Dilema ISBN

Oleh: Andriana Tanti*

blokTuban.com - ISBN adalah salah satu bentuk legalitas dari sebuah karya pena. Kebanggaan pelaku literasi (baca : penulis) terutama bagi penulis pemula adalah saat berhasil menerbitkan sebuah buku entah itu buku solo atau buku keroyokan yang biasa kita sebut dengan buku antologi. Wabil khusus jika buku tersebut ber-ISBN.

Wow !!! Alangkah bahagia bercampur haru, carut marut sampai ambyar deh rasanya (koyok yang nulis ini juga begitu, hehehe).

Seiring dengan berkembangnya dunia literasi yang memang sedang marak digaungkan di seluruh negeri, banyak bermunculan komunitas-komunitas penggerak literasi yang berlomba-lomba mengadakan sekolah menulis (baik online maupun offline). Tentu saja tujuan akhirnya adalah setelah mengikuti sekolah menulis ini ada hasil berupa buku.

Utamanya untuk guru, dosen, bahkan siswa diwajibkan untuk menghasilkan karya pena berupa buku. Bagus sih dan tidak salah juga. Karena memang peruntukkannya secara umum dapat mendongkrak IPM (Index Pembangunan Manusia) di bidang pendidikan yang notabene adalah bidang literasi di Indonesia ini masih kalah jauh (baca: rendah) dibandingkan negara tetangga. Tak terkecuali untuk kota kita tercinta, Tuban.

Baca juga:

13 Ide Jualan yang Lagi Viral Modal Murah

Kabupaten Tuban juga IPM-nya rendah. Untuk itu kami para penggiat literasi yang mendapat tugas tambahan dan amanah dari Dinas Pendidikan untuk membumikan literasi dan meliterasikan Kabupaten Tuban melalui workshop atau pelatihan literasi bagi guru di jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah.

Tujuannya selain untuk mendongkrak IPM kabupaten Tuban adalah juga agar semua guru dan siswa melek literasi dan memiliki karya utamanya buku-buku tentang ke-Tuban-an (sejarah, kuliner, budaya, kearifan lokal, dan lain-lain) yang mana tulisan ini lahir dari putra-putri asli kelahiran Tuban.

Seiring dengan itu pula makin kian marak pengusulan dan permintaan ISBN pada semua buku-buku yang dihasilkan oleh guru dan siswa, sehingga cukup membuat pusing kepala barbie juga, karena ISBN semakin menipis dan hampir habis penomorannya.

Hal ini andai kita cermati dan pahami bersama tentu tidak akan terjadi karena semuanya hanyalah berawal dari ketidaksepahaman dan miskomunikasi saja. Banyak yang beranggapan bahwa jika buku yang ber-ISBN lebih diakui legalitasnya ditambah dengan adanya aturan yang (maaf) dapat menjadi salah satu penambah kredit point untuk syarat kenaikan jabatan dan golongan di kalangan profesi tertentu.

Sungguh miris bukan? Karena pada akhirnya para penulis (baca: oknum) hanya sekedar menulis untuk kepentingan tertentu (bukan dari hati) yang tentu saja berpengaruh pada (tidak) berkualitas buku yang dihasilkan karena hanya sekedar untuk memenuhi kewajiban dan persyaratan saja. Begitupun bagi segelintir orang yang tidak mau repot dan tidak terbiasa menulis. Mereka akan mencari jalan pintas dengan (istilahnya) menjahitkan pada ahlinya.

Tentu ini akan menguntungkan para penjahit (bukan dalam arti sebenarnya) ataukah terjadi simbiosis mutualisme diantara keduanya ya? Hehehe....bisa jadi kan....

Terakhir, dikarenakan juga ikut merasakan keprihatinan dengan hal tersebut diatas maka himbauan kami (pribadi) adalah mari kita bijak untuk menyikapi.

Tidak semua hasil karya kita harus ber-ISBN, meskipun tidak ISBN tetap legal kok, mengapa? Karena menulis dan menghasilkan buku itu bukan sebuah kejahatan asalkan tulisan yang kita hasilkan tidak menggandung SARA dan bermanfaat bagi kemaslahatan orang banyak. Salam dan semangat literasi dari Bumi Wali. [*/Ali] 

 

*Pengurus IGI Tuban & Guru SD Katolik Santo Petrus Tuban.

 

Temukan konten blokTuban.com menarik lainnya di GOOGLE NEWS