Penulis: Sri Wiyono
blokTuban.com – Banyak terdengar, para Gus atau anak-anak kiai yang laki-laki, karena kalau putra perempuan disapa dengan sebutan Ning, sering berperilaku aneh ketika masih kecil. Bahkan, ada yang nakalnya kelewat batas. Seperti Gus kecil, putra Mbah Kiai tempat Zaid mondok.
Ketika Zaid sudah duduk di bangku aliyah, atau setingkat SMA, Gus ini masih duduk di bangku madrasah ibtidaiyah (MI) atau setingkat SD. Sebagai Gus, meski masih kecil sudah dihormati oleh para santri.
Hanya, Gus kita ini dikenal mbeling atau nakalnya. Usilnya minta ampun. Bahkan, tak terhitung lagi Gus kecil ini membuat ulah. Bukan hanya di sekolah, namun di lingkungan pondok pesantren juga. Tak jarang pula keusilannya merambah ke siswa aliyah yang masih berada di satu kompleks dengan pondok.
Meski berada di lingkungan pesantren, tidak semua siswa berasal dan tinggal di pondok pesantren itu. Karena tak sedikit siswa yang berasal dari luar pondok. Mereka datang ke sekolah saat sekolah saja. Ketika sekolah selesai, mereka pulang.
Karena ada yang rumahnya jauh, mereka banyak yang membawa sepeda ontel, bahkan sepeda motor. Tempat parkir yang disediakan cukup luas, lengkap dengan atap seng. Sehingga, saat panas dan hujan sepeda tetap aman.
Gus kecil ini sering bermain di sekitar sekolah aliyah. Jika para siswa melihat kehadiran Gus tersebut di sekitar sekolah, mereka selalu was-was. Sebab, akan selalu ada masalah yang dibuat. Hal itu cukup menyusahkan para siswa.
Sedangkan, mereka tidak berani protes. Para siswa ini hanya meyimpan kedongkolan dalam hati. Para siswa, guru dan staf di sekolah, sangat menghormati Mbah Kiai. Sehingga, kenakalan Gus kecil pada mereka dianggap sebagai cobaan.
Pernah suatu saat, Gus kecil ini keluar isengnya. Beberapa sepeda milik siswa yang diparkir di tempat parkir dikempesi anginnya. Sehingga, saat siswa pulang sekolah harus nuntun sepedanya ke tukang pompa.
Itu belum seberapa, karena saat hujan turun lebat, di sekolah ada tanah lapang, sehingga campuran air dan tanah menghasilkan lumpur. Gus kecil itu pernah mengotori setiap sadel sepeda milik siswa dengan lumpur, sehingg pemilik sepeda harus mencuci sadel sepedanya dulu sebelum pulang.
Kenakalan itu, tak pernah membuat siswa putri tak sabar. Saat, ketemu Gus kecil itu, beberapa siswa putri sempat memarahi. Namun Gus kecil terus membantah, sehingga membuat para siswa itu gemes.
Ternyata, diam-diam Gus kecil itu menyimpan dendam. Gus kecil diam-diam menandai sepeda milik siswa putri yang memarahinya itu. Suatu saat Gus membuat balasan. Satu persatu roda sepeda milik siswa yang pernah memarahinya itu dikempesi. Tak berhenti disitu, Gus kecil lalu mengambil semua dop tempat pentil sepeda itu.
Karuan saja, pemilik sepeda langsung bingung saat tahu sepedanya kempes. Terlebih lagi, tidak bisa dikompa karena dop nya tidak ada. Maka jadilah beberapa siswa itu tak bisa pulang. Mereka baru sadar kalau Gus membalas mereka.
Hanya, seiring dengan berkembangnya waktu, sikap Gus kecil yang beranjak dewasa berubah. Lama-lama dia menjadi Gus yang menyenangkan. Terlebih saat dia kemudian dikirim ke pesantren di luar kota oleh Mbah Kiai.
Saat pulang, dia tak lagi usil. Bahkan sikapnya menjadi santun dan menghormati orang lain. Ketika lulus dari pondok, Gus melanjutkan kuliah. Keramahannya makin bertambah. Bahkan, dia berbicara dengan bahasa jawa halus pada orang lain. Termasuk pada santri-santri yang dulu pernah mondok di tempatnya. Saat ini, Gus kecil itu sudah menjelma menjadi Gus dengan kedalaman ilmu dan meneruskan tugas Mbah Kiai mendidik umat.[*]
*Cerita ini berdasarkan kisah nyata yang dialami santri, dan ditulis serta diolah lagi oleh redaksi blokTuban.com