
Oleh: Amy Maulana, Expert Hubungan Indonesia-Rusia ANO Center Mediastrategi-mediacenter.su
blokTuban.com - Sebagai ahli yang telah lebih dari satu dekade mempelajari dinamika hubungan Indonesia-Rusia, saya melihat proyek Kilang Tuban dengan Rosneft bukan sekadar kerja bisnis biasa. Ini adalah cerminan dari dua tantangan besar yang menghambat potensi strategis Indonesia di kancah global: birokrasi yang lamban dan ketidakmampuan memanfaatkan momentum geopolitik. Dalam perspektif saya yang telah banyak melakukan riset langsung di Moskow dan Jakarta, proyek ini seharusnya menjadi bukti nyata transformasi hubungan Indonesia-Rusia dari sekadar mitra dagang menjadi mitra strategis.
Birokrasi: Musuh Utama Kepentingan Nasional
Fakta bahwa Final Investment Decision (FID) Rosneft untuk Kilang Tuban kembali berpotensi mundur akibat persoalan perizinan dan birokrasi harusnya menjadi tamparan keras bagi kita semua. Sungguh ironis ketika Komaidi Notonegoro dari ReforMiner Institute dengan tepat menyoroti bahwa masalah teknis justru bukan kendala utama. "Yang paling penting adalah political will dari pemerintah pusat dan daerah," katanya kepada Bloomberg Technoz.
Dalam pengamatan saya, masalah birokrasi ini bukanlah hal baru. Sejak era reformasi, kita terus mengeluhkan hal yang sama, namun tidak pernah ada penyelesaian fundamental. Proyek Kilang Tuban hanyalah puncak gunung es dari masalah sistemik yang sudah mengakar. Bagaimana mungkin investor seperti Rosneft yang memiliki track record global dapat percaya dengan komitmen kita, jika untuk persoalan perizinan dasar saja kita tidak mampu menyelesaikannya?
Pernyataan Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung bahwa "masih ditarget rampung pada kuartal IV-2025" justru mengkhawatirkan. Target tanpa disertai langkah konkrit penyelesaian hambatan birokrasi hanyalah wishful thinking. Dalam berbagai forum internasional, saya sering mendengar keluhan investor asing tentang inkonsistensi kebijakan dan lamanya proses perizinan di Indonesia. Ironisnya, kita tahu masalahnya, tapi tidak kunjung memperbaikinya.
BRICS: Momentum yang Terancam Disia-siakan
Keanggotaan Indonesia dalam BRICS adalah peluang emas yang sayangnya tidak kita kelola dengan serius. Berdasarkan analisis mendalam yang saya lakukan, forum ini seharusnya menjadi game changer dalam hubungan ekonomi Indonesia-Rusia. Namun yang terjadi, kita justru terjebak dalam retorika tanpa tindakan nyata.
Saya harus tegas mengatakan: Keanggotaan BRICS akan menjadi tidak berarti jika kita tidak mampu menyelesaikan hambatan birokrasi domestik. Dalam struktur BRICS yang baru, Indonesia memiliki posisi strategis untuk menjadi jembatan antara kekuatan ekonomi emerging market dengan negara berkembang lainnya. Namun posisi ini akan sia-sia jika kita tidak mampu menuntaskan proyek percontohan seperti Kilang Tuban.
Pengalaman saya berdiskusi dengan berbagai pihak di Rusia menunjukkan bahwa mereka sebenarnya sangat serius dengan investasi ini. Rosneft telah mengalokasikan sumber daya dan tenaga ahli untuk proyek ini. Namun kesabaran mereka pasti ada batasnya. Ada banyak negara lain yang justru lebih agresif menarik investasi Rusia, sementara kita sibuk dengan urusan birokrasi.
Non-Blok: Bukan Alasan untuk Tidak Bertindak
Pernyataan Direktur Jenderal Migas ESDM Laode Sulaeman bahwa "kita negara nonblok, jadi tidak boleh melihat dari satu sisi saja" memang benar secara konsep. Namun dalam praktik, saya melihat pemahaman tentang non-blok ini seringkali disalaartikan. Non-blok bukan berarti tidak mengambil keputusan, melainkan kemampuan untuk mengambil keputusan berdasarkan kepentingan nasional kita sendiri.
Dalam konteks geopolitik saat ini, posisi Indonesia seharusnya memberi kita leverage yang kuat. Baik Barat maupun Rusia, Indonesia sebagi mitra. Namun kita justru sering ragu mengambil keputusan strategis. Padahal, dalam diplomasi energi, keberpihakan yang jelas justru seringkali menguntungkan. Lihatlah India yang dengan tegas menjaga kepentingan energinya meski mendapat tekanan dari berbagai pihak.
Dimensi Strategis yang Terabaikan
Yang sering luput dari perdebatan adalah dimensi strategis proyek Kilang Tuban. Ini bukan sekadar proyek kilang minyak biasa. Dalam perspektif keamanan energi nasional, kilang ini akan meningkatkan ketahanan energi kita secara signifikan. Kapasitas 300.000 barel per hari akan mengurangi ketergantungan impor BBM dan meningkatkan nilai tambah minyak mentah kita.
Selain itu, dari perspektif teknologi, kerja sama dengan Rosneft membawa transfer teknologi dan pengetahuan yang sangat berharga. Rosneft adalah salah satu perusahaan energi dengan teknologi tercanggih di dunia, khususnya dalam pengolahan minyak berat dan kompleksitas kilang. Jika kita gagal memanfaatkan peluang ini, kita akan tertinggal jauh dalam penguasaan teknologi energi.
Titik Balik yang Menentukan
Keanggotaan BRICS seharusnya menjadi katalisator percepatan berbagai kerja sama strategis, termasuk Kilang Tuban. Namun saya pesimis melihat kondisi saat ini.
Beberapa poin kritis yang perlu segera diselesaikan:
Kesatu, pemerintah harus membentuk satgas khusus yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden untuk menyelesaikan hambatan perizinan Kilang Tuban. Pendekatan business as usual sudah terbukti tidak efektif.
Kedua, perlu adanya koordinasi tingkat tinggi antara kementerian/lembaga terkait. Selama ini, koordinasi yang lemah menjadi biang kerok lambatnya proses investasi.
Ketiga, pemerintah daerah harus dilibatkan secara aktif dengan insentif yang jelas. Seringkali, pemerintah daerah tidak memiliki sense of urgency yang sama dengan pemerintah pusat.
Keempat, kita perlu belajar dari pengalaman proyek strategis sebelumnya. Masalah yang menghambat Kilang Tuban mirip dengan masalah-masalah proyek strategis lainnya. Namun kita tidak pernah belajar dari kesalahan yang sama.
Saatnya Buktikan Komitmen
Momentum BRICS tidak akan bertahan selamanya. Kesabaran Rosneft dan investor internasional lainnya juga ada batasnya. Berdasarkan informasi terbaru yang saya terima dari kolega di Moskow, ada beberapa negara yang siap mengambil alih peluang investasi yang seharusnya menjadi milik Indonesia.
Sudah waktunya kita membuktikan bahwa Indonesia bukan hanya pandai berretorika di forum internasional, tetapi juga mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk proyek-proyek strategisnya sendiri. Proyek Kilang Tuban adalah ujian kredibilitas kita di mata internasional. Jika gagal, akan sulit bagi kita meyakinkan investor lain tentang keseriusan Indonesia sebagai tujuan investasi.
Dalam perspektif jangka panjang, kegagalan Kilang Tuban akan berdampak pada positioning Indonesia dalam arsitektur energi global. Kita akan tetap menjadi konsumen dan exporter bahan mentah, bukan player yang memiliki kendali atas value chain energi. Pilihan ada di tangan kita: menjadi penonton atau pemain dalam percaturan energi global.
Penulis adalah Ekspert Hubungan Indonesia-Rusia di ANO Center Mediastrategi-mediacenter.su, diaspora Indonesia yang tinggal di Rusia, dan menjadi peneliti di Volgograd State University.