengawan Solo, pertanian menjadi potensi utama Desa Bandungrejo yang menjadi profesi andalan mayoritas warga desa ini.
Adapun mengenai sejarah terbentuknya desa ini belum diketahui secara pasti, namun menurut keterangan di Buku “Desa Bandungrejo dalam Angka 2022,” istilah Desa Bandungrejo sudah ada sejak tahun 1.355 M yang dibuktikan dengan adanya penemuan prasasti Tuban I dan Tahun II yang menceritakan bahwa pada tahun 1.355 M telah terjadi peperangan di Desa Bandungrejo pada zaman Majapahit, di mana para pejuang dan para prajurit Kerajaan banyak yang meninggal di Desa Bandungrejo.
Berdirinya pemerintahan Desa Bandungrejo pertama kalinya terjadi pada tahun 1.892-1.924, dengan kepala desa yang memimpin pada saat itu bernama H. Ngadirin Abdus Salam yang menjabat sebagai kepala desa Bandungrejo selama 32 tahun.
Menurut keterangan Siti Nurhayati, Kaur Keuangan Desa Bandungrejo, Desa Bandungrejo juga memiliki situs peninggalan berupa makam dan situs cagar budaya. Salah satunya yakni Makam Mbah Karto Wijoyo yang ditemukan pada tahun 1970, beliau merupakan seorang Senopati Mataram/Panglima Perang Era Amangkurat II.
Diceritakan bahwa KH. Abdurohman Sunoko merupakan orang pertama yang menemukan situs dan makam ini. Ada banyak penemuan benda cagar budaya yang sebagian diambil oleh pemerintah seperti arca manusia, Ganesa, dsb.
Sunoko inilah yang mempertahankan beberapa cagar budaya yang penting dan mengandung histori budaya pada masa Hindu Budha, salah satunya yakni Makam Mbah Kartowijoyo ini. Beliau juga yang membersihkan serta membangun hingga banyak bangunan di sini, termasuk cungkup makam Mbah Karto Wijoyo dan Mbah Wijoyo Kusumo.
Di mana dulunya tempat ini tidak bertuan masih singit atau angker dan banyak ditumbuhi pohon-pohon besar. Banyak pula saat itu digunakan sebagai tempat kemusyrikan.
Baru pada tahun 1993, Sunoko mendaftarkan ke Pemerintah pusat, dan munculah sertifikat pengesahan kepemilikan pada tahun 1998 dari Direktorat Jendral Kebudayaan Jakarta. [Af/Ali]