Reporter : Sri Wiyono
blokTuban.com - Berziarah ke makam-makam wali atau tokoh-tokoh sejarah diharapkan tidak hanya sekadar ritual atau mengambil semangat spiritual atau klenik belaka. Sebab, selain persoalan supranatural atau yang tak kasat mata, bahkan terkadang justru berisi mitos atau legenda, ada hal tampak mata yang mendesak untuk disentuh dan diperhatikan.
‘’Salah satunya adalah makamnya sendiri, serta hal-hal lain yang berbau budaya di sekitarnya,’’ ujar R.M.Lutfi Ghozali peneliti makam-makam wali dan makam kuno dari Sidoarjo saat mengisi seminar di Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Tuban, Rabu (14/6/2023).
Dalam seminar yang diikuti oleh para mahasiswa, dosen, kaprodi, dekan dan masyarakat umum itu, dia menyebut, yang mau dan rajin ziarah ke makam-makam wali adalah kaum santri atau masyarakat nahdliyin. Sehingga, dibutuhkan kepedulian juga dari para peminat makam-makam wali untuk ikut melestarikan.
‘’Kalau tidak santri, siapa lagi yang akan melestarikan. Karena itu ayo para santri ikut peduli dan melestarikan makam,’’ ajaknya.
Lutfi Ghozali menyebutkan, yang berkembang di masyarakat terkait wali misalnya adalah cerita-cerita tentang kekeramatannya,kelebihannya yang di luar misalnya, padahal banyak peninggalan para wali yang perlu diperhatikan dan dilestarikan.
Peninggalan fisik berupa masjid, istana, makam atau lainnya yang sampai sekarang jejaknya masih bisa dilihat. Soal masjid dan makam, terkandung budaya dan ilmu pengetahuan yang luar biasa. Bisa soal seni,konstruksi bangunan, tata letak dan sebagainya.
‘’Karena pada jaman dulu, untuk memakamkan seseorang itu ada perhitungannya yang matang, tidak sembarang dimakamkan begitu saja seperti sekarang. Nah, pengetahuan-pengetahuan seperti itu kan sains,’’ terangnya.
Pria jebolan salah satu pondok pesantren di Jombang itu menyebut masing-masing ciri bangunan, bentuk atau model bangunan bisa mencirikan tahun atau posisi seseorang. Salah satunya adalah bentuk batu nisan.
Ada satu model batu nisan yang mencirikan bahwa yang dimakamkan adalah tokoh pemuka atau pemimpin agama. Dan batu nisan tersebut bisa dikenali di makam wali di berbagai daerah. Asal tokoh yang dimakamkan tersebut adalah tokoh, maka batu nisannya dipastikan punya bentuk yang cirinya sama.
‘’Bisa dilihat juga periodesasinya tokoh yang dimakamkan itu hidup di masa apa, tahun berapa,’’ katanya.
Karena itu, dia berpesan agar jika ziarah ke makam harus berhati-hati. Karena tidak semua yang ada di pemakaman atau kuburan itu semuanya kuburan. Karena di kuburan menurutnya ada nisan, cungkup, lingga yoni, batu andesit, bata kuno dan lainnya.
‘’Selain nisan dan cungkup adalah peniggalan pra islam. Jadi harus dipastikan,’’ tandasnya.
Sesuai catatan, lanjut dia, Islamisasi di Jawa justru pada fase-fase terakhir, sebab, islamisasi di Pasai (Kalimantan) sudah selesai pada sekitar tahun 1.100 an, sedang di Jawa wali-wali baru dakwah di sekitar abad 16 atau tahun 1.500 an. Sayangnya, kata dia, kalau ditanya bagaimana wali-wali dulu berdakwah kesulitan rujukan.
‘’Yang ada adalah karakteristik mitologi, dan gegeran-gegeran. Itu yang dimasukkan dalam otak kita. Jadi kalau ngomong islamisasi adalah perebutan tahta dan wanita. Sejak kapan muncul nomenklatur wali songo, asbabun wurutnya bagaimana kok tiba-tiba ada gambar-gambar itu bgmn awalnya juga masih diperdebatkan,’’ ungkap dia.
Yang harus dipelajari dan dilestarikan adalah peninggalan-peninggalan yang disakralkan seperti masjid, makam dan istana. Makam, kata dia, bukan sekadar tempat penyemayaman jasad, tapi juga monumen, bahwa ada sejarah dan ada kejadian atau peristiwa yang pernah terjadi.
‘’Makam itu menunjukkan bahwa Mbah-mbah wali dulu pernah hidup di masa itu,’’ urainya.
Kenapa harus peduli sejarah? Dari sejarah menurut dia, banyak hal yang bisa dipelajari dan dijadikan rujukan berbuat lebih baik untuk masa depan. Dari sejarah penjajahan misalnya, bisa dipelajari bahwa misi penjajah di antaranya ada tigal yakni gold (kekayaan), glory (kekuasan) dan gospel (menyebarkan keyakinan, agama atau kepercayaan).
Saat dijajah Belanda dulu, ketika ketauhidan atau agama yang diusik maka banyak perlawanan. Seperti misalnya muncul perang santri dan puncaknya adalah Resolusi Jihad di Surabaya.
‘’Jadi santri ayo ikut ngeramut makam, kalau tidak satri siapa lagi yang mau ngeramut, ziarah bukan sekedar ritual tapi juga ada sejarah, budaya dan sanad keilmuan dari yang diziarahi,’’ tandsnya.[ono]