Penulis: Sri Wiyono
blokTuban.com – Kedatangan Gus, putra Mbah Kiai yang mengasuh pondok pesantren tempat Zaid, tokoh santri kita ini mondok disambut ceria.
Para santri pondok berjajar memberi ucapan selamat datang. Antusiasme para santri itu, rata-rata hanya ingin melihat untuk kali pertama wajah Gus putra Mbah Kiai yang kuliah di Mesir. Terutama para santri putri.
Konon, selain berotak encer, Sang Gus juga ganteng. Bagi sebagian santri lawas, wajah Gus sudah tak asing lagi. Sebab, Gus minimal setahun sekali pulang. Namun, bagi santri baru, kedatangan Gus adalah sesuatu yang harus disambut gembira.
Terlebih, kedatangan Gus kali ini tidak untuk kembali. Artinya, Gus sudah boyong, atau sudah tidak akan kembali kr Mesir lagi untuk meneruskan kuliahnya, karena sudah lulus.
Wajah yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Sebuah mobil masuk kompleks pondok pesantren. Lalu berhenti di halaman masjid. Sebab, jalan menuju ke ndalem sudah dipenuhi santri.
Sesosok laki-laki muda turun dari mobil. Bersarung tenun motif bunga agak jarang. Berbaju yang dilapisi jas terbuka. Kopiah cokelat bertengger di kepalanya dengan rambut hitam lurus agak panjang.
Berwibawa. Begitu kesan pertama. Namun, ramahnya luar biasa. Dia langsung mengucap salam pada para santri yang telah menunggunya.
‘’Assalamu’alaikum,’’ ucapnya.
‘’Waalaikumsalam,’’ santri menjawab dengan serempak dan semangat.
Dengan diiring beberapa santri senior yang membawakan tasnya, Gus berjalan menuju ndalem. Lalu masuk rumah dari pintu utama, dan menghilang ke ruang dalam. Acara penyambutan pun selesai.
Sejak kedatangan Gus ada sesuatu yang berbeda di pesantren. Selain ada ngaji tambahan yang diasuh Gus, kegiatan di pesantren makin semarak.
Gus yang masih muda dan enerjik, sering mengajak para santri untuk menata lingkungan pondok. Bersih-bersih atau kegiatan lain yang membuat pesantren makin rapi. Tak terkecuali Zaid juga selalu ikut di dalamnya.
Namun, ada satu saat yang paling disukai para santri. Ups...tidak bisa digeneralisasi. Belum tentu semua santri suka ini hehehe.
Yakni yang terkait dengan kegemaran Gus di waktu malam. Setelah seluruh kegiatan ngaji selesai, dan para santri mestinya beranjak tidur, Gus suka memutar lagu-lagu Padang Pasiran yang musiknya rancak itu.
Volume musik itu dibuat keras. Sehingga, di tengah keheningan malam, alunan musik itu menelusup ke tembok dan papan-papan kamar santri. Sebab, sebagian ‘gothakan’ masih berdinding papan.
Semula, santri tak nyaman, terkecuali Zaid, yang sejak awal mendengar musik-musik Timur Tengah itu, dia langsung suka. Sedangkan santri yang lain, lama-lama telinganya biasa mendengar musik itu.
Bagi Zaid, hal itu menjadi hiburan tersendiri. Dia sering kali ikut menggoyang-goyangkan kepalanya sambil duduk. Sesekali dia juga dia joget, namun hanya sekadarnya saja.
Hingga suatu saat dia mengajak santri se ‘gothakan’ nya untuk joget bareng. Mereka menyebut goyang malam-malam. Semula ada yang tidak mau, canggung dan malu. Namun, atas desakan Zaid, akhirnya santri satu kamar itu selalu goyang saat musik padang pasir diputar Gus dengan dipimpin Zaid.
Kegiatan itu, terus berjalan, hingga melebar ke kamar-kamar lainnya. Maka jadilah satu kompleks itu melakukan olahraga malam hampir setiap hari. Atau setiap musik padang pasir dari ndalem mengalun.
Kegiatan itu, akhirnya menjadi kegiatan tambahan yang menyenangkan bagi santri. Khususnya di kompleks yang dihuni Zaid dan kawan-kawannya.
Karena itu, hampir tiap malam mereka berkeringat. Setelah keringat kering mereka mandi, lalu baru beranjak tidur. Goyang malam-malam itu berjalan mulus tanpa diketahui pengurus pondok, karena saat mereka goyang, semua pintu masuk ke kompleks kamar ditutup.
Gus pun mungkin tidak tahu kalau kegemarannya memutar musik itu menjadikan hiburan sebagian santrinya. Atau jangan-jangan Gus tahu, namun pura-pura tidak tahu? Walluhua’lam.[*]
*Cerita ini berdasarkan kisah nyata yang dialami santri lalu ditulis dan diolah kembali oleh redaksi blokTuban.com