Penulis: Sri Wiyono
blokTuban.com – Galau. Begitulah yang banyak dialami para siswa yang menjelang lulus. Jika lulus SMP sederajat galau ingin melanjutkan ke mana. Apalagi siswa setingkat SMA dan sederajat kegalauan yang dirasakan semakin besar.
Itu pula yang dirasakan Zaid. Tokoh santri kita ini akhirnya harus meninggalkan ‘gothakan’ yang selama bertahun-tahun ditinggali. Juga lingkungan pesantren yang telah ikut membentuk karakternya. Membentuk kepribadiannya yang menjadi bekal menapak masa depan.
Sebagai santri dan siswa yang berotak encer, Zaid mempunyai nilai yang baik dalam ijazahnya. Nilai-nilai memuaskan itu, memungkin Zaid untuk melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi negeri sekalipun.
Karena itu, Zaid galau, antara harus melanjutkan kuliah atau masuk pendidikan sekolah kemiliteran misalnya. Karena, sejak lama Zaid memendam hasrat untuk memakai seragam militer. Dia tak peduli dari kesatuan mana. Hanya, dihatinya dia condong untuk menjadi penerbang. Ya, dia ingin menjadi pilot.
Karena itu, berhari-hari dia merenung. Apakah dia mampu untuk menembus mimpinya itu. Sementara, persaingan dan keterbatasan ragat yang dimiliki orangtuanya. Beruntung, sebagai santri Zaid sudah biasa dihadapkan pada persoalan pelik yang harus dipecahkan. Kebiasaan diskusi untuk membahas suatu persoalan, menjadikan mentalnya cukup kuat.
Dia sering bangun tengah malam untuk salat, zikir dan berdoa. Dia juga rajin riyadhoh dan menziarahi makam sesepuh pesantren yang makamnya masih berada di dalam kompleks pesantren. Berhari-hari itu dilakukan dengan mengharap ada petunjuk dari Allah, apa yang harus dia lakukan.
Setelah beberapa hari ‘laku’ seperti itu. Hatinya berbisik, bahwa Zaid harus sowan Mbah Kiai. Di hati Zaid, bisikan itu meminta dia sowan dan meminta petunjuk Mbah Kiai adalah hal yang harus dilakukan dulu.
Maka, Zaid pun memberanikan diri untuk sowan di ndalem. Niatnya mantap, ingin ketemu Mbah Kiai dan menyampaikan uneg-unegnya. Maka, selepas salat dhuha di masjid dia langsung menujun ndalem.
Saat dia tiba, ternyata Mbah Kiai masih menunaikan salat dhuha di kamar ndalem. Santri yang membantu di ndalem mengabarkan itu pada Zaid. Dia dipersilakan duduk di ruang tamu ndalem secara lesehan. Karpet tebal dan halus melapisi lantai ndalem. Di sana biasanya para tamu duduk.
Beberapa menit kemudian,Mbah Kiai keluar dari ruang tengah dan menemui Zaid di ruang tamu. Mbah Kiai bertanya soal Zaid. Dia santri dari kompleks mana, rumahnya mana dan ada keperluan apa.
Zaid menceritakan semuanya. Terkait kegalauannya dan upaya yang sudah dilakukan beberapa hari ini.
‘’Lha kamu inginnya menjadi apa? ‘’ tanya Mbah Kiai.
‘’Jadi penerbang Mbah,’’ jawab Zaid mantab.
Mendengar jawaban Zaid, Mbah Kiai manggut-manggut, sambil mengelus jenggot tipis jarang-jarang miliknya. Cukup lama Mbah Kiai diam. Hal itu semakin membuat hati Zaid tak tenang. Dia berusaha menebak-nebak, apa jawabanMbah Kiai nanti ya?
‘’Gini saja,apa yang kamu lakukan beberapa hari ini sudah betul. Jadi, riyadhohmu itu bisa kamu teruskan. Kamu ziarah lagi ke sesepuh di sini,’’ pesan Mbah Kiai.
‘’Petunjuk apa yang harus saya dapatkan Mbah ?’’ kejar Zaid.
‘’Petunjuk apapun nanti ambil. Kamu nanti ketemu apa saja di sana diam saja, tidak boleh takut. Kamu harus tetap tenang jika ingin berhasil,’’ jelas Mbah Kiai.
Maka, malam yang ditentukan tiba. Zaid tengah malam keluar dari pesantren dan berjalan menuju makam para pendiri pesantren dan sesepuh di sana. Tempatnya gelap. Banyak pohon-pohon mangga besar, sehingga suasana semakin seram.
Namun dia tetap membulatkan tekatnya. Dia tahlil di makam leluhur pesantren. Lalu dilanjutkan dengan zikir. Tidak diketahui dari mana datangnya, seekor harimau besar tiba-tiba sudah hadir di samping Zaid.
Bulunya putih, sehingga mencolok di tengah malam yang gelap itu. Badannya besar, mata mencorong dan lidah menjulur. Karena jaraknya dekat, Zaid bisa melihat taringnya yang besar dan tajam.
Zaid hampir saja lari, namun dia teringat pesan Mbah Kiai. Karena itu, dia memberanikan diri untuk melanjutkan zikirnya, meski keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Zaid memejamkan mata. Dia tak melihat harimau itu. Dia tenggelam dengan zikirnya.
Hingga suara tarhim, menjelang azan tubuh terdenger. Rupanya, Zaid sudah berzikir cukup lama. Saat dia membuka mata, harimau yang disampingnya sudah tidak ada. Hatinya berucap syukur.
Maka Zaid lalu bergegas kembali ke pondok, lalu mandi ganti pakaian dan berangkat ke masjid untuk salat Subuh. Usai salat, Zaid buru-buru mengikuti Mbah Kiai yang kembali je ndalem usai jadi imam salat.
Setelah dipersilakan masuk ke ndalem, Zaid lalu duduk di hadapan Mbah Kiai yang pagi itu tersenyum. Saat Zaid ditanya, dia ketemu apa, dia menceritakan pengalamannya yang sebenarnya menakutkan itu.
‘’Alhamdulillah kalau begitu. Sudah kamu pergi saja mendaftar, insyaallah masuk,’’ pesan Mbah Kiai.
Ternyata benar, Zaid ternyata diterima di sekolah penerbang, sehingga diakemudian menjadi penerbang pesawat-pesawat di jajaran militer seperti yang dia cita-citakan.[*]
*Cerita ini berdasarkan kisah nyata yang dialami santri lalu ditulis dan diolah kembali oleh redaksi blokTuban.com